Belakangan ini beredar surat kepala sekolah SD Mutiara Persada di Bantul. Isinya berupa imbauan kepada orang tua agar memberikan apresiasi kepada anak-anaknya yang baru saja menyelesaikan ujian. Apapun hasilnya, anak seharusnya tetap diberikan semangat, bahkan jika nilai ujian itu tidak memenuhi harapan orang tua.
Imbauan ini baik sekali, dan perlu kita orang tua indahkan bersama, terlebih sistem penilaian di sekolah kita masih perlu banyak dibenahi. Namun, ada beberapa hal yang agak keliru dan harus diluruskan.
“…mohon diingat, di tengah-tengah para pelajar yang menjalani ujian itu, ada calon seniman, yang tidak perlu mengerti matematika. Ada calon pengusaha, yang tidak butuh pelajaran Sejarah atau Sastra, ada calon Musisi yang nilai Kimia-nya tak akan berarti. Ada calon olahragawan yang lebih mementingkan fisik daripada Fisika di sekolah. Ada calon photografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini.”
Di sini yang agak aneh: apakah anak SD sekarang diajari Kimia dan Fisika? diberi opsi untuk memilih ilmu yang penting dan tidak penting, perlu dan tidak perlu? Dan agak naif kalau menganggap seni tak ada sangkut pautnya dengan matematika—sehingga seniman tak perlu mengerti matematika. Ini anggapan yang keliru. Matematika bukan sekadar mengajarkan berhitung, tapi juga keterampilan yang tak kasat mata; berpikir logis, bernalar, pemecahan masalah, mengenali pola, dan sebagainya.
Apakah hanya calon saintis yang perlu belajar matematika dan calon pelukis hanya perlu tahu kuas dan kanvas? Ingat lukisan Monalisa yang senyumnya fenomenal itu? Lukisan ini tak hanya goresan kuas, tapi ada hubungannya dengan matematika, yaitu golden ratio yang dikenal juga sebagai bilangan Fibonacci atau bilangan Phi yang nilainya 0,618.
Contoh lain, selama berabad-abad, seni dalam tradisi Islam banyak menerapkan prinsip-prinsip geometri dalam menggambar dekorasi di masjid-masjid dan istana-istana biasanya dengan desain floral. Perancang disain ini tidak mungkin tidak faham matematika.
Berikutnya ada pernyataan bahwa calon pengusaha tidak butuh sejarah atau sastra. What? Apa jadinya kalau pengusaha tunasejarah? Menjadi pengusaha bukan melulu soal menghitung laba. Pengusaha sukses perlu tahu tentang banyak hal dari sejarah, apalagi yang berkaitan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Olahragawan tak hanya perlu melatih otot, tapi juga perlu tahu ilmu gizi. Saintis atau matematikawan juga perlu belajar sejarah dan bahasa.
Saya tak akan membahas lebih lanjut karena benang merah dari gagasan yang keliru dari sebagian surat ini cukup terlihat, yaitu perspektif melihat tujuan belajar. Dan ini yang perlu digarisbawahi.
Belajar dalam persepsi masyarakat kita dipahami sebagai mempelajari sesuatu untuk memperoleh keuntungan pragmatis. Kalau tidak memberikan keuntungan dalam waktu dekat, belajar dianggap hanyalah kesia-siaan, membuang waktu, biaya, energi, dan sumber daya. Mungkin karena pandangan serba bendawi dalam hidup kita ini, meminjam istilah yang sering dilontarkan Gus Mus: sudah malakah, sudah mendarah daging.
Pandangan seperti ini bukan barang baru, sudah ada ratusan tahun lalu; tepatnya sekitar 2300 tahun lalu (setidaknya dari yang pernah tercatat). Kala itu, di Yunani, Euclids tengah mengajar Geometri. Salah seorang muridnya mempertanyakan apa gunanya bersusah payah belajar geometri padahal tidak ada aplikasinya di dunia nyata. Kasarnya, si murid komplain, “Apa perlunya belajar ilmu kayak gini? Sudah pelajarannya rumit, mana nggak ada gunanya pula.”
