Seribu Wajah Agus Magelangan

Seribu Wajah Agus Magelangan

Seribu Wajah Agus Magelangan

Meski hanya punya satu wajah, wajah Agus Mulyadi ternyata bisa berubah-ubah. Dia bisa menyerupai wajah apa saja tergantung  kepekaan batin orang yang melihatnya, dan darimana melihatnya; atau tergantung bagaimana Agus sendiri menafsirkan wajahnya.

Di sebuah acara di Kudus misalnya, perempuan pembawa acara tiba-tiba memanggil Agus “Mas Eross” karena wajahnya dianggap mirip dengan Eross Candra, gitaris Sheila on 7. “Ayo sini, Mas Eross, maju ke depan,” kata si pembawa acara memanggil Agus.

Berkali-kali dia melambaikan tangan memanggil Agus. Dari suaranya, terdengar dia tidak sedang bercanda. “Mas Eros kok malu-malu sih,” katanya setelah Agus menolak maju ke depan dan hanya bisa nyengir.

Di acara itu, Agus memang tampil agak berbeda. Dia mengenakan jaket dan kepalanya ditutupi topi warna putih. Mungkin karena penampilan Agus, si pembawa acara lantas melihat Agus tidak seperti wujud aslinya. Atau mungkin juga karena posisi dia berdiri berjarak agak jauh dari tempat Agus yang duduk di deretan kursi paling belakang. Cuma memang tidak ada yang menyangka (apalagi Agus), kalau pembawa acara itu kemudian akan mengenali Agus sebagai Eross Sheila on 7.

Di tempat yang lain, ketika usai mandi pagi, Agus merasa mirip dengan Lupus. Pagi itu dia mengenakan caping, dan meminta seseorang untuk memfotonya.

“Aku sudah mirip Lupus belum, Mas?”

“Mirip, Gus. Bedanya cuma sedikit kok.”

“Bedanya apa, Mas?”

“Kalau Lupus bergaya dengan balon permet karet.”

“Kalau aku?”

“Kamu cukup pamer  gigi.”

Lupus adalah tokoh rekaan Hilman Hariwijaya dan popular di kalangan remaja tahun 80-an. Gaya berpakaian dan model rambutnya yang berjambul, saat itu menjadi kecenderungan di kalangan  anak muda. Pagi itu, gaya Agus di depan kamera, sepintas memang mirip Lupus. Setidaknya Lupus versi baru: Lupus dengan jambul di mulut. Lalu seseorang menyebut: Agus adalah arca Lupus yang keliru dipahat.

Lalu pada sebuah sore, di tempat yang berbeda, Agus menganggap dirinya mirip dengan Iko Uwais. Nama yang disebut terakhir adalah atlet pencak silat, tapi kini lebih dikenal sebagai aktor (laga). Filmnya yang terkenal adalah “The Raid”  (2011) yang juga beredar di beberapa negara dengan judul “The Raid: Redemption.”

“Kenapa kamu merasa mirip Iko Uwais?”

“Aku tak mau menjawab.”

“Kamu mengidolakan Iko?”

“Tak ada komentar.”

“Kamu melihat Iko, mirip denganmu?”

“Sekali lagi aku tak menjawab, Cak.”

Agus tentu punya alasan tersendiri untuk tidak menjelaskan, kenapa dia merasa mirip artis ini dan pesohor itu. Pemuda berusia 23 tahun dengan tinggi badan 160 cm dan bobot 44,5 kilo ini; punya semacam kepekaan dan penerawangan batin sekelas Sinto Gendeng, guru Wiro Sableng, yang tak mudah dipahami orang awam. Bila dia kebetulan membuka baju atau kaus, di dadanya konon bahkan terlihat dengan jelas tulang-tulang rangkanya.

