[MOJOK.CO] “Sekretaris redaksi: Immanuel Kant kirim esai nih. Redaktur: skip aja, boring as usual.”
Saat saya ditodong menjadi pembanding bedah buku Inilah Esai karya Muhidin M. Dahlan, penulis-cum-pengarsip itu bilang begini di hadapan para audiens:
“Taufiq ini memang lihai menulis esai-esai filsafat yang serius dan jelimet. Tapi, coba aja suruh dia menulis di Mojok. Pasti nangis dia!”
Asu juga nih orang, pikir saya dalam hati. Tapi, benar juga sih apa yang dia katakan. Saya orangnya memang garing.
Buktinya, saat disuruh jadi pembanding Inilah Esai, saya malah berpikir jauh. Jauh banget. Saya membandingkan contoh-contoh esai yang ada dalam Inilah Esai itu dengan esai-esai yang pernah ditulis dalam sejarah filsafat, dari abad ke-15 sampai abad ke-20. Padahal saat itu saya tidak lagi ngomong di kampus yang ada jurusan filsafatnya.
Tapi, ya mau gimana lagi, orang cuma itu bacaan saya. Saya nyaris tidak punya bacaan lain di luar filsafat. Sastra sebenarnya juga saya baca, tapi hanya ketika saya bosan baca filsafat. Jadi, ya begitulah risiko mengundang saya jadi pembicara. Apa pun masalahnya, filsafat solusinya. Karena itu, selain kayak robot, pikiran saya adalah HTI versi Yunani Kuno.
Inilah lima tokoh penulis esai yang telah saya ceritakan sebagai pembanding. Dan lima-limanya kalau mengirim tulisan ke Mojok pasti akan ditolak.
Michel de Montaigne (1533—1592)
Para penulis esai mesti tahu Michel de Montaigne karena dialah nabi pembawa risalah esai. Kalau mereka tidak tahu, sanad ilmu menulis esainya berarti tidak mutawatir. Dan itu berarti esai-esai yang telah mereka tulis adalah bid’ah.
Montaigne adalah orang yang pertama kali menamai tulisan-tulisannya dengan sebutan esai. Karena waktu itu belum ada Mojok, esai-esai yang ia tulis sama garingnya dengan esai saya. Bukunya yang dalam bahasa Prancis berjudul Essais itu memuat 107 esai. Model tulisannya lebih condong ke prosa, lebih banyak bercerita, dan di situ ia mononjolkan pandangan-pandangan subjektifnya.
Inilah beberapa judul esai Montaigne yang tidak Mojok sama sekali: “Tentang Duka Cita”; “Tentang Kemalasan”; “Tentang Pendusta”; “Tentang Kesia-siaan” “Manusia Tidak Berhak Menilai Kebahagiaan Kita sampai Kematian Tiba” (hm, kalau ini lumayan Mojok sih, tapi isinya tetap nggak Mojok); “Belajar Filsafat adalah Latihan untuk Mati” (ini juga); “Mengukur Kebenaran dan Kesalahan dengan Kemampuan Kita Itu Adalah Sejenis Kegoblokan” (yha, ini pun); “Kebebasan Hati Nurani”; “Menilai Kematian Orang Lain”; “Segala Sesuatu Ada Masanya”.
Nicolaus Copernicus (1473—1543)
Kalian tahu Revolusi Kopernikan dalam sejarah sains? Ya, revolusi itu tidak mungkin terjadi tanpa sepucuk surat dari Nicolaus Copernicus kepada Paus Paul III.
Copernicus memang tidak hendak melakukan kudeta, tetapi ia sama berbahayanya dengan kaum revolusioner Marxis bagi para pemegang kuasa, karena ia hendak menentang ajaran resmi gereja. Yang ia gugat ialah bahwa bumi adalah pusat semesta (geosentrisme) dan menggantinya dengan ajaran baru yang (secara ilmiah) membuktikan mataharilah pusat semesta (heliosentrisme).
Akan tetapi, sebelum menyebarluaskan On the Revolutions of the Heavenly Spheres, bukunya yang memuat pembuktian matematis terhadap heliosentrisme itu, Copernicus mengirim sepucuk surat bernada persuasif kepada otoritas tertinggi gereja. Karena surat yang ditulis dengan gaya esai persuasif itu, hati Paus Paul III menjadi luluh, dan hidup Copernicus tidak berakhir di tiang gantungan, serta tabir realitas bisa tersingkapkan kepada kita bahwa bumi yang kita tempati bukanlah pusat semesta, ia hanya bongkahan kecil dari sistem tata surya yang teramat besar dan luas.
Walau hati paus bisa luluh, percayalah, kalau pembaca Mojok membaca esai itu, tidak akan menimbulkan impresi apa-apa.
John Locke (1632—1704)
Hmmm… Apalagi orang ini. Jangan harap tulisannya bisa diterima Mojok. Sekalipun bukunya yang menjadi dasar bagi empirisisme modern berjudul An Essay Concerning Human Understanding (1689), sumpah, cara nulisnya garing banget. Ini nih, saya terjemahkan sepotong.
“Saya akan memulai dengan prinsip-prinsip spekulatif sebagai contoh dari prinsip-prinsip logis yang sering digembar-gemborkan oleh banyak orang: ‘apa pun yang ada itu ada’ dan ‘satu hal yang sama tidak mungkin ada dan sekaligus tidak ada’. Dua prinsip logis itu oleh banyak orang dianggap sebagai pengetahuan yang dibawa sejak lahir (innate). Prinsip-prinsip logis tersebut diyakini telah diterima oleh orang di seluruh dunia dan siapa saja yang berusaha mempertanyakannya akan dianggap aneh atau gila. Tetapi, saya akan mengatakan bahwa proposisi itu, yang tidak diterima oleh semua orang, tidak pernah didengarkan oleh sebagian besar umat manusia.”
