Siapa Bilang Biarawati dalam Masyarakat Islam Tidak Ada?

Pujangga China Misterius di Sebuah Pesantren

Pujangga China Misterius di Sebuah Pesantren

MOJOK.CO – Saya baru tahu kalau di dalam masyarakat Islam di belahan dunia tertentu, ada tradisi menjadi semacam biarawati. Perempuan suci yang “menikahi” Al-Quran.

Zarri Bano, aktivis perempuan berwajah jelita, pejuang feminis yang tomboi, alumni pascasarjana psikologi sebuah universitas di Karachi. Berusianya dua puluh tahun waktu itu, masih muda, cantik, dan terpelajar. Sudah barang tentu banyak pria ingin melamarnya dan selalu dia menolak. Sampai akhirnya datang seorang Sikander. Tampan, kaya, dan terpelajar seperti dirinya. Zarri akhirnya terpikat. Mereka pun sepakat akan menikah.

Akan tetapi sebuah peristiwa penting membelokkan secara tajam arah hidup Zarri. Jakfar, adik Zarri, tewas karena jatuh dari kudanya. Sang ayah, Habib, tuan tanah turun-temurun yang kaya di kampung itu pun kehilangan ahli waris kekayaannya satu-satunya, sebab Zarri hanya punya adik perempuan, Ruby.

Untuk memproteksi kekayaan keluarga itu, maka Habib memaksa Zarri untuk jadi syahzadi ibadatperempuan suci. Artinya Zarri tidak boleh menikah, dia akan selibat dan berkhidmat hanya untuk mempelajari dan mengajarkan agama, serta beribadah kepada Allah. Dia harus menjadi semacam biarawati. Ia harus “menikahi” Al-Quran.

Sebagai aktivis perempuan, Zarri sesekali sudah pernah membayangkan kalau dia mungkin tidak akan pernah menikah dan melajang seumur hidup. Dia tidak peduli dan cuek saja. Tetapi tidak boleh menikah, karena alasan ia harus menjadi perempuan suci, itu betul-betul di luar bayangan.

Seperti Zarri, saya juga tak pernah membayangkan ada institusi “biarawati” dalam Islam. Ternyata apa yang saya bayangkan dulu memang benar-benar ada dan telah jadi bagian dari tradisi tua di kawasan Sindu, Pakistan.

Ketika membaca novel Perempuan Suci, karya Qaisra Shahraz (1958), seorang penulis, konsultan pendidikan, sekaligus jurnalis freelancer Inggris kelahiran Pakistan, saya masih dalam perjalanan pesawat dan menunggu bolak-balik di bandara. Orang riuh berlalu lalang, tetapi kata dan kalimat dalam novel ini rasanya membuat saya terlempar dalam keheningan. Dari awal hingga akhir, alur cerita selalu berada dalam konflik dan ketegangan. Perasaan sedih, marah, simpati mendorong saya untuk terus menyelesaikan bacaan ini.

Perjuangan Zarri Bano dari memohon halus hingga berontak melawan ayahnya yang memintanya menjadi perempuan suci akhirnya mengalami kegetiran. Zarri kalah dan harus menerima kenyataan pahit. Menikah dengan Al-Quran. Meninggalkan dan menanggalkan sosok Zarri Bano yang dulu lalu mengubahnya jadi Zarri Bano yang baru.

Dari seorang perempuan terpelajar yang diidolakan banyak pria, berubah jadi seorang perempuan suci, dengan jubah besar dan cadar. Tidak boleh menikah dan dengan kegiatan hanya belajar serta mengajarkan agama.

“Seperti Ayah tahu, aku bahkan nyaris tak pernah menutup kepalaku dengan benar. Aku hanya mengetahui sedikit tentang agama. Aku adalah seorang perempuan yang duniawi. Aku tak bisa menjadi biarawati.”

Tapi rentetan argumentasi Zarri tak digubris. Ayahnya menggunakan isu seksualitas sebagai amunisi.

“Lalu yang kau inginkan dalam hidup hanya seorang laki-laki?” Zarri Bano tersudut dan diperas secara psikologis. Tepat di situ dia tersungkur. Zarri lalu melihat dunia menjadi gelap dan rasanya tak lagi menginjak bumi.

Ibunya, Shahzada, yang mencoba membelanya, diancam akan diceraikan oleh ayahnya. Ketika gagal melawan kehendak ayahnya ini, ibunya hanya bisa berkata dengan getir, “Aku seorang ibu, tapi aku seorang pengkhianat.”

Zarri mengatakan, “Kini aku yang berdiri di hadapanmu, ibu, adalah shazadi ibadat ayahku. Sang Perempuan Suci. Perempuan yang diciptakan Ayah untuk membunuhku. Tidakkah kau tahu Ibu? Para lelaki adalah pencipta sesungguhnya kebudayaan kita? Mereka mencetak takdir kita sesuai hasrat dan nafsu mereka.”

“Yang paling ironis dari yang ironis, karena aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri, karena ini terjadi pada diriku. Seorang aktivis pembela hak-hak perempuan. Selama ini aku tinggal di rumah kaca yang menjanjikan, Ibu. Putri tidurmu dipaksa dibangunkan untuk merasakan dunia tiran kaum patriarkis. Jangan menunjukkan kesedihan seperti itu. Aku membebaskan Ibu dari semua kesalahan. Aku tahu Ibu tidak mampu menolongku. Aku tidak akan menuntut pertanggungjawaban Ibu atas apapun.”

