Simfoni Yahudi, Kristen, dan Islam di Andalusia

Hikayat-2019 - Mojok.co

MOJOK.CO – Muslim era Umayyah, pada umumnya punya pandangan yang liberal soal hubungan mereka dengan para penganut Kristen dan Yahudi di Andalusia.

Sejak awal “kedatangan” Islam, agama ini telah secara tegas mengakui hubungan eratnya dengan agama Yahudi dan Kristen. Nabi Muhammad saw. telah diminta memperlihatkan mukjizat seperti nabi-nabi sebelumnya, tetapi dia menolak.

Bagi Muhammad, dan bagi seluruh kaum muslim, wahyu Al-Quran adalah mukjizat yang tertinggi dan tidak terbantahkan. Muhammad menyadari bahwa dengan Al-Quran ini, umat muslim menjadi setara kedudukannya dengan umat Yahudi dan Kristen, yang masing-masing memiliki kitab sucinya sendiri-sendiri.

Menurut pandangan Al-Quran, dan dengan demikian merupakan bagian mendasar dari keyakinan Islam, Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. masing-masing juga telah diberikan kitab, yang menjadi landasan bagi berdirinya umat Yahudi dan Kristen.

Itulah sebabnya, umat Yahudi dan Kristen disebut di dalam Al-Quran sebagai “ahl al-kitab” (kaum penerima wahyu terdahulu), suatu ungkapan yang secara gamblang mengakui keabsahan wahyu-wahyu Tuhan yang diturunkan sebelum Al-Quran.

Memang, sementara masyarakat pagan atau jahiliah diperlakukan olah umat muslim dengan tegas dan diharuskan memeluk agama baru ini, kaum Yahudi dan Kristen disikapi sebagai kelompok yang berstatus ahl al-zimmi—yakni, “ikatan” atau “perjanjian” antara kaum muslim yang berkuasa dan masyarakat penerima wahyu terdahulu yang hidup di wilayah mereka dan di bawah kekuasaan mereka.

Kaum Zimmi, sebutan bagi kaum yang berada dalam status ikatan atau perjanjian ini, dijamin kemerdekaan mereka beragama dan tidak dipaksa memeluk Islam. Mereka dapat tetap menjadi penganut agama Yahudi dan Kristen, dan sebagaimana kemudian terbukti, mereka dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan sosial dan ekonomi seperti halnya kaum muslim.

Sebagai balasan atas jaminan kemerdekaan beragama ini, kaum Zimmi (kaum Pagan tidak memiliki keistimewaan semacam ini) diwajibkan membayar pajak jenis ini—dan diharuskan melaksanakan sejumlah aturan pembatasan: kaum Yahudi dan Kristen dilarang mengajak umat muslim berpindah memeluk agama mereka; juga dilarang membangun rumah-rumah ibadah baru, mempertontonkan salib, serta membunyikan lonceng-lonceng gereja.

Singkatnya, kaum Zimmi dilarang memperlihatkan praktik ibadah dan kegiatan keagamaan mereka di depan umum.

Tidaklah mengherankan kalau aturan yang nisbi, bersifat abstrak dan umum ihwal Zimmi ini, dalam praktiknya berbeda dari waktu ke waktu. Aturan itu terkadang menjelma dalam bentuk ketentuan yang benar-benar toleran, dan bahkan sangat liberal.

Namun, pada ujung ekstrem liyan, aturan itu terkadang mewujud dalam bentuk kebijakan yang menekankan dari segi budaya, yang di dalamnya kemerdekaan agama hanya merupakan formalitas kosong belaka.

Kaum Umayyah, yang nilai etika dan estetika mereka merupakan “mata air” kebudayaan Andalusia, pada umumnya menganut visi luar biasa liberal menyangkut masalah kaum Zimmi.

Pelbagai kebijakan sosial mereka pun umumnya sejalan dengan visi estetika mereka. Sikap mereka yang terbuka dan bersedia menyerap unsur-unsur budaya lain maupun budaya masa silam itu yang telah membuahkan Masjid Raya Damaskus, dan juga Masjid Raya Kordoba.

