Tiga Alasan Jokowi Menang Jadi Presiden dan Prabowo Kalah Lagi

MOJOK.CO Alam telah memberikan tanda-tanda Prabowo jadi Presiden, tapi tanda-tanda lain pun menyiratkan Jokowi menang di Pilpres 2019 nanti.

Pendukung Prabowo dan Koalisi Indonesia Adil Makmur mulai sekarang tampaknya harus berbesar hati untuk mengakui keunggulan paslon nomor urut 01. Apalagi setelah debat kusir, eh, debat capres yang pertama, Jokowi berada di atas angin. Dengan gaya like a boss, Jokowi menyerempet Prabowo dengan isu operasi plastik Ratna Sarumpaet. Sekilas, sepertinya Jokowi menang dalam adu argumen.

Sementara itu, Prabowo malah keseleo lidah dengan sebuah kalimat pemakluman tentang caleg mantan koruptor dengan “korupsi yang nggak seberapa”. Sebelumnya, beliau menjelaskan korupsi yang dimaksud adalah menerima tunjangan hari raya (THR) yang terjadi di semua fraksi di parlemen seperti di DPR. Walaupun, pada kenyataannya, level korupsinya tidak seremeh-temeh maling ayam.

Alam memang telah memberikan tanda-tanda Prabowo bakal menang, seperti tahi burung di mobil Ferdinand Hutahean berbentuk angka dua, awan berbentuk Prabowo pakai topi penyanyi country macam Tantowi Yahya, sampai tonjolan urat di pelipis Sandiaga Uno yang berbentuk Trisula Aquaman. Namun, tanda-tanda lain pun menyiratkan Jokowi menang lagi.

1. Jokowi Pakai Pola dan Strategi SBY sang Presiden Dua Periode

Sebagai presiden dua periode, SBY banyak memberikan inspirasi kepada Jokowi yang nantinya menyusul menjadi presiden #10YearChallenge. Sejak awal, Jokowi memakai jurus yang sama seperti SBY: sama-sama menggandeng Jusuf Kalla. Jelaslah, JK bawa hoki dan tentunya punya banyak kantong suara dengan pengalaman dua kali ikut pilpres. Beliau sudah terbukti punya vice president material.

Dalam periode selanjutnya, SBY mengganti JK dengan cawapres pilihannya. Jokowi juga melakukan hal serupa. Pemilihan cawapres pun harus punya nilai tambal. Diniatkan untuk menambal kekurangan selama menjabat satu periode.

Saat hangat dicolek isu Bank Century, SBY malah memilih Boediono yang notabene Gubernur Bank Indonesia yang bertanggung jawab dengan penyelamatan Bank Century. Hal itu dimaksudkan untuk meyakinkan semua orang bahwa Boediono baik-baik saja. Kalau tidak, untuk apa SBY menunjuknya sebagai wakil?

Begitu pun Jokowi yang sempat dicap sebagai pemimpin dari rezim anti-Islam yang sering kriminalisasi ulama. Untuk menepis tuduhan, di injury time, Jokowi akhirnya memilih ulama sepuh, Kyai Haji Ma’ruf Amin, sebagai wakilnya.

Di periode kedua, SBY pakai slogan “SBY Berbudi” karena wakilnya Boediono, sekaligus untuk mengingatkan masyarakat bahwa ia telah berbudi karena sudah bagi-bagi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Rakyat otomatis mau balas budi dengan memilihnya kembali dengan harapan BLT bakal cair lagi.

Sementara itu, Jokowi pakai nama Jokowi-Amin, di saat pesaingnya pakai nama Prabowo-Sandi. Dengan demikian, ada pendukungnya yang memelesetkan, “Untuk pilih Prabowo, harus menyebutkan kata sandi. Sementara itu, pilih Jokowi cukup bilang ‘Amin’.”

Hal ini selaras dengan perkembangan zaman di mana banyak fanpage di media sosial yang posting gambar ibu-ibu pakai mukena, ditambah caption “Yang mau ibunya masuk surga, komen amin.” Lalu ratusan ribu orang kompak mengetikkan kata ‘amin’ di kolom komentar. Di pilpres nanti, orang-orang itu akan memilih Jokowi. Ya, Jokowi menang!