Bagian ketika Zarri Bano pertama kali diberitahu ayahnya untuk menjadi perempuan suci, perlawanan Zarri Bano, dan pembelaan ibunya, yang dirangkai dalam dialog yang hidup, kuat dan mengalir, betul-betul mengumbar simpati sekaligus kemarahan. Dalam hal ini, saya mau tak mau jadi ingat Kartini, dan membayangkan juga bagaimana pertama kali perempuan yang cerdas ini diberitahu akan dinikahkan dengan seorang bandot tua sebagai istri kesekian.

Lalu dengan dingin, ditampilkan adegan pernikahan Zarri Bano dengan Al-Quran—seperti pernikahan umumnya—dimeriahkan dengan pesta yang meriah dan berlimpah makanan. Ratusan tamu terhormat datang menghadiri undangan acara ini.

Untuk kesekian kali, ayahnya, Habib, dan kakeknya, Siraj Din, membangun kemegahan kekuasaan patriarkinya di bawah penderitaan putri dan istrinya. Sebuah deskripsi ironi yang luar biasa tajam. Saya menduga, jika perempuan membaca buku ini mungkin ia ingin merobek halaman-halamannya, atau melemparkannya begitu saja ke arah lelaki yang kebetulan ada di depannya.

Tentu saja ini bukan novel dengan rentetan pamflet kemarahan. Alur cerita dan penokohannya sangat kuat. Deskripsi etnografisnya juga sangat kaya. Lapisan dan keterkaitan cerita sangat masuk akal, juga keterkaitan antartokohnya. Singkatnya kualitas literer novel ini ada di atas rata-rata.

Sikander, sang kekasih yang harus ditelikung oleh Al-Quran, menganggap hal ini sebagai tradisi kuno dan bermaksud menyelamatkan Zarri. Sayang, Sikander tidak berkutik ketika Zarri sendiri mengatakan bahwa dirinya tidak dipaksa oleh siapapun. Mendengar itu, Sikander merasa dilemparkan ke jurang yang dalam dan dia tidak bisa keluar. Tenggelam di dalamnya.

Sementara penasaran mendengar isu rekannya sesama aktivis menjadi perempuan suci, Profesor Nabghat, seorang guru besar sekaligus rekan Zarri dalam kegiatan pembelaan hak-hak perempuan langsung bermobil dari Karachi mendatangi Zarri Bano.

“Jika ini terjadi pada salah satu anggota kami yang sedemikian kuat, kami akan kehilangan. Tujuan kami, aspirasi kami, harapan!”

Karena itu ia bertanya mengapa bisa terjadi? “Buku-buku tentang feminisme, kampanye dan pendidikan benar-benar tidak berguna untuk melawan tirani patriarkat dan tuan tanah kami yang feodal,” jawab Zarri Bano.

“Pada akhirnya kita sebagai perempuan hanyalah manik-manik kecil dalam bentangan kain keluarga kita yang ditenun dengan pintar oleh ayah dan keluarga lelaki lainnya,” sambungnya lagi.

Zarri, sembari membenarkan bahwa dia tidak bisa melawan kehendak ayahnya, juga pada saat yang sama merasionalisasi penerimaannya sedemikian rupa. Perempuan suci memang tidak diperkenankan menikah, harus selalu menggunakan jubah dan cadar, tetapi diperbolehkan bepergian ke mana pun untuk kepentingan agama.

Profesor Nabghat meninggalkan Zarri Bano dengan perasaan gusar.  Kejadian yang menimpa Zarri Bano, membuat gerakan pembelaan perempuan seperti ditusuk di bagian jantungnya.

Cerita masih sangat panjang, termasuk di antaranya, yang menyedihkan, Sikander justru menikah dengan adiknya, Ruby. Ini adalah bagian-bagian melodramatis dari novel ini dan dalam hal ini, sekali lagi, Qaisra Shahraz adalah seorang pencerita yang piawai. Saya tak akan memperpanjangnya.

Akan tetapi apakah sebenarnya tradisi shazadi ibadat itu? Apakah itu ajaran agama atau semacam adat? Mengapa ayahnya, Habib, merasa wajib melaksanakan ini meski harus mengorbankan putri tersayangnya? Mengapa Zarri Bano harus takluk?

Sangat sulit untuk meringkaskan jawabannya. Tuntutan keras ayahnya, pembelaan dan kemarahan ibunya, serta perlawanan dilanjutkan dengan pengorbanan Zarri Bano sendiri, membentangkan dilema-dilema yang ditanggung ketika menghadapi kepentingan yang telah dibungkus sedemikian rupa dan bertumpang tindih dengan agama, tradisi, kehormatan keluarga, kepentingan ekonomi politik, dan lain sebagainya.

Tentu semua sepakat, Shahzadi ibunya, Sikander calon kekasihnya, Nabghat profesornya, dan Zarri Bano sendiri, termasuk kemudian ayahnya sendiri yang menyesali keputusan ini, menganggap ini pada dasarnya bukan ajaran Islam. Hanya tradisi. Sekadar adat budaya.

Namun persis di sini titik masalahnya, karena apa yang dianggap budaya itu sering jadi ukuran teologis. Sebaliknya pula, yang tadinya merupakan ukuran teologis telah bertransformasi menjadi budaya. Mendadak di novel ini, keduanya jadi tak mudah dipilah dan dipisah.

Ini bukan hanya soal tradisi shahzadi ibadat, bukan pula soal kultur di Pakistan, tapi juga jadi cerminan bahwa banyak tradisi di belahan dunia lain yang melanggengkan diskriminasi yang zalim. Terutama yang berkaitan dengan kedudukan perempuan seperti yang dialami Zarri Bano.

Baca edisi sebelumnya: Perjalanan ke Timur, Mencari Rumah dan tulisan di kolom Iqra lainnya.

Exit mobile version