Tak Semua Hubungan Asmara Harus Berakhir di Pelaminan: Sebuah Analisis Sosial yang Personal

Jangan bermental sebagai korban!

MOJOK.COPakar kegagalan asmara ini buka suara lewat analisis sosial. Apa kira-kira yang bikin orang kerap gagal menuju pelaminan?

Sudah memasuki usia 30 tahun ke atas dan status di KTP masih tertulis lajang menjadi perkara yang kerap bikin banyak orang insecure. Bukan karena orang-orang kayak gitu tidak berusaha, tetapi lebih persisnya belum mampu aja menggapai kursi pelaminan.

Setidaknya, dua kali sudah saya mengalami kegagalan dalam meyakinkan calon mertua bahwa putri mereka layak mengarungi sisa usia bersama saya. Yang pertama gagal karena saya dianggap kurang kaya (dan iya, itu memang betul) lalu kedua gagal karena… ah, nanti saja saya ceritakan.

Saya bahkan telah menulis sebuah novel setebal 140 halaman untuk pengalaman yang pertama. Novel debutan yang dicetak 100 eksemplar dan diterbitkan secara indie sekitar enam bulan sebelum hari H pelaminan. Saat itu saya pikir, novel itu bisa bikin saya jadi kaya raya layaknya Tere Liye atau Andrea Hirata.

Eh, ternyata tidur saya posisinya terlalu miring. Pada kenyataannya, hampir separuh dari novel itu rusak terkena tetesan air hujan dari genteng kontrakan yang bocor. Naskah itu pun tidak saya urus seiring ambyarnya rencana pelaminan saya itu.

Kawan saya, sebut saja namanya Fairuz, kasih nasihat yang cespleng berdasarkan pengalamannya (yang juga) ditinggal nikah pacarnya. Sambil berlagak layaknya Mario Teguh di hadapan saya, dia bilang:

“Dalam retaknya sebuah hubungan, kita pasti menyumbang entah sedikit atau banyak sebab-sebab terjadinya keretakan itu. Tidak mungkin hanya bermuara dari satu pihak saja. Pokoke jangan bermental sebagai korban!”

Bagi saya itu adalah quote terbaik yang bisa digaungkan ke semesta dunia percintaan. Maklum, nasihat itu lahir dari hati yang perih, bernanah, dan siap diamputasi.

Kawan satunya lagi, bernama Niam, mengatakan persis di hadapan wajah saya dan suaranya terdengar di seluruh penjuru warung kopi, termasuk rombongan semut dan nyamuknya.

“Masalahmu itu cuma satu aja, Ziz: kamu MISKIN!”

Alhamdulillah, kini kedua kawan itu telah hidup bahagia di daerah masing-masing dengan satu cita-cita yang belum terlaksana juga, yakni duduk di pelaminan.

Saat masih di pesantren, perkara belum menikah ini pernah dibahas ketika mengaji kitab fiqih Kifayatul Ahyar bab pernikahan. Kiai saya dengan benderang menjabarkan bahwa apabila seorang anak Adam belum mampu untuk melangsungkan pernikahan tapi kebelet pengin nikah, diwajibkan baginya untuk “berpuasa”.

Wa man lam yastathi’ fa’alaihi bishaum.” Begitu kira-kira bunyi teks hadis di dalam kitab itu.

Yang sedikit melegakan adalah frase kewajiban berpuasa itu oleh beliau ditafsirkan dengan lebih kontekstual dengan situasi saya hari ini.

Berpuasa itu tidak diartikan menahan dari makan dan minum dari fajar sampai magrib, melainkan sebuah keharusan untuk “menahan diri”. Yakni, menahan gejolak dalam diri dari melakukan hal-hal yang dilarang agama.

Suatu malam, di tengah pengajian yang sedang berlangsung, seorang teman, santri asal Rembang, yang baru melangsungkan pernikahan berbisik ke kuping saya, “Wa man lam yastathi’ fa’alaihi bil yadhi wa shobuni.” Apabila belum mampu untuk menikah, maka manfaatkanlah tangan dan sabun.

Sialnya, saya tidak bisa menahan bibir saya untuk mengatakan kalimat itu di sebuah forum pengajian. Maka meledaklah tawa para santri seisi aula di pengajian yang saya isi itu, pengajian kecil yang terdiri dari santri mahasiswa putra dan putri.

Sejarah adalah guru terbaik, kalimat yang tercecer di berbagai buku saat saya masih kuliah di jurusan Sejarah Islam. Dengan belajar dari sejarah kita tidak jadi kayak keledai yang jatuh dua kali dalam lubang yang sama, kata pepatah sih begitu.

Saya pikir saya telah cukup banyak belajar dari kegagalan yang pertama itu. Maka, satu tahun berikutnya, saya kembali menjalin hubungan asmara. Dan kelihatannya bakal berujung baik karena saya sudah sampai tahap menghadap ke orang tuanya.

Setelah bertemu dengan saya, keluarga calon mertua saya itu pun mendatangi seorang guru spiritual. Konon guru spiritual itu bisa menerawang kepribadian saya. Kata sang guru spiritual saya menggunakan guna-guna sehingga putri mereka bisa jatuh hati kepada saya.

Jika toh memang menggunakan guna-guna sih, saya nggak apa-apa dibilang begitu. Lah, masalahnya tidak. Lebih masalah lagi, si calon mertua itu lebih percaya guru spiritualnya ketimbang pengakuan jujur dari saya. Ya sudah, nasi sudah jadi bubur, ketela sudah jadi timus, sapi sudah jadi krecek.

Dari sana, saya kemudian menyadari bahwa sejarah atau pengalaman saja ternyata tidak cukup mempan untuk menjadi guru terbaik. Agar tidak seperti keledai, meskipun saya juga telah dua kali jatuh, saya lantas mencoba melakukan analisis sosial yang ala-ala saintifik dan komprehensif sehingga bisa benar-benar mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu itu.

Menikah dan privilese  

Secara sederhana, privilese itu hak istimewa. Berasal dari keluarga kaya dan memiliki sopir pribadi, misalnya, itu privilese. Mengenyam pendidikan di kampus bergengsi itu privilese. Terlahir di tengah keluarga darah biru dan disegani oleh masyarakat sekitar juga sebuah privilese.

Tidak bisa dimungkiri bahwa beberapa privilese itu menjadi pertimbangan bagi orang tua untuk menikahkan anaknya. Jika si gadis berasal dari keluarga biasa-biasa saja, lalu disekolahkan sampai tingkat universitas dan dipondokkan, kebanyakan dari orang tuanya tentu saja berharap bahwa suatu hari nanti sang anak bakal mendapatkan pasangan yang memiliki salah satu dari sejumlah privilese di atas, atau minimal yang setara. Masak mau diajak berjuang terus?

Setelah melakukan perenungan secara mendalam, saya menyadari satu hal: diri ini bukan bagian dari anggota masyarakat yang memiliki privilese semacam itu. Saya adalah lelaki biasa-biasa saja, pria reguler, laki-laki default. Tidak istimewa dan bisa melakukan hal luar biasa sebagaimana didengungkan para motivator.

Buya Syakur Yasin dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa banyak anak muda yang menikah dengan dilandasi oleh cinta semata. Cinta dalam hal ini, lanjutnya, bukan kesediaan untuk memberi. Yang dipikirkan adalah yang indah-indah saja: paha yang mulus, berpelukan mesra, kruntelan di ranjang.

Karena terhanyut pada angan-angan keindahan itu, lanjutnya, ketika masih berpacaran yang ditampakkan adalah kepalsuan. Menjadi dermawan padahal aslinya pelit. Mentraktir ke sana kemari padahal uangnya masih dari orang tua. Si gadis juga memoles wajahnya menggunakan bedak mahal padahal tidak kaya dan tidak cantik-cantik amat.

Dhawuh Buya Syakur itu terasa menusuk-nusuk diri saya. Membayangkan jalinan asmara sebelum-sebelumnya yang gagal semua menuju pelaminan, nasihat itu seperti menguliti diri saya secara perlahan. Sangat menyakitkan.

Sungguh, sebuah proses pengakuan diri secara jujur yang tidak mudah. Tentu saja, dalam proses itu, saya pernah merasa diri ini tidak berharga.

Ibarat sebuah gelas berisi air penuh, yang mana air tersebut tidak lain adalah prasangka berlebihan terhadap diri sebagai seorang terpelajar, lulusan S-2, bisa ini dan itu, perlahan saya tumpahkan. Saya adalah lelaki biasa-biasa saja seperti halnya orang-orang yang saya temui di pasar, tetangga dan kawan di rumah, teman-teman di warung kopi.

Setelah melewati masa-masa penerimaan diri (lebih tepatnya penghancuran diri sih) semacam itu, saya merasa lega seperti habis memenangkan liga PES 4 dengan lawan tanding yang mumpuni. Kalau di kampus, terutama di jurusan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, mungkin saya mengalami era pencerahan. Terbentur, terbentur, terbentuk.

Dalam hal hubungan asmara, kesadaran tidak memiliki privilese dan sebagai manusia yang biasa saja membuat saya tidak lagi mau mengumbar janji-janji manis dan angan-angan tentang hari depan yang gilang gemilang dan penuh kebahagiaan.

Dengan kata lain, ucapan dan tindakan saya lebih terukur alias presisi. Kenapa “harus” takut gagal lagi dan mikirin apa kata orang? Wong saya bukan siapa-siapa juga kok.

Pengin nulis kayak gini ya nulis saja dan saya kirim ke Mojok, mau dimaki-maki di kolom komentar ya bodo amat. Kalau akhirnya tulisan ini nggak dimuat ya tak mengapa. Mau jadi motivator spesialis kegagalan ke pelaminan boleh juga, tapi ya masak Malaikat Mikail tega?

Akhirul kalam, benar apa kata Jay Shetty, seorang penulis keturunan India, bahwa tidak semua hubungan asmara itu harus berakhir di pelaminan.

Toh, yang berhasil sampai ke pelaminan pun kadang tidak diawali dengan hubungan asmara. Bisa karena utang keluarga yang tak bisa dibayar atau mungkin karena kadung DP duluan.

BACA JUGA Bagaimana Surat Bu Shinta Nuriyah ke Gus Dur Selamatkan Saya dari Depresi Gagal Nikah dan tulisan Aziz Ahmad lainnya.

Exit mobile version