Mendengar itu Euclids agak tersinggung, lalu berkata kepada pembantunya, “Beri dia uang tiga picis. Dia hanya ingin mencari untung dari apa yang dipelajarinya (maka itulah saja yang dia akan dapatkan).”
Uang tiga picis itu adalah bentuk sarkasme, kalau zaman sekarang mungkin sama dengan 3 keping uang 100 rupiah. Kalau diungkapkan dengan kata-kata barangkali kalimat Euclid adalah : “Maqammu nggak akan sampai di sini, karena maqammu hanya uang receh.”
Bagi Euclid dan juga banyak ilmuwan lain sepanjang sejarah, mempelajari sesuatu seringkali hanya karena cinta ilmu dan penasaran untuk memecahkan teka-teki alam semesta. Banyak ilmu rumit yang para ilmuwan tergila-gila mempelajarinya, meski tak tahu pasti apa kegunaannya.
Sebagai contoh, zaman dulu, orang Yunani mempelajari salah satu bagian geometri yang dikenal sebagai irisan kerucut.
Bayangkan di meja makan disajikan beberapa tumpeng. Masing-masing tumpeng itu diiris dari beberapa arah. Ada yang mendatar sejajar dengan meja, ada yang miring tapi tidak sampai mengenai meja, ada yang dipotong miring sampai mengenai meja, dan seterusnya. Apa yang dipelajari? Mereka mempelajari bentuk-bentuk pada bagian irisan itu. Ada yang berbentuk lingkaran, elips, parabola. Masing-masing lalu dipelajari teori dan rumus matematikanya.
Bagi orang awam, para ilmuwan yang sibuk mengamati irisan tumpeng ini hanyalah sekelompok orang gila atau kurang kerjaan.
Ratusan tahun setelah era Yunani Kuno, di zaman yang lebih moderen, Galileo menemukan lintasan gerak peluru meriam adalah parabola dan Kepler menemukan lintasan gerak planet berupa elips. Dan tiba-tiba saja teori pada irisan kerucut yang dipelajari orang Yunani dan selama ratusan tahun dianggap tidak ada gunanya itu akhirnya menemukan tempat terhormatnya. Dari ilmu yang dianggap sia-sia menjadi ilmu kunci dalam memenangkan peperangan dan astronomi. Teknologi bisa berkembang pesat salah satunya adalah karena landasan teorinya sudah mapan.
Sebuah ilmu terkadang tak serta merta terlihat manfaatnya dalam seketika, dan baru menemukan bentuk dan kegunaannya setelah puluhan atau ratusan tahun. Itu pun kalau ilmu itu selamat. Banyak ilmu yang punah karena misalnya penaklukan yang disertai penghancuran perpustakaan.
Dalam pendidikan anak di sekolah, seringkali ilmu itu baru dirasakan manfaatnya setelah anak dewasa, atau bahkan tak disadari karena sudah tertanam di bawah sadar.
Meski demikian, perlu diingat bahwa tidak semua ilmu wajib dipelajari. Materi pelajaran yang terlalu gemuk dan tidak tepat, model penilaian yang keliru, cara pembelajaran yang salah, adalah beberapa hal yang sampai hari ini masih menjadi PR besar bagi dunia pendidikan kita.
Matematika, contohnya, adalah ilmu yang sangat menarik dan sangat bermanfaat. Tapi jika matematika diajarkan dengan cara salah, akan menjadi momok besar bagi siswa.
Kembali ke surat di atas, mestinya kalimat “tidak perlu” atau “tidak butuh” diganti saja dengan “tidak harus pintar” atau semacamnya. Jadi, kalimat “ada calon seniman, yang tidak perlu mengerti matematika” mestinya disunting menjadi “ada calon seniman, yang tidak harus memiliki nilai matematika sempurna.”
Omong-omong, masih ingat nilai matematika waktu sekolah?