Terlepas dari isu-isu kebijakan yang spesifik menyangkut kaum Zimmi, yang pasti kaum muslim telah berhasil mengubah pandangan budaya menjadi bentuk yang terbuka dan, dengan diukur dari segi apa pun, memberikan kemajuan yang sangat pesat di segala bidang bagi negeri yang mereka temukan sebelum yang dalam keadaan setengah bersetai-setai.

Berbeda dengan pemerintahan Visigoth sebelumnya yang sangat dibenci mayoritas rakyatnya, kaum muslim bukanlah penguasa yang terpisah dan asing. Sebaliknya, sikap Umayyah yang terbuka dari segi budaya dan sejajar dari segi kesukuan merupakan unsur-unsur utama dari suatu etos sosial dan politik umum yang di dalamnya kaum Zimmi dapat dan memang telah berkembang.

Maria Rosa Menocal dalam bukunya, The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (2002) dengan cemerlang meneroka, bahwa seiring berlalunya waktu, kebutuhan memelihara artikulasi Islam Umayyah yang khas dan menonjol—yaitu dengan budaya eklektisismenya—semakin derana, terutama tatkala kaum ‘Abbasiyah dan kelompok-kelompok pesaing lainnya yang juga memperebutkan wilayah Dunia Islam (House of Islam) menawarkan visi politik dan sosial alternatif mereka, masing-masing sebagai tandingan.

Dampak positif kebebasan beragama dan keterbukaan budaya yang dibawa oleh agama baru ini terhadap komunitas Yahudi sangat jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Komunitas Kristen.

Sementara status politik dan sosial komunitas Yahudi meningkat secara dramatis dalam pemerintahan Islam, sebaliknya komunitas Kristen mengalami kemerosotan. Dari sebelumnya merupakan kelompok masyarakat mayoritas yang memegang kekuasaan pemerintahan, kini kaum Kristen berubah menjadi mayoritas yang diperintah oleh kaum minoritas muslim.

Penurunan status sosial ini terus berlanjut, dan dalam waktu yang tidak begitu lama (jelasnya pada masa Paul Alvarus, seorang tokoh Kristen yang vokal dan dihormati, yang hidup di Kordoba pada pertengahan abad ke-9). Kedudukan kaum Kristen telah menjadi kelompok minoritas yang jumlahnya terus berkurang.

Ritual keagamaan kaum Yahudi telah lama terpaksa hanya dapat dijalankan dalam wilayah pribadi dan rumah tangga. Adapun agama Kristen telah lama keluar dari lingkungan pribadi dan masuk ke wilayah publik.

Dengan kenyataan itu, mereka tentu saja berharap memperoleh lebih banyak hal ihwal tinimbang sekadar kebebasan keyakinan atau hati nurani (freedom of conscience). Melihat perbedaan ini, tak mengherankan jika pembatasan kegiatan keagamaan di tempat umum hanya berdampak kecil bagi kaum Yahudi, sedangkan bagi kaum Kristen perihal itu dipandang sebagai malapetaka.

Hal yang paling sulit diterima oleh kelompok fanatik Kristen adalah masalah perpindahan agama yang musykil dianalisis alasannya. Perpindahan agama tentu saja terjadi pula pada masyarakat Yahudi, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit daripada yang berlangsung dalam komunitas Kristen.

Lagipula, hal itu tidak sampai berdampak buruk pada merosotnya jumlah dan kesejahteraan komunitas Yahudi secara umum. Menjelang masa Alvarus, atau sekitar sekitar satu abad berdirinya pemerintahan Umayyah di Andalusia, umat Kristen kelihatannya mulai menelantarkan gereja-gereja di sekeliling mereka.

Di pihak liyan, kaum muslim sebagai kelompok mayoritas terus mengalami pertumbuhan, terutama berkat tingkat perpindahan agama nan tinggi. Sementara itu, orang yang tetap menganut agama Kristen kebanyakan merasa senang, bahkan bersemangat, menyerap budaya Arab.

Itulah sebabnya, Alvarus berkeluh kesah. Jamaah atau pengikut Alvarus akhirnya berkurang drastis, tetapi sekelompok kecil “domba-domba” Alvarus yang tetap loyal begitu berapi-api mendewakan “sang serigala”, sampai-sampai mereka ingin meniru gayanya berpakaian.