Kadang dia mengomentari sesuatu tanpa harus ditanya. Misalnya sewaktu dia melihat penduduk desa di lereng pegunungan Sumbing, Temanggung, yang berlalu-lalang mengendarai sepeda motor di jalanan  yang menanjak dan menurun, tiba-tiba muncul komentarnya.

“Numpak sepeda motor di sini, giginya harus masuk satu dan dua ya?”

“Karena jalannya menanjak, Gus. Lah kalau kamu, mau gigi berapa?”

“Gigiku matic semua kok, Cak.”

Beberapa orang menduga, kepekaan batin Agus diperoleh karena yang bersangkutan rajin bertapa. Di rumahnya, di Magelang, dia bahkan menempati ruangan tersendiri semacam mezzanine, persis di bawah genteng. Kamar itu dibuatkan oleh bapaknya khusus untuk Agus, dan tentu, bukan sembarang kamar.

Seseorang bahkan pernah bertanya ke Agus perihal kamar khususnya itu. Dia adalah Puthut EA, cerpenis yang mulai penasaran: apakah Agus termasuk keturunan dari pembuat dan pemahat Candi Borubudur.

“Kenapa kamarmu di atas sih, Gus?”

“Rumahku itu sempit. Saking sempitnya, aku dan dua adikku harus bergiliran tidur di ruangan tamu di depan teve.”

“Lah terus?”

“Bapakku berinisiatif membuatkan kamar di atas untukku. Jadi begitu ceritanya, Mas.”

“Oh jadi bukan karena bapakmu menganggapmu codot, tho?”

“Ya ndak, Mas.”

Kalau dilihat dari penampilan, orang-orang mungkin akan meragukan bahwa Agus seorang pertapa. Apalagi sejauh ini belum ada yang pernah melihat Agus bertapa kecuali pada suatu fajar menjelang puncak pegunungan Sumbing. Beberapa orang saat itu menjumpai Agus seperti trance: antara kedingingan atau sedang berdialog dengan tanaman tembakau. Bibirnya nyrintil seperti merapal mantra.

Tapi kejadian itu tidak berlangsung lama. Agus seperti pantang dilihat. Dia meninggalkan orang-orang yang mengerubunginya lalu pergi menuruni jalan setapak. Berjalan perlahan dengan menyelimuti tengkuknya dengan sarung.  Ranting pohon kopi yang melintang di jalan dipungutnya, dijadikan tongkat.

“Kalau sudah begini aku merasa seperti pendaki gunung, Cak.”

Mimiknya serius. Pohon kopi di sampingnya, rumput dan tanaman tembakau, seperti terlihat menunduk seolah malu mendengar perkataan Agus. Batu-batu pun tidak bergerak.

“Gini-gini aku pernah dipanggil ‘Gus’ lho, Cak.”

“Namamu memang Agus kok.”

“Iya. Tapi maksudku ‘Gus’ seperti panggilan pada Gus Dur itu.”

“Kok bisa?”

“Aku jadi juri memasak di pesantren, dan panitianya memanggilku Gus Mul. Singkatan Agus Mulyadi.”

“Terus?”

“Usai acara, tanganku diciumi santri-santri.”

“Kamu memang pantas jadi apa saja kok, Gus.”

Tapi sebagai orang yang punya kepekaan mikrokosmis, dan bisa dilihat sebagai wujud apa saja bagai memiliki seribu wajah; Agus tak lalu bertingkah sombong. Sebagai manusia, dia menyadari dirinya punya kelemahan dan kelebihan.

Kelemahannya: bentuk mulut dan struktur giginya jelas agak menonjol. Kelebihannya: gigi Agus memang lebih menonjol ke depan.

“Tenang Gus, tak ada orang kaya dan orang miskin.”

“Oh gitu ya, Cak?”

“Iya. Juga tak ada orang pintar dan orang bodoh.”

“Lah terus?”

“Juga tak ada orang cakep dan orang jelek, Gus… kecuali dirimu.”

“Wah jancuk tenan sampeyan, Cak.”

Exit mobile version