Mojok: Merdeka dalam Canda, Bersatu dalam Tawa

170829 ESAI ULTAH MOJOK

170829 ESAI ULTAH MOJOK

“Orang-orang ini apa nggak rugi, ya … jauh-jauh kemping, membayar pula, cuma buat dengerin saya?” gumam saya dalam hati sambil menyimak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para peserta Jambore Mojok.

Ada Arman Dhani dan Kalis Mardiasih juga sih, tapi mereka ternyata sama ndlogog-nya. Bahkan Teh Sobrakh yang datang belakangan tidak banyak menolong karena beliau lebih sering meng-copas jawaban pembicara lain. Cuma meng-copy minus paste malah karena beliau lebih sering menjawab, “Ya, jawaban saya sama dengan jawaban Mbak Kalis.”

Tapi suasana malam itu memang persis Mojok itu sendiri, dibuka dengan ger-geran lalu semakin lama semakin kehilangan kelucuannya. Saya malah deg-degan pas ada yang nanya kenapa Kepala Suku dan Gus Muh seperti menyudutkan HMI dalam beberapa tulisannya, dan Kalis Mardiasih, si gadis NU-cum-alumnus HMI, tidak membelanya. Apalagi waktu ada yang nanya, “Mojok itu alirannya apa sih?” Alamat disuruh bubar pakai takbir ini jambore ….

Saya semakin tegang waktu tahu kalau penanya terakhir adalah Adlun Fiqri. Iya, pemuda yang pernah berurusan dengan polisi se-Maluku Utara cuma gara-gara gambar di kaosnya. Setelah sesi yang saya ikuti selesai, salah satu panitia iseng-iseng nanya, “Sebenarnya statusmu itu gimana sih, Dlun?” Dengan santai pemuda bedebah dari Ternate itu menjawab, “Masih tersangka.”

Gabungan antara HMI dan polisi jelas bukan lawan sepadan buat saya, penulis Mojok yang di kampung halaman sendiri tidak bisa mengalahkan popularitas strudel. Saya tidak menyalahkan Mojok untuk ini. Mereka sudah berusaha. Minimal setiap kali tulisan saya dimuat, foto saya juga ikut ditampilkan. Tapi, begitu wajah Teuku Wisnu juga ada di semua bungkus Malang Strudel, saya sadar bahwa perlawanan saya sudah habis.

Melucu mungkin bukan tujuan awal didirikannya Mojok, seperti kata Arman Dhani, tapi lucu—diakui atau tidak—sudah jadi ciri khas Mojok. Orang membaca Mojok karena ingin menemukan sudut pandang lain atas satu tema yang segar sekaligus jenaka. “Buat apa pintar kalau nggak lucu,” kata Kepala Suku satu kali.

Tidak semua orang, tentu saja, bisa melucu. Bahkan penulis yang tulisannya sudah sering dimuat Mojok kayak saya pun (sombong biarin!) tidak bisa terus melucu. Karena kalau saya lucunya sudah konsisten, lebih masuk akal kalau saya ikut audisi untuk menggantikan Tora Sudiro di Warkop Reborn 3 daripada nulis buat Mojok. Peluang untuk mengalahkan popularitas Teuku Wisnu di Malang jadi terbuka lagi.

Tapi, menurut saya, lebih baik gagal melucu daripada gagal nyapres atau nyagub. Pendukung capres yang gagal sudah tiga tahun belum bisa move-on, pendukung cagub yang gagal bahkan sudah menghujani gubernur baru dengan kritik padahal beliau bekerja saja belum.

Siangnya, sesi yang menghadirkan Zen RS nggak ada lucu-lucunya sama sekali, saya ingat tebak-tebakan Cik Prim pun begitu garing, tapi nggak ada tuh yang ngirim karangan bunga ke alun-alun Kota Yogya. Dan tentu saja nggak ada juga yang membakar karangan bunga itu.

Cinta konon bisa mempersatukan semua orang. Tapi nyatanya tidak. Kata Sujiwo Tejo, yang mempersatukan kita sekarang ini adalah korupsi. Kalau nggak memikirkan teman korupsinya, bisa-bisa dia dicokok KPK juga. Amit-amit jabang baby.

Mojok saya rasa jadi penting untuk mengganti korupsi itu dengan komedi. Orang jadi sadar bahwa tokoh atau lembaga atau kampus atau binatang atau kendaraan yang mereka suka, puja, dan idolakan ternyata juga bisa ditertawakan. Bersama-sama. Merdeka dalam canda, bersatu dalam tawa.

Situs yang berisi ulasan yang bernas dari orang-orang cerdas sih banyak, tapi serius semua. Pendukung Pak Prabowo punya, pendukung Pak Jokowi juga punya, tapi yang nakal cuma Mojok.

Situs pembela Ahok ada, situs pembela Anies atau Habib Rizieq juga ada, tapi yang nakal cuma Mojok. Yang ngomongin otomotif ada, yang bicara flora dan fauna juga ada, tapi yang lucu ya cuma Mojok.

(Memuji sampai segininya … masak honornya nggak ditambahin, Mas?)

Malam sebelum tidur di Jambore Mojok saya dengar Adlun Fiqri berusaha menghangatkan malam dengan menuturkan beberapa mop. Beberapa lucu, lebih banyak garing. Entah karena beliau kelelahan atau sedang menyimpan mop terbaiknya untuk Mojok. Untuk ongkos pulang ke Ternate. Saya mulai tertarik ketika ada yang bertanya kenapa NU lucu sementara Muhammadiyah tidak, sambil menceritakan lelucon lama tentang Gus Dur yang dilapori seorang kiai NU kalau anak sang kiai menikah dengan pemuda Muhamadiyah.

Dengan santai Gus Dur menanggapi, “Tuhan saja lo, anaknya masuk Kristen nggak bingung ….”

Saya, demi mengembalikan agama yang saya anut, Katolik, ke khitahnya sebagai Kristen Garis Lucu, ikut nimbrung dan menceritakan anekdot yang sebenarnya juga sudah jadul.

Satu kali seekor burung mencuri sate majikannya. Dua kali, tiga kali, sampai yang keempat kesabaran sang majikan habis. Sang majikan menangkap sang burung dan memlekeke (membentangkan paksa) sayap sang burung dan memakunya di atas talenan lalu menggantungnya di dinding. Sang burung tentu saja berontak, tapi sekuat apa pun dia mencoba, burung itu tetap terpaku di tempatnya.

Putus asa, burung itu menoleh ke kanan. Di sana seorang laki-laki telanjang dada dengan kondisi yang nyaris serupa dengannya tertunduk lesu. Bahkan mahkota duri tertancap di kepalanya. Tiba-tiba ada satu perasaan damai menyelinap di hati sang burung ketika memandang laki-laki itu. Hati sang burung serasa dilanda berlaksa cahaya. Lalu dengan kepala setengah tertunduk, sang burung berkata:

“Sampean kenapa, Mas? Nyolong sate juga ya?”

Saya baru ingat kemarin Mojok ulang tahun yang ketiga. Saya tidak akan mengucapkan selamat ulang tahun karena itu ucapan untuk orang-orang atau situs yang lemah. Alih-alih saya akan bilang: Mojok harus lucu. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau Mojok sudah tidak lucu lagi, demi burung pencuri sate yang sudah dapat pencerahan, saya sendiri yang akan menggalang petisi daring dengan tiga tuntutan:

  1. bubarkan Mojok,
  2. nyatakan Mojok sebagai situs terlarang, dan
  3. turunkan harga sandang, pangan, dan seserahan lamaran.

Tahniah, Mojok, selamat ul … aih, lemah!

Exit mobile version