Wayang yang Memuji Diri Sendiri

Wayang yang Memuji Diri Sendiri

Wayang yang Memuji Diri Sendiri

Cak Dullah minta tolong Mat Piti agar diantar ke rumah Cak Dlahom. Dia mau berguru atau setidaknya ingin menimba ilmu. Mat Piti mengantarnya pada suatu sore, sebelum berbuka.

Cak Dlahom tahu, meski jadi korak, Cak Dullah sebetulnya orang baik. Di rumahnya, Cak Dlahom menerima Cak Dullah dengan baik, meski tentu saja dengan tetap cekikikan. Malam itu Cak Dullah yang membuka pembicaraan.

“Begini, Cak, saya punya masalah…”

“Dul, namanya manusia ya pasti punya masalah.”

“Betul, Cak. Saya hanya mau tahu rahasia sampeyan.”

“Rahasia apa, Dul? Aku tak pernah punya rahasia.”

“Anu, Cak… Sudah lima tahun ini saya meninggalkan masjid. Sudah tidak jadi imam.”

“Ya, aku tahu. Karena kamu kecewa, kan?”

“Betul, Cak. Saya ini kecewa. Umur saya sudah 40 tahu, tapi selama 20 tahun beribadah, salat setiap malam, puasa dan sebagainya, saya merasa belum mencapai ketenangan hati.”

“Dul, jangan pula 20 tahun, andai pun kamu beribadah selama 300 tahun, tak akan menempel satu butir debu mukasyafah pada hatimu.”

“Kok bisa? Tiga abad itu lama banget, Cak. Masak tak ada kemungkinan berubah?”

“Memang lama , tapi kamu terus tertutup oleh dirimu. Oleh nafsumu.”

“Sampeyan ini kalau ndak membingungkan, ya nakut-nakuti… Mbok saya dikasih tahu?”

“Bisa, tapi kamu tak akan melakukannya.”

“Saya mau, Cak…”

“Kalau benar mau, sekarang copot pakaianmu. Ganti dengan baju robek dan jelek ini.”

Cak Dullah menuruti perintah Cak Dlahom. Dia mengambil baju robek yang diulurkan Cak Dlahom lalu pergi ke salah satu ruangan dan mengganti bajunya. Mat Piti kebingunan.

“Sudah, Cak… malah kayak gembel saya.”

“Mat, kamu bawa uang?” Cak Dlahom bertanya kepada Mat Piti.

“Punya, Cak. Berapa?”

“Semuanya kalau bisa.”

Mat Piti menyerahkan semua uang di dompetnya. Totalnya 1,5 juta dengan pecahan lima puluh ribu rupiah. Lalu Cak Dlahom berpesan ke Cak Dullah: “Nanti, sehabis tarawih di masjid, kamu kumpulkan anak-anak. Suruh mereka satu per satu menamparmu, lalu beri masing-masing selembar uang.”

“Hanya itu, Cak?”

“Setelah itu datangi orang-orang tua yang selalu memuji-mujimu, yang sedang berkumpul di masjid. Minta mereka juga menamparmu, dan berikan mereka dua lembar uang lebih banyak.”

“Subhanallah. Masya Allah. Laa ilaha ilallah…”

“Dul, jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah jadi beriman, tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin jadi kafir.”

“Sampeyan jangan nakut-nakutin gitu dong, Cak.”

“Kelihatannya kamu sedang memuji Allah padahal sebetulnya sedang memuji dirimu sendiri. Ketika kamu menyebut ‘Mahasuci Allah…,’ seakan-akan kamu mensucikan Allah padahal kamu menonjolkan kesucian dirimu.”

“Astagfirullah… Saya minta maaf, Cak. Saya mau berguru sama sampeyan.”

“Sudah, Dul. Tak usah berlebihan. Aku bukan guru. Aku sama saja denganmu dan yang lainnya.”

