Tentang Surga dan Isinya, Termasuk Para Bidadari dan Pesta Seksnya

170724 ESAI pesta seks BIDADARI Surga mojok

170724 ESAI pesta seks BIDADARI Surga mojok

Dalam tradisi ilmu-ilmu keagamaan, ada satu cabang ilmu yang membahas tentang Hari Akhir, yaitu eskatologi. Islam bukan pengecualian dalam hal ini. Eskatologi Islam bahkan memiliki satu cabang lagi yang unik, yakni bahasan tentang surga dan isinya. Dibanding agama-agama lain dari tradisi Abrahamik (Yahudi dan Kristen), sumber ajaran Islam memaparkan gambaran cukup detail tentang surga, dengan imajinasi yang “vivid” dan kadang sensual.

Beberapa karya dalam tradisi klasik Islam telah ditulis khusus mengenai surga dan isinya. Karya-karya itu biasanya dikategorikan dalam genre bernama “sifat al-jannah” (deskripsi surga). Salah satu kitab yang terkenal dari genre ini ialah karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (1292-1350) yang berjudul Hadil-Arwah ila Bilad al-Afrah (Penggiring Jiwa-jiwa Menuju Negeri Kebahagiaan).

Berikut akan saya nukil sebagian isi dari kitab karya murid Ibnu Taymiyyah itu. Alasan saya memilih kitab ini berdasar pada asumsi yang sederhana saja: Ibnu Qayyim berasal dari tradisi ahli hadis, sehingga mayoritas hal yang ditulisnya memiliki landasan tekstual yang cukup ketat. Sebagian besar isi kitab Hadil-Arwah itu memang berupa nukilan ayat dan hadis.

***

Kitab Hadil-Arwah mengandung 70 bab. Dalam cetakan modern, tebalnya lebih dari seribu halaman (bisa Anda unduh gratis di sini). Bab-bab awal berisi tentang eksistensi surga. Dalam bagian ini Ibnu Qayyim membahas isu-isu polemis dalam perdebatan antara Ahlus Sunnah versus Mu’tazilah.

Bab-bab setelahnya mengandung gambaran dasar tentang surga. Misalnya bahwa surga memiliki 100 tingkatan, yang tiap tingkatan memiliki jarak sejauh jarak bumi ke langit, dengan tingkatan paling atas bernama firdaus (dalam bahasa Inggris: paradise). Dari firdaus inilah bersumber empat jenis sungai yang mengalir di bawah taman-taman surga, yaitu air, susu, khamr, dan madu.

Surga memiliki delapan pintu yang masing-masing lebarnya sejauh jarak Mekkah ke Bosra (kini masuk wilayah selatan Suriah). Jarak antara satu pintu surga ke pintu lainnya sejauh perjalanan 70 tahun. Perabotan rumah di surga terbuat dari emas, perak, atau permata, demikian pula lantai dan dindingnya. Istana-istana disusun dari mutiara, dengan beragam istilahnya dalam bahasa Arab seperti lu’lu’, yaqut, dan zabarjad. Tanahnya bearoma harum misk/kasturi dan jalan-jalannya menyemburkan wangi za’faran. Begitu wanginya surga sehingga aromanya sudah tercium dari jarak sejauh perjalanan 40 tahun (bahasa Arab untuk wangi surga: raihan).

Pakaian-pakaian penduduk surga terbuat dari sutera (harir, sundus, dan istabraq). Para penduduk surga berwujud orang dewasa berusia 33 tahun dan tidak akan menua. Tinggi mereka sama dengan tinggi Nabi Adam, yaitu 60 dzira’/hasta (satu dzira’ sekitar 45 cm). Wajah mereka bersinar laksana purnama dan sedap dilihat.

Pepohonan dan buah-buahan yang ada di dunia, ada semua di surga. Benih ditanam di surga akan segera tumbuh tinggi dan berbuah. Pohon-pohonnya besar dan rindang, yang luas teduhannya seluas perjalanan 100 tahun. Minuman bermacam-macam. Yang disebut dalam al-Quran antara lain minuman dengan campuran kafur dan zanjabil (terjemah Indonesia: jahe) yang diambil dari mata air salsabil, yang dituangkan ke dalam gelas dari perak oleh anak-anak lelaki muda (wildan) yang tampan dan tak akan menua, yang ketika dilihat mereka tampak seperti mutiara yang bertaburan (lu’lu’an mantsuran). Minuman lainnya adalah “khamr murni di tempat yang disegel dengan kasturi” (rahiq makhtum).

Semua yang Anda inginkan, ada semua di surga. Al-Quran meringkasnya dengan ungkapan “di sana ada semua yang diingini dan sedap dipandang mata” (wafiha ma tasytahihil-anfus wataladdzul-a’yun). Wujud luarannya mungkin sama dengan yang di dunia, tapi kenikmatan di dalamnya tiada tara, yang dalam hadis diungkapkan dengan kenikmatan yang “belum pernah dilihat mata, didengar telinga, dan terlintas dalam benak”, atau dengan kata lain, melampaui imajinasi yang bisa dibayangkan.

Bidadari-bidadari perawan tersedia untuk para lelaki di surga. Di kitab Hadil-Arwah, bagian ini ada di bab 53-57.

