Sejarah Indonesia 100 Tahun Lalu: Dari Pembuangan Tan Malaka hingga Keluarnya Muhammadiyah dari Barisan Sarekat Islam

Memang, begitulah kontinuitas hidup. Sejarah Indonesia mencata bahwa saat yang lain berjuang memperpanjang hidup dan memperluas alternatif kebebasan negeri, yang lain mestilah lahir untuk kehidupan yang kelak.

Sejarah Indonesia 100 Tahun Lalu: Dari Pembuangan Tan Malaka hingga Keluarnya Muhammadiyah dari Barisan Sarekat Islam

Ilustrasi Sejarah Indonesia 100 Tahun Lalu: Dari Pembuangan Tan Malaka hingga Keluarnya Muhammadiyah dari Barisan Sarekat Islam

MOJOK.COBerikut saya membawa pembaca untuk menapaktilasi sejarah Indonesia dalam 100 silam. Yakni, saat kalender menunjuk tahun 1922. 

Seratus tahun Indonesia adalah seabad memori yang perlahan meredup karena beban hidup kita sehari-hari. Kita dibombardir nyaris tiap hari peristiwa sehingga menjadikan jarak seabad itu seperti tak tersentuh sama sekali.

Lewat metode dan modus operandi sederhana, yakni kronikisasi, saya membawa pembaca untuk menapaktilasi sejarah Indonesia 100 silam. Yakni, saat kalender menunjuk tahun 1922. 

Kaleidoskop kali ini menyoroti peristiwa penting yang perlu diingat dalam bentang waktu 100 tahun silam itu. Ada yang diingat, ada yang lamat-lamat lalu lenyap. Bahkan, ada yang tak teringat sama sekali.

Inilah kaleidoskop Indonesia dalam seabad. Mari!

Revolusionernya Pegawai Pegadaian

Siapa pun tak menyangka, barangkali juga Gubernur Jenderal De Fock yang menghuni Istana Rijswijk di sisi utara Koningsplein (Monas), perselisihan di Kantor Pegadaian Ngupasan, Yogyakarta, bisa menjadi bara api yang menyulut kemarahan pegawai se-Jawa. Sejarah Indonesia yang mungkin tidak banyak Anda ketahui. 

Ya, pegawai pegadaian mogok se-Jawa. Anda tidak salah baca. Itu terjadi 100 tahun lalu di tahun 1922. Tak pernah terbayangkan, sebuah lembaga “penolong mahasiswa susah” dengan slogan “menyelesaikan masalah tanpa masalah” itu pernah berkontribusi besar dalam hal memasok spirit radikal dalam pergerakan bersamaan dengan insyafnya orang-orang Katolik-Jawa yang kemudian mendirikan Katholieke Javaanse Vereniging voor Politieke Actie.

Semuanya dimulai dari Pegadaian Ngupasan yang titik petanya terletak tak jauh dari Korem 072 Pamungkas di kampung sisi kanan Malioboro.

Alkisah, kontrolir Pegadaian Ngupasan, J. Ch. Tadema Wielandt memberi perintah kepada asistennya bernama Bawadi untuk membawa barang-barang dari gudang ke tempat lelang. Bawadi adalah seorang lichter, petugas penerangan. Biasanya, barang-barang ini diangkut oleh tukang kebun dan bende yang bekerja serabutan. 

Namun, karena melakukan “penghematan maksimum nrimo ing pandum”, semua pegawai melaksanakan kerja secara all in. Berodi-rodi dalam kantor. Bawadi protes. Tapi, si kontrolir kukuh dengan perintahnya. Sejarah Indonesia mencatat seperti ini.

“Ayo, angkat!” seru Wielandt.

Bawadi membantah bahwa itu kerja orang lain. 

Kontrolir Wielandt makin naik pitam, “Ayo, jangan banyak omong, mau tidak?” 

“Tidak bisa,” sahut Bawadi. 

“Saya beri kamu waktu lima menit lagi, mau tidak, kalau tidak, keluar, ayo pergi dari sini!” teriak Wielandt sambil menunjuk pintu.

Kepergian Bawadi itulah yang menjadi awal dari salah satu pemogokan terbesar dalam sejarah Indonesia yang dulu disebut Hindia Belanda. Dan, itu dilakukan para pegawai pegadaian. Berlalunya Bawadi membuka borok pegadaian yang dikit-dikit mengeluarkan circulaire oesiran dan kerap mengancam pegawai yang melakukan kesalahan kecil. 

Sambat Bawadi langsung direspons hoofdbestuur dari Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera atau P3B yang dengan tegas mengatakan tidak puas atas kebijakan kepegawaian bahwa mulai dari pegawai paling rendah sampai pada hoofdschatter atau kepala juru taksir dan hoofdkassier (kepala bendahara) jadi kuli angkat barang. Mereka harus membawa semua barang gadai ke tempat lelang, seperti memikul dandang, pispot, periuk, dan rupa-rupa barang pecah belah.

Surabaya adalah kota pertama yang tercatat oleh Sejarah Indonesia yang merespons kabar dari Ngupasan. Perusahaan pun bersidang dan memberi ultimatum kepada para pemogok jika tak masuk bakal dipecat. Pandhuis nggak mereken. 

Sementara, di Yogya sendiri, aksi mogok mulai memanas. Ada 20-an lebih kantor pegadaian yang pegawai atau pandhuis-nya turut mogok untuk bersolidaritas atas Ngupasan, seperti Lempuyangan, Bantul, Godean, Brosot, Sentolo, Sleman, Wonosari, Tempel, dan Kota Yogya. 

Dienstchef dari Batavia berangkat ke Yogyakarta untuk mengatasi masalah “sepele” ini. Keberangkatan dinas pusat ini atas telegram dari hoofdbestuur PPPB yang diketuai Abdul Moeis yang juga dedengkot Sarekat Islam.

Pertemuan antara Dienstchef dari Batavia dan PPPB ini menghasilkan beberapa “rasa sayang”. 

Sayang pertama, disayangkan bahwa beheerder bernama Stolk kurang mengetahui adat istiadat bangsa Jawa dan terkesan kurang sabar serta mamandang Bawadi lebih sebagai musuh dan bukan sebagai pegawai yang harus dituntun dengan sabar. 

Sayang kedua, disayangkan bahwa Controleur Wielandt tidak mencoba menghilangkan emosi Stolk, akan tetapi malah mengkomporinya hingga baranya semakin besar.

Sayang ketiga, disayangkan Inspecteur dalam menjalankan kewajibannya terlalu kaku dan kurang diplomatik, sementara Dienstchef terlalu tergesa-gesa mbacot kepada jurnalis Aneta dan tidak mengindahkan kemungkinan terjadinya pemogokan umum. 

Sayang keempat, disayangkan Asisten Residen mempunyai pendekatan yang keras dan tak bisa mengambil hati dan membujuk wakil hoofdbestuur PPPB.

Dari catatan Sejarah Indonesia yang dihimpun, lebih kurang 2000 orang pegawai yang mengikuti aksi mogok dari 5000 orang pegawai pegadaian yang ditarget. Tercatat, 97 dari 372 rumah pegadaian lumpuh.

Mengapa membesar? Karena solidaritas. Pemogokan pegawai pegadaian ini dipromotori PPPB atau Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera dan didukung sejumlah ormas pergerakan yang punya nama, antara lain Boedi Oetomo, PKI (Partij Komunis Indie), NIP (Nationaal Indische Partij), Revolutionare Vakcentrale (RV), Kweek Schoolbond (Perhimpunan Sekolah Guru), PGHB (Perserikatan Goeroe Hindia Belanda), Persatuan Guru Bantu, dan PFB (Personeel Fabrieks Bond). 

Untuk memaksimumkan pemogokan, ormas dan partai pergerakan punya cara-cara sendiri. PKI berdakwah dengan cara lisan dan tulisan. 

Ini salah satu pamflet propaganda komikal PKI:

Perhatian! Perhatian!

Mendesak-Sangat-Penting

Dicari beberapa orang pribumi pegawai pegadaian cadangan, dengan tanpa ijazah, untuk menggantikan pemogok di kalangan pegadaian, dengan syarat: baik dan rajin bekerja, tidak melakukan kekeliruan, dan kalau mereka melakukan kekeliruan akan diusir seperti anjing. Tidak memiliki rasa malu; lebih disukai “penjilat” yang sesungguhnya, yang menjunjung tinggi tingkah laku yang hina, senang dan cukup kuat memikul: gamelan, pot kencing dan buang air, kendil dan dandang, dan wajan dari tembaga, benda-benda besi sebagai alat kerja seperti pacul, linggis, kampak, golok, dsb. Juga berbagai jenis barang dari tembaga. Para pemohon yang dalam permohonannya menyatakan bahwa mereka mau bekerja sebagai budak akan segera diterima. Mengapa hal ini perlu ditekankan, alasan yang sangat kuat ialah para pegawai yang ada sekarang sangat menekankan arti pentingnya rasa hormat, dan pemimpin PKI menyatakan bahwa penyebabnya ialah