Menurut Charles L. Tieszen dalam Christian Identity amid Islam in Medieval Spain (2013), Alvarus sendiri tidak begitu pandai meneriakkan apa yang dia tahu sebagai hal yang benar. Betapa tipis garis pemisah antara rayuan budaya sekuler yang vital, rayuan suatu bahasa yang benar-benar hidup dan cukup mampu berbicara tentang Tuhan serta mengenai hal-hal yang dicintai manusia, dan agama yang dengannya bahasa dan budaya semacam itu itu berkelindan erat sekali.

“Mereka mempelajari para teolog dan filsuf Arab,” tulis Alvarus, “bukan untuk menolak pemikiran mereka, melainkan untuk mengetahui tata bahasa Arab yang benar dan indah.” Jadi, Alvarus mengetahui betul bahwa “tata bahasa Arab yang benar dan indah” lebih sering menjadi daya tarik yang jauh lebih besar tinimbang kebenaran pandangan seorang teolog itu sendiri.

Di Hispania, bahasa Arab memang telah menjadi hal yang memiliki daya tarik yang paling memesona, serta memiliki kekuatan untuk mengubah, dan terjadinya kasus-kasus perpindahan agama, banyak yang terkait erat dengan proses peralihan budaya yang sebelumnya telah terjadi.

Pertanyaannya, mengapa bahasa Arab itu memancarkan pesona yang demikian luar biasa? Mengapa bahkan orang-orang Kristen yang taat sekali pun begitu menyukai bahasa musuh mereka, sehingga mereka “menciptakan kembali” liturgi kuno mereka dalam bahasa Arab? Ringkasnya, daya magis apakah yang dimiliki bahasa Arab yang tidak dimiliki oleh bahasa Latin?

Sebagian jawaban telah kita dengar dari pernyataan Alvarus sendiri, “Mereka menghabiskan banyak waktu untuk memadati perpustakaan-perpustakaan yang sangat luas; mereka menyepelekan buku-buku Kristen dan menganggapnya tidak berguna untuk dipelajari.”

Teks-teks Kristen hampir seluruhnya adalah literatur Latin yang dibaca, dipelajari, dan diwariskan kepada anak-anak muda sebagai warisan budaya selama berabad-abad.

Sementara itu, bahasa Arab membawa bersamanya pelbagai khazanah yang hanya sedikit berhubungan dengan persoalan agama. Walaupun terkait erat dengan agama Islam, bahasa Arab juga merupakan jalan utama sekaligus jalan tembus menuju kumpulan karya-karya yang luar biasa, sedari puisi hingga filsafat, yang dapat memuaskan dahaga estetika dan intelektual di Hispania yang selama berabad-abad belum terpenuhi, atau belum cukup terpenuhi.

Arkian, pada sekitar 850 Masehi atau lebih, ketika Alvarus tengah menyaksikan apa yang dipandangnya sebagai proses penghancuran budaya, “perpustakaan-perpustakaan yang sangat luas” yang saat itu laksana api bagi “laron-laron” muda Kristen, baru mulai dibangun.

Ketika dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun kemudian Dinasti Umayyah akhirnya menemukan waktu yang tepat untuk mendeklarasikan kekhalifahan mereka secara resmi, perpustakaan-perpustakaan itu telah mengalami perluasan dan perbaikan beberapa kali, baik dari segi ukuran maupun kualitasnya.

Para pemuda yang pintar pada masa itu, baik dari kalangan muslim, Yahudi, maupun Kristen, semuanya mengetahui bahasa Arab. Selain itu, orang-orang Kristen terkemuka masa itu cukup mengetahui bahwa ada seorang Uskup Mozarab dari Elvira yang menduduki tingkatan tertinggi dalam korps diplomatik kekhalifahan dan kemudian bertindak sebagai duta khalifah pada kunjungan ke Istana Jerman.

Dengan begitu, mereka semua dapat membaca kisah manusia-manusia “setengah dewa” dari zaman kuno, seperti Plato dan Aristoteles, yang bagi orang-orang seperti Isidore dari Sevilla, hanya dapat menjadi mimpi, dan yang bisa dipastikan motif atau pendorong tokoh-tokoh gereja untuk mempelajari bahasa Arab.


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Exit mobile version