Cak Dullah, korak yang disegani di kampung itu, terlihat menunduk dan terisak. Mat Piti tambah bingung. Dia tahu, Cak Dullah adalah orang yang mengerti ilmu agama. Pernah mondok. Pernah jadi imam masjid. Pernah jadi penceramah dan guru madrasah. Orang yang semacam itu, sore ini tak berdaya di depan Cak Dlahom dan hanya bisa menunduk. Mat Piti mencoba mengatasi agar keadaan kembali cair.

“Kemarin sampeyan bilang, sampeyan itu anjing. Kalau saya ini apa, Cak?”

“Mat, kita ini—kamu, aku, dan Dullah, kita semua adalah wayang.”

“Setelah jadi anjing sekarang jadi wayang, Cak?”

“Kita memang wayang. Wayang yang tidak pernah tahu, apa yang akan dilakukan dalang kepada kita.”

“Berarti kita tak punya peran dong, Cak?”

“Peran kita terserah sang dalang Mat. Mungkin kita akan dikeluarkan dari kotak lalu dimainkan oleh dalang di kelir, memerankan karakter seperti yang sudah direncanakan dan ditetapkan olehnya.”

“Tapi pasti dapat peran toh, Cak?”

“Ya mungkin. Mungkin kita akan berperan jadi Bima. Mungkin jadi Sengkuni. Mungkin kita akan berperang. Mungkin kita harus menangis. Mungkin kita hanya terus ditumpuk, dan tidak pernah dikeluarkan dari kotak. Mungkin juga malah akan dilempar entah ke mana.”

“Apa wayang memang tak bisa berbuat apa-apa, Cak?”

“Namanya juga wayang, Mat. Hanya selembar kulit kering yang diukir lalu jadilah bentuk dan wajah Semar, Petruk, dan sebagainya. Kita tidak bisa, dan memang tidak punya kemampuan mengubah rencana dan kehendak dalang. Satu hal yang harus kamu ketahui, peran yang diberikan oleh dalang kepada wayang dan juga cerita yang dibangun, tidak akan menyalahi pakem. Kodrat yang juga sudah dibuat dan ditetapkan oleh dalang.”

“Apa peran kita tak mungkin tertukar, Cak?”

“Tidak mungkin, Mat. Tak mungkin Gatotkaca jadi Bagong. Mustahil Manikmaya jadi Togok. Tidak boleh terjadi Drupadi dinikahi Durna. Akan merusak pakem, merusak kodrat, kalau Arjuna memperkosa Petruk.”

“Kalau saya ini siapa, Cak?”

“Kamu akan tahu sendiri siapa dirimu. Nikmati saja peranmu, Mat. Itu anugerah. Bisa jadi peranmu harus menderita. Bisa jadi kamu ditetapkan sebagai raja. Bisa jadi karaktermu hanya menjadi pembenci dan pendusta.”

“Jadi peran saya tak mungkin tertukar, Cak?”

“Kalau kamu sendiri tak tahu peranmu, bagaimana kamu akan bisa tahu peranmu bisa tertukar atau tidak? “

“Ya, siapa tahu saja, Cak…”

“Tak usah pedulikan peranmu dan peran yang diberikan kepada wayang yang lain, Mat. Tak perlu juga kamu mengurusi seluruh jalan cerita dan peran-peran itu. Sama seperti dirimu, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Karena kita semua hanya wayang, kok. Cuma wayang.”

Mat Piti manggut-manggut. Cak Dullah yang terisak dan menunduk ikut manggut-manggut. Suara azan maghrib mulai terdengar dan Mat Piti pamit pulang.

“Kalau begitu saya pamit dulu, Cak. Sudah waktunya buka. Mari sampeyan buka di rumah saya…”

“Kalau ada Romlah, aku ikut ke rumahmu, Mat.”

“Ya Allah, Cak…”

“Romlah itu bukan wayang Mat. Dia manusia.”

 

(diinspirasi dari kisah-kisah Fariduddin Attar dan kitab Addurun Nafis)

 

Exit mobile version