Istilah al-Quran untuk bidadari surga adalah “hurun ‘in”. Istilah ini biasanya diterjemahkan ke bahasa Indonesian dengan “bidadari yang bermata indah”. Dalam tafsir, penggambarannya sedikit lebih detail, yaitu bidadari yang putih dan halus kulitnya, dan bermata besar dengan skleranya sangat putih sementara pupilnya sangat hitam.

Para bidadari itu akan dipasangkan ke para lelaki surga. Menurut satu hadis, dua bidadari untuk satu lelaki. Menurut hadis lain: 72 bidadari. Para bidadari itu berusia sebaya dan penuh cinta dengan pasanganya (‘uruban atraban), lagi berperilaku baik dan berwajah jelita (khairatun hisan) dan berpayudara menyembul (istilah Qurannya: kawa’ib, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan “maidens with swelling breasts”).

Para bidadari itu belum pernah sekalipun disentuh baik oleh manusia maupun jin. Mereka akan membatasi pandangannya (qashiratut-tharfi) ke pasangan dan tidak akan berpaling ke lelaki lain. Mereka juga selalu suci, dalam pengertian tidak pipis, berak, dan haid. Mereka memakai sutera tipis sehingga putih betisnya yang berkilau bagai mutiara yang tersimpan (lu’lu’ maknun) akan tampak transparan.

Para bidadari itu selalu berada di dalam kemah-kemah di surga (maqshurat fil-khiyam) menunggu pasangannya. Dan mereka selalu perawan (abkar). Begitu selesai disetubuhi, mereka akan kembali perawan lagi. Para lelaki surga akan memiliki kekuatan bersenggama 100 kali lipat dari yang di dunia.

***

Begitulah sebagian gambaran surga. Sekali lagi, saya cuma menukil dari kitab Hadil-Arwah itu. Malah yang diungkapkan di kitab itu lebih vulgar dari yang saya uraikan di atas. Kalau Anda tak percaya, ya baca saja kitab itu. Atau tanyakan ke siapapun yang bisa membacanya dan pastikan apakah saya telah mendistorsi nukilan. Semua uraian di atas memiliki dasar, kalau tidak dari ayat al-Quran ya dari hadis.

Anda boleh jadi bertanya-tanya, surga kok isinya begitu? Bagi saya, pertanyaan ini hanya akan muncul kalau seseorang berasumsi bahwa seks adalah sesuatu yang “hina” yang tidak seharusnya dilakukan di tempat yang “suci”. Kalau asumsinya diubah, bahwa seks bukan sesuatu yang secara inheren “hina”, pertanyaan itu tak perlu muncul.

Tapi, oke, kita terima saja asumsi itu. Dengan asumsi bahwa seks itu hal yang hina dan karena itu seharusnya tidak ada “pesta seks” di surga, padahal ayat maupun hadis yang bicara tentang seks dengan bidadari surga nyata adanya, pilihan yang tersedia ada dua.

Pertama, terima saja ayat dan hadis itu secara tekstual. Mau bagaimana lagi, memang begitulah yang termaktub dalam kitab suci maupun literatur yang merekam sabda Nabi.

Kedua, tafsirkan ayat/hadis itu secara kontekstual, dengan pendekatan hermeneutis. Maksudnya, teks-teks yang mendeskripsikan tentang surga itu diletakkan dalam dialog bersama “teks-teks” lain di lingkungan tempat turunnya ayat-ayat itu. Istilahnya: penafsiran intertekstual.

Simpelnya begini. Ayat-ayat yang menggambarkan tentang kenikmatan surga itu rata-rata adalah ayat makkiyyah, turun di Mekkah. Sementara lawan dialog Nabi di Mekkah adalah para penyair yang dalam tradisinya selalu memulai syair-syairnya dangan hal-hal yang sensual dan sering vulgar mengenai wanita. Di samping itu, sebagaimana tercermin dalam syair-syair jahiliyah, kaum pagan Mekkah tidak percaya dengan adanya akhirat. Bagi mereka, dunia ini abadi—satu kepercayaan yang belakangan disebut juga dengan “dahriyyah”. Maka al-Quran yang mendakwahkan kepercayaan tentang adanya akhirat kepada audien dari tradisi yang demikian hendak menyatakan bahwa orang-orang beriman tidak akan kehilangan kesempatan untuk mendapat kesenangan seperti itu, tapi ditunda nanti di akhirat.

Isunya menjadi berbeda ketika audiens yang dihadapi al-Quran berganti saat di Madinah, yaitu para Ahli Kitab yang sama-sama percaya akan adanya akhirat. Isunya berubah bukan lagi soal apakah surga ada dan apa isinya, tapi apa jalan yang benar menuju surga.

Konsekuensi dari perspektif semacam ini ialah ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan surga secara vulgar itu sebenarnya tidak berlaku secara substansial, melainkan retoris belaka. Yang substansial adalah pesannya, bahwa Hari Pembalasan itu ada.

Soal yang terakhir ini perlu elaborasi yang panjang. Kapan-kapan saya tulis. Sementara ini saya mau nonton Game of Thrones dulu.

Exit mobile version