Redaktur Mojok yang selera humornya buruk itu pasti tidak akan menemukan di mana sisi humorisnya. Filsuf bercandanya emang gitu.
Immanuel Kant (1724—1804)
Orang inilah yang bertanggung jawab atas lahirnya slogan “Sapere aude!”. Slogan Pencerahan itu pertama kali memang ditulis oleh Immanuel Kant dalam esainya yang berjudul “Jawaban atas Pertanyaan: ‘Apa itu Pencerahan?’” (catatan redaksi Mojok: jawaban pasti atas pertanyaan. Redundan. Pak Kant silakan belajar nulis lagi.). Dari judulnya saja sudah kelihatan bahwa Kant dulu termasuk siswa yang rajin mengerjakan soal LKS. Masak nulis esai judulnya gitu?
Paragraf pembukanya memang kayak jawaban soal UAS mahasiswa filsafat paling songong di semester pertama. Konteks kemunculan esai tersebut memang seperti dalam masa UAS. Jadi, pada 1783 Reverend Johann Friedrich Zöllner mengajukan pertanyaan, “Apa itu Pencerahan?” kepada para intelektual agen Pencerahan. Lalu setahun setelahnya Kant menjawab begini.
“Pencerahan adalah pembebasan manusia dari ketidakdewasaannya. Ketidakdewasaan itu adalah ketidakmampuan seseorang untuk menggunakan pemahamannya sendiri tanpa petunjuk orang lain. Ketidakdewasaan tersebut terjadi pada diri seseorang bukan karena tiadanya pemahaman, melainkan karena tiadanya keteguhan dan keberanian untuk menggunakan pemahamannya sendiri tanpa arahan orang lain. Oleh karena itu, motto Pencerahan adalah: Sapere aude! Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri!”
Boring~
Jacques Derrida (1930—2004)
Di kalangan para filsuf, selain ada kebiasaan saling hantam sesama teman atau bahkan guru dan murid, juga ada kebiasaan mengenang teman atau guru mereka yang “pergi” duluan. Esai jenis ini yang paling terkenal adalah memoar Jacques Derrida saat mengantar “kepergian” teman sekaligus gurunya, Emmanuel Levinas, di tahun 1995.
Esai berjudul “Adieu to Emmanuel Levinas” itu, jika dikirim ke Mojok, redakturnya pasti akan mengumpat: “Bedebah, Derrida! Esai beginian mana mungkin bisa dipahami semua orang.” Tapi, Derrida juga akan bodo amat. Esai itu ditulis bukan untuk dipahami semua orang, tetapi hanya sebagai pengantar kematian—yang karena orang yang dimaksud dalam esai itu sudah meninggal, kata-katanya seolah membentur kebuntuan, kehampaan, sehingga terpaksa berbalik, berputar kembali kepada diri Derrida sendiri, juga kepada diri kita semua yang masih hidup, sebagai tuturan refleksif tempat kita bercermin.
Berikut saya kutip potongan-potongannya:
“Sudah sejak lama, bahkan lama sekali, aku merasa takut untuk mengatakan adieu (selamat tinggal) kepada Emmanuel Levinas.”
“Aku tahu suaraku akan gemetar saat mengatakannya, apalagi saat mengatakannya dengan suara keras, tepat di sini, di hadapan Levinas, begitu dekat dengannya, mengucapkan kata adieu, kata à-Dieu (‘ke Tuhan’), yang, dalam makna tertentu, saya peroleh darinya, sebuah kata yang telah ia ajarkan kepadaku untuk berpikir dan mengucapkannya secara lain.”
“[…] Dengan suara yang diiringi air mata, terkadang mereka berbicara begitu akrab kepada orang lain yang sudah terdiam kaku, memanggilnya secara jelas tanpa perantara, menyebutnya dalam sebuah ceramah, bahkan menyalaminya atau menjadikannya orang tempat berbagi rasa. Itu bukan semata-mata karena menghormati tradisi, juga bukan semata bagian dari retorika orasi. Ini lebih sebagai upaya untuk bertutur kata saat kata-kata gagal karena semua bahasa yang akan kembali kepada diri, kepada kita, akan tampak seperti sebuah tuturan refleksif yang tidak pantas, yang pada akhirnya akan kembali pada sekumpulan orang yang dirundung dukacita, sebagai pelipur atau ekspresi berkabung, yang dengan ungkapan kabur dan buruk disebut karya ratapan (the work of mourning).”
“Sudah aku katakan bahwa aku tidak ingin mengingat kembali apa yang telah dia percayakan kepada kita tentang à-Dieu, tetapi pertama-tama aku ingin mengatakan adieu kepadanya, memanggilnya dengan namanya sendiri, memanggil namanya, nama pertamanya, sesuatu yang dengannya dia dipanggil pada saat dia tidak lagi bisa menjawab karena sejatinya dia menjawab dalam diri kita, dari kedalaman hati kita, di dalam diri kita tetapi juga di hadapan kita, di dalam diri kita tepat di hadapan kita, mengingatkan kita kembali: à-Dieu.
“Adieu, Emmanuel.”
Malah jadi sedih :'(