Stereotip Pegawai Pajak Yang Kerap Bikin Sebal

MOJOK-Pajak-Multitasking

MOJOK-Pajak-Multitasking

[MOJOK.CO] “Pegawai pajak bisa segalanya kecuali membahagiakanmu dik.”

Sudah hampir sepuluh tahun saya berkarya menjadi pegawai pajak. Satu-satunya eselon satu yang selalu jadi sorotan karena tugas kami yang berat, menjadi tulang punggung penerimaan negara. Porsi terbesar penerimaan negara APBN memang dari pajak dan hingga saat ini saya masih menjadi satu dari lebih dari tiga puluh ribu pegawai yang mengabdi demi penerimaan negara.

Tapi banyak juga orang yang salah kaprah dengan pegawai pajak. Karena tugasnya mengumpulkan pajak, kata pajak diplesetkan sedikit jadi palak. Seolah-olah tugas kami ini memaksa orang-orang dengan bengis untuk bayar pajak. Padahal dalam sistem perpajakan Indonesia, pajak adalah self assesment, artinya ya wajib pajak yang lapor sendiri, bayar sendiri pajaknya, bukan pajak yang menagih.

Proses penagihan ada, tapi nanti kalau DJP menemukan ketidakbenaran dalam pelaporan atau pembayaran pajak oleh Wajib Pajak. Itupun tak langsung, didahului dengan surat himbauan, konseling, pemeriksaan, dan seterusnya. Nah kalau masih tidak benar dan tidak mau membayar pajak baru deh ke proses penagihan, itupun panjang prosesnya dan ada kesempatan bagi wajib pajak untuk membetulkan pelaporannya.

Duh, kok malah panjang jadinya. Pokoknya tukang palak itu adalah salah satu julukan yang pernah saya terima ketika saya bilang saya pegawai pajak. Dikira kita nungguin di pengkolan terus mintain duit Wajib Pajak?

Sudah dicap tukang palak, di social media sering sekali dicap ahli neraka. Saya menerima banyak sekali tautan terkait bahwa pajak itu haram dan bekerja di pajak itu juga haram, ahli neraka pokoknya intinya. Kalau soal ini saya tidak mau berdebat, soal surga neraka adalah Allah SWT penentunya. Soal halal haram pajak, mantan atasan saya yang juga ustad pernah nulis ini, karena mantan atasan saya ulama ya tentu pendapat beliau lebih sahih kan? 

Anggapan lain tentang pajak adalah kerjaan berhubungan dengan angka dan ngitungin duit. Ada benarnya dan ada salahnya. Kalau soal angka memang sebagian besar pegawai pajak berhubungan angka karena pekerjaannya banyak yang bersifat analisa tapi kalau ngitungin duit? Benar juga, pegawai pajak tugasnya memang ngitungin duit negara yang disetor wajib pajak di bank/kantor pos. Bukan duit sendiri.

Banyak duit dong kerjanya ngitungin duit? Biasanya sih itu yang jadi anggapan teman-teman dan kolega saya, dikiranya karena kerja di pajak lalu duitnya banyak. Kalau saya sih bilang banyak/sedikit itu relatif ya, tapi kalau anggapan banyak duit lalu hartanya banyak, tunggu dulu, ini aja saya masih nyicil KPR yang entah berapa tahun lagi lunas.

Orang-orang bilang juga jadi pegawai pajak itu enak, karena PNS jadi santai kerjanya. Wah, jangan salah dengan kerja utama mengumpulkan uang untuk negara, pegawai pajak itu tidak bisa santai-santai. Apalagi para pegawai pajak di KPP yang jadi ujung tombak penerimaan negara, setiap bulan harus melihat prognosa target penerimaan negara, setiap bulan dievaluasi kinerjanya. Ketika saya bertugas di KPP bahkan saat malam tahun baru saya masih bertugas memastikan penerimaan negara masuk di tanggal 31 Desember, saat orang-orang lain meniup terompet tahun baru, saya masih melihat angka penerimaan.

Dibilang santai dan enak itu sudah biasa, tapi sebenarnya jadi pegawai pajak apalagi PNS sebenarnya soal pengabdian. Sebelum jadi pegawai sudah disodori kontrak bersedia ditempatkan di mana saja, jadi ketika penempatan ya tiba-tiba penempatan di Toboali, Piru, Bungku, Buntok, Rimba Raya, Waikabubak, Baa. Nah lho pernah dengar nama-nama daerah itu? Di situlah para pegawai pajak mengabdi, kadang jauh dari keluarga tak jarang jauh dari kampung halaman bertahun-tahun lamanya.

Beberapa anggapan itu memang kadang menggemaskan. Adalagi anggapan soal seragam, banyak yang bingung ketika pegawai DJP tidak punya seragam resmi. Padahal kata senior-senior dulu pegawai pajak ada seragamnya, tapi setelah itu dihapuskan, jadi hingga sekarang tidak punya seragam resmi.

Jadi, setiap hari senin seragam kemeja putih dan celana hitam. Beberapa tahun lalu ketika pulang kerja dan menuju pusat perbelanjaan, saya sering disapa oleh konsumen, ternyata mereka mengira saya sebagai pekerja magang di pusat perbelanjaan itu! Tak hanya hari senin, hari rabu pun sama, karena seragamnya kemeja biru muda dan celana biru tua, kadang orang sering salah sangka, saya pegawai PDAM!

Ada satu lagi yang bikin orang salah sangka. Orang pajak itu ngurusin pajak motor, ngurusin STNK sampai ngurusin PBB rumah. Waduh itu salah kaprah yang masih terjadi sampai sekarang. Ya memang sih sama-sama pajak, tapi beda pajak, pajak kami yang diurusi ya pajak pusat, macam PPh, PPN, Bea Meterai dan PBB Perkebunan, Pertambangan, Perhutanan. Kalau pajak-pajak selain itu ya diurusi Pemda setempat.

Tapi ada yang paling menyenangkan menjadi pegawai pajak. Terlepas semua anggapan yang kadang salah kaprah itu, setidaknya selalu diingat oleh kolega, walaupun diingatnya hanya setahun sekali pas musim SPT Tahunan. Tapi gapapa, seingatnya masih diingat daripada tidak sama sekali, kan? Walaupun kadang jengkel juga, WA hanya singkat “Ini gimana ngisi SPT Tahunan” rasanya pengin jawab “Lah, taun kemarin kan sudah tak ajarin”. Kenyataannya tetap saya balas panjang lebar dan hanya dijawab singkat “Makasih, ya” lalu baru menghubungi saya lagi setahun kemudian, dan tahun berikutnya selama lima tahun berturut turut.

Tapi aku rapopo, yang penting masih diingat sebagai teman, sebagai pegawai pajak ini adalah pengabdian bagi masyarakat dan negara.

Nah berhubung Desember, ini saat-saat sibuk orang pajak, saya ga berani nulis panjang-panjang biar kerja kerja kerja aja yang panjang. Doakan saja kerja kami para pegawai pajak bagus, penerimaan bagus, jadi pajak bisa menopang APBN dan tak perlu utang ke asing lagi. Kan itu to inginnya? Gamau utang ke asing, kalau gitu rajin-rajin bayar pajak ya.

Exit mobile version