2. Seribu Titik Sandi dan Satu Titik Prabowo

Jika dilihat dari jumlah titik yang dicapai oleh paslon capres 02, dapat ditarik hasil yang IMBA. Dengan kata lain, Prabowo-Sandi kurang kompak satu sama lain sebab keduanya tidak saling mengimbangi. Sandiaga Uno sudah mencapai seribu titik dalam berkampanye, sedangkan Prabowo satu titik saja belum pasti. Maksudnya, Titiek Soeharto.

Setelah sempat kehilangan istri bersamaan dengan copotnya jabatan, kini hati Prabowo ditarik ulur oleh sang mantan. Bu Titiek merapat ke Prabowo hanya ketika mau pilpres saja. Isu rujuk pun santer terdengar bersamaan dengan datangnya desas-desus produksi masal mobil nasional Esemka.

Ini menunjukkan bahwa seolah-olah Prabowo hanya bisa kembali beristri ketika sudah jadi presiden. Jabatan dapat, istri jadi bonus. Sepaket. Siapa juga yang tak mau jadi Ibu Negara? Dara Arafah pun mungkin bakalan bilang, “Lihat mantan nyapres, deketin. Diajak koalisi, bungkus. Ada peluang dikit jadi Ibu Negara, pepet terus.”

Banyak masyarakat yang menyangsikan seseorang yang pernah gagal dalam membina rumah tangga: apakah ia mampu memimpin sebuah negara yang cakupannya lebih besar? Mungkin, orang yang berkata demikian adalah orang yang juga mendukung Basuki Tjahaja Purnama. Ahok baru-baru ini mengalami apa yang pernah dirasakan mantan pemimpinnya di Gerindra. Apakah Ahokers jadi ragu karenanya? I don’t think so.

Jelas, dua hal itu berbeda. Memimpin negara bisa diikhtiarkan, sementara cinta menyangkut hati orang lain yang tidak bisa dipaksakan. Kita tidak bisa memilih mencintai siapa. Apabila cinta kita terbalas, itu karena faktor keberuntungan. Begitu pula dengan kesetiaan pasangan.

Sesumbar ingin jadi presiden di Twitter, Ahmad Dhani pun pernah disinggung masalah keretakan rumah tangganya dengan Maia. Lalu Mas Dhani kurang-lebih menjawab begini, “Istri dan putranya Nabi Nuh juga membangkang. Apakah Nabi Nuh jadi diragukan kepemimpinannya dalam menjalankan bahtera penyelamatan umat manusia?”

3. Rivalitas Legendaris dengan Akhir yang Klise

Selama ini, hampir seluruh media, kecuali TV One, menggambarkan sosok Prabowo sebagai sang antagonis, dari mulai guyonan ‘Tampang Boyolali’ sampai marah-marah ke wartawan. Sementara itu, Jokowi dicitrakan sebagai hero. Di saat Prabowo melempar pesan-pesan pesimistis, Jokowi meredamnya dengan selalu berpikir positif dan sikap optimisme. Hal ini menjadikan rivalitas keduanya semakin hitam-putih.

Dari banyak cerita fiksi, terdapat rivalitas legendaris yang kita semua tahu akan bagaimana hasil akhirnya. Misalnya, di kartun Spongebob, Plankton selalu berusaha merebut resep rahasia Krabby Patty dari tangan Tuan Krabs, tapi percobaannya berkali-kali gagal. Contoh lain, sinetron Tuyul & Mbak Yul, di mana setiap hari Samson dan Pampam mengejar Ucil, tapi tidak pernah berhasil menangkapnya. Nasib serupa juga dialami Team Rocket di anime Pokemon: di ending setiap episode, mereka selalu ditendang jauh oleh Pikachu dan teman-temannya.

Begitulah jatah Prabowo. Seberapa keras usahanya menggapai cita-cita, ia akan dikalahkan oleh Jokowi sebagai karakter baik dengan fanbase yang super solid. Namun, tak mengapa. Tidak semua usaha harus berakhir sesuai ekspektasi. Kegagalan pun termasuk hasil, kan? Yang mana kita tidak tahu hikmahnya apa.

Dari rivalitas legendaris ini, setidaknya kita bisa mengambil pelajaran. Kita bisa mencontoh semangat kerja Jokowi, sekaligus meniru sifat pantang menyerah Prabowo. Yang satu mengajarkan apa itu amanah, satunya lagi mengajarkan arti qonaah.

Semoga terus qonaah ya, Pak Prabs.

Exit mobile version