Tentang Catur dan Ancaman Dalam Hidup

Tentang Catur dan Ancaman Dalam Hidup

Tentang Catur dan Ancaman Dalam Hidup

Siapa yang menyukai catur, pasti setidaknya pernah mendengar nama Aron Nimzowitsch, seorang master catur berkebangsaan Denmark kelahiran Rusia. Ia memang tak pernah jadi juara dunia. Puncak karir caturnya tak secemerlang Alekhine atau Capablanca. Namun demikian, sumbangsihnya terhadap permainan ini begitu besar.

Mbah Nimzo (maaf, namanya bikin malas buat ngetik, jadi saya singkat dan beri embel-embel ‘Mbah’ sebagai penghormatan) menulis Mein System, sebuah buku yang menjelaskan pendekatannya dalam memahami catur. Di buku itu ia turut merumuskan teori pembukaan catur hipermodern, yang menegaskan bahwa menguasai petak pusat tak berarti harus mendudukinya. Pembukaan caturnya yang terkenal, Nimzo-Indian, masih dipakai oleh master-master catur masa kini.

Buat saya, sumbangsih terbesar Mbah Nimzo dalam permainan ini dan juga moral kehidupan justru hadir dari kebenciannya terhadap asap rokok, seperti kebencian Arman Dhani ketika melihat seseorang yang punya pasangan.

Syahdan, dalam sebuah pertandingan, Mbah Nimzo dan lawannya ini bersepakat sebelumnya bahwa nanti tak akan ada asap rokok di antara mereka. Lawannya setuju dan mereka mulai bertanding. Di tengah-tengah pertandingan, Si Polan yang jadi lawan Mbah Nimzo ini pelan-pelan mengeluarkan sebatang cerutu beserta korek apinya. Mbah Nimzo memandanginya dengan serius. Si Polan dengan tenang menyelipkan cerutu ke bibirnya dan memainkan korek api di jari-jari tangan kanannya. Saat itu giliran Mbah Nimzo yang melangkah dan demi melihat kejadian itu konsentrasinya jadi terpecah.

Sampeyan sudah janji ndak akan merokok, ‘kan?” tanya Mbah Nimzo.

“Siapa yang merokok?” kata Si Polan, “Wong belum saya sulut, kok.”

Mbah Nimzo pun terdiam. Ia kembali menatap papan catur dan bidak-bidaknya. Namun pikirannya tak dapat kembali ke permainan. Bayangan akan adanya asap rokok mengganggu benaknya. Beberapa menit kemudian ia betul-betul tak tahan. Ia berdiri dari kursinya, berjalan mendatangi panitia pertandingan dan bilang, sambil menuding-nuding Si Polan.

“Tuh, sampeyan lihat tadi? Dia akan merokok.”

“Dia kan belum merokok. Jadi apanya yang menyalahi aturan?” seorang panitia mencoba menenangkan Mbah Nimzo.

“Iya, dia memang belum merokok,” keluh Mbah Nimzo, “Tapi dia mengancam akan merokok. Dan sebagai seorang pemain senior sampeyan harusnya tahu bahwa dalam catur, ancaman lebih berbahaya ketimbang eksekusinya.”

* * *

Tidak ada keterangan mengenai siapa yang dilawan Mbah Nimzo dalam pertandingan tersebut, kapan berlangsungnya, dan di mana tempatnya. Tidak ada pula yang pernah mengaku menjadi saksi mata atas kejadian itu. Edward Winter (yang masih kalah keren ketimbang Eddward S. Kennedy) dalam artikelnya yang berjudul “A Nimzowitsch Story” pun akhirnya mengambil kesimpulan bahwa cerita tersebut sangat ahistoris dan oleh karenanya hanya merupakan, katakanlah, anekdot semata.

Terlepas dari keasliannya, dalam Mein System Mbah Nimzo memang pernah menulis bahwa langkah ancaman lebih kuat dari eksekusinya. Catur adalah permainan mental, sebuah pertarungan psikologis di mana seseorang harus memiliki kepercayaan diri dalam tiap-tiap langkahnya.

“Jika kamu tidak berpikir bahwa kamu akan menang, kamu akan mengambil langkah-langkah pengecut dalam momen-momen yang krusial,” kata Magnus Carlsen, juara dunia saat ini.

Bagi para grandmaster, mentalitas sangatlah penting. Ambillah contoh Bobby Fischer. Yang ia sukai dalam permainan catur bukanlah ketika ia menyekak-mat raja lawan, akan tetapi, ketika ia melihat ego lawannya runtuh. Ia senang melihat lawannya kebingungan, berpikir begitu keras seperti tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi.

Maka itu benarlah ketika Boris Spassky, rival Fischer pada perebutan juara dunia catur tahun 1972 di Reykjavik, mengatakan bahwa satu-satunya yang tidak disukai Fischer dalam catur adalah ketika ia mengetahui ia akan kalah. Ia tidak suka memperlihatkan kelemahannya di depan lawan.

Oleh sebab itu, kebanyakan pertandingan grandmaster yang tidak berakhir remis tidak pula berakhir dengan sekak mat. Pada pertandingan amatiran di kampung-kampung atau di warung-warung kopi yang tidak dibatasi waktu, biasanya satu ronde berlangsung berjam-jam. Mereka akan menyelingi tiap langkahnya dengan obrolan santai, hisapan rokok, dan seruput kopi. Permainan kadang tidak akan berakir tanpa sekak mat selama masih memungkinkan untuk melakukannya. Pemain yang kelihatan akan kalah pun tidak segera menyerah, seolah menunggu lawannya melakukan blunder hingga permainan dapat diupayakan berakhir remis. Betapa menyedihkan.

Sementara, pada pertandingan-pertandingan catur profesional, salah seorang pemain akan menyerah ketika ia melihat dengan pasti bahwa sebuah ancaman tak dapat dicegah eksekusinya. Ancaman itu tidak harus berupa serangan mat dalam dua atau tiga langkah, tetapi bisa saja berupa hilangnya perwira-perwira penting, sehingga harapan untuk memenangkan permainan makin tipis. Seorang pemain profesional dengan hanya buah catur raja dan kuda pasti langsung menyerah pada lawannya yang memiliki sepasang benteng. Ada baiknya mengalah ketimbang memperlama kesengsaraan.

Karena catur adalah pertarungan mental itulah, tiap langkah yang baik selepas selesai fase pembukaan adalah langkah yang mengandung unsur ancaman. Dan karena itu pula, ketenangan seorang pemain mutlak diperlukan. Anekdot tentang Mbah Nimzo dan rokok Si Polan pun menuai pesan moralnya di sini: dalam keadaan segenting apapun, cobalah untuk tetap tenang. Jika malang tak dapat ditolak, ikhlaskan saja semuanya.

Maka itu, buat saya, belajar catur adalah belajar mengelola emosi. Sebuah pertandingan antara saya dan Abah saya beberapa bulan yang lalu betul-betul menjadi pelajaran. Posisi buah catur saya begitu baik, pakuan benteng terhadap bidak yang selangkah lagi jadi menteri benar-benar kuat. Kendati demikian, saya begitu panik, berkeringat, dan merokok tak putus-putus seperti seperti kereta api uap.

Abah hanya berujar: “Tenang, Fa, tenang”.

Saya kalah dalam permainan kali itu dan pada beberapa permainan berikutnya. Dalam catur saya belum bisa bersikap tenang menghadapi ancaman, apalagi dalam kehidupan. Tapi, setidaknya, saya sudah berusaha memahami Mbah Nimzo, tentang betapa mengerikannya sebuah ancaman.

Saat Abah pelan-pelan melepas nyawa malam itu, 20 Agustus 2015 lalu, kami sekeluarga dan beberapa anggota takmir Masjid Agung Semarang mengelilingi beliau. Ummi menangis, adik-adik saya juga. Hanya saya yang tidak. Saya sudah menangis beberapa jam yang lalu, di luar ruang ICU, setelah dokter dengan datar mengatakan bahwa kondisi Abah memburuk dan sakit yang dideritanya merupakan sakit tahap akhir.

Rasa-rasanya, sampai saat ini, itulah ancaman paling mengerikan yang pernah saya dengar.

Exit mobile version