Susahnya Jadi Perempuan yang Dipaksa Feminin di Negeri Maskulin

MOJOK.CO – Ketika seorang perempuan memangkas rambut jadi pendek, ada saja orang-orang yang beranggapan itu jadi tanda kiamat akan segera tiba. Dianggap menyerupai laki-laki katanya.

Menjadi perempuan di negeri yang maskulin ini memang tidak mudah, Ceu Mimin. Selain harus bisa beres-beres rumah, mencuci, ngepel, dan seabreg hal-hal domestik lain—yang kebanyakan tujuannya bukan untuk kebaikan diri sendiri tapi agar bisa mengurus suami pada masa depan, perempuan juga seakan dituntut untuk berpenampilan sesuai standar konstruksi sosial.

Rambut tidak panjang? Seakan tidak seperti perempuan. Tidak bisa pakai high heels? Seakan kurang sisi perempuannya. Tidak bisa dandan? Hmm… itu perempuan atau bukan. Bokong dan payudara rata? Duh, kurang gereget keperempuanannya.

Dalam ranah yang agak religius sekalipun, penampilan ternyata masih menjadi nomor satu bagi orang tertentu. Misalnya saja, saya pernah melihat postingan di media sosial soal kriteria ukhti yang diidamkan seorang akhi pada biro jodoh syariah. Dalam sederet daftar yang dibuat akhi tersebut, ternyata tampilan luar seperti rambut, bentuk hidung, warna kulit, dan bahkan tinggi badan menjadi poin yang berada di urutan teratas. Mengalahkan poin soal akhlak atau otak.

Ngomong-ngomong akhi, itu kualifikasi calon istri atau calon anggota TNI?

Secara pribadi, tuntutan soal penampilan yang harus “cewek banget” itu juga saya rasakan. Bahkan sedari dulu. Saat masih kecil, saya harus berkutat dengan ketidaknyamanan akibat sering kali dipakaikan dress atau rok. Padahal, saya lebih senang pakai celana pendek.

Alasannya sederhana saja: celana pendek itu bisa membuat saya bergerak lebih bebas saat berlarian di pematang sawah, main lompat tali, atau saat mengejar layang-layang.

Ketika akan bepergian, muka saya juga dipolesi bedak. Tak lupa di bagian kepala diselipkan jepit rambut atau bando. Padahal, saya sangat tidak suka dibedakin atau di-jepit-rambutin atau di-bando-in. Karena bukannya merasa unyu, pakai jepit rambut atau bando itu biasanya akan membuat kepala saya terasa gatal-gatal tidak jelas.

Saat ingin potong rambut seperti model rambutnya Dea Mirella (tidak tahu Dea Mirella? Hih, sok muda!), saudara-saudara saya menggugatnya. Katanya, perempuan itu tidak boleh berambut pendek, nanti bisa menyerupai laki-laki.

Dalam buku mata pelajaran agama, katanya disebutkan bahwa perempuan yang menyerupai laki-laki—atau sebaliknya—termasuk dalam tanda-tanda kiamat. Kesimpulannya, kalau saya memangkas rambut jadi pendek, ada saja orang-orang yang beranggapan itu jadi tanda kiamat akan segera tiba.

Akan tetapi, di tengah tekanan itu, saya tetap potong rambut meski akhirnya menyesal juga. Bukan menyesal karena takut kiamat, tapi potongan rambutnya memang gagal dan tidak mirip Dea Mirella. Entah mirip Dea siapa.

Menginjak masa-masa awal kuliah, saya semakin sering terpapar tuntutan untuk menjadi perempuan yang lebih peduli pada tampilannya. Katanya, perempuan itu harus bisa dandan biar dilirik laki-laki, atau perempuan itu harus bisa dandan biar suaminya nanti tidak melirik perempuan lain. Keadaan juga diperparah dengan adanya celetukan dari beberapa teman tentang tampilan saya yang dinilai ke-laki-laki-an karena cuma suka pakai kaos dan celana jeans saja—padahal saya juga pakai daleman, lho.

Saya pun berubah. Saya tidak terlalu banyak memakai kaos dan menggantinya dengan baju jenis lain yang lebih terlihat keperempuanannya. Saya pun mulai menggunakan tas jinjing alih-alih tas gendong yang terasa lebih nyaman dipakai dan lebih berfaedah karena bisa muat lebih banyak barang: buku catatan, kamus, camilan, rokok ketengan, beberapa renceng kopi saset berbagai merek, termos, sampai tukang termosnya sekalian (ini mau kuliah atau dagang kopi seduh?).

Kali lain, saya pun coba-coba menggunakan bedak walau tipis dan memakai lip gloss yang sedikit berwarna. Beberapa kali saya pun mencoba memakai maskara kakak saya. Tapi, saya sempat heran karena penggunaan maskara itu tidak memberi efek yang signifikan pada tampilan mata. Belakangan, saya baru tahu kalau maskaranya sudah mengering. Saya kira maskara itu ya memang begitu bentuknya. Hmm… t4h1 kvc1n9!

Merasa telah menjadi orang yang hipokrit, saya pun berkaca di sebuah kolam sambil nyanyi lagu Reflection (biar terasa dramatis seperti di film Mulan). Tapi, da teh kaciri sih (mukanya tidak terlihat), jadinya saya berkaca di cermin biasa saja. Alhasil, saya melihat diri saya yang imoet terkubur di dalam sana, terhalang tampilan luar yang tidak saya banget.

Akhirnya, setelah beberapa bulan bertahan, saya pun memutuskan untuk berpenampilan sesuai dengan apa yang saya inginkan lagi: pakai kaos atau kemeja, pakai celana jeans atau kolor ketika di rumah, pakai sneakers atau jenis flat shoes lain, dan no makeupmakeup-an.

Di luar sana, banyak perempuan seperti saya. Para perempuan yang tidak melulu mengurusi alis ketika akan pergi keluar rumah, yang tidak mengoleksi gincu aneka warna, yang tidak begitu peduli dengan warna baju apa yang cocok dipadupadankan dengan warna tas atau high heels, yang rambutnya tidak panjang dan berkilau seperti bintang iklan sampo, yang tidak suka pakai rok, yang berpenampilan untuk mengekspresikan diri, bukan mengesankan orang lain.

Bisakah para perempuan ini dibiarkan merasa nyaman dengan tampilan dirinya yang tidak sesuai dengan “standar”? Lebih dari itu, kalau berbicara soal perempuan, tidak bisakah kita berbicara soal hal-hal yang lebih substantif dan tidak melulu soal tampilan luar? Seperti pada Liliyana Natsir, misalnya. Bukankah kita lebih banyak membicarakan Butet karena prestasinya sebagai atlet badminton? Bukan Butet yang tidak tampil “cewek banget”.

Tapi, saat memasuki usia yang distandarkan orang-orang sebagai usia yang cocok untuk segera menikah, bagaimana kalau tuntutan lain ternyata muncul dari calon mertua. Misal, calon mertua ternyata tidak suka perempuan yang tampilannya tidak perempuan banget? Kalau Anda mengalaminya, ya sudah Ceu, mari cari calon mertua lain yang lebih ramah perempuan “yunik”. Tidak semudah itu? Ya sudah, mintalah pacar Anda untuk ganti orang tua.

Tapi lagi, bagaimana jika masih banyak orang yang komentar kalau tampilan Anda mirip laki-laki dan itu akan menjadi tanda-tanda kiamat kubro? Ya sudah, suruh saja mereka ngomong sama HP Esia Hidayah.

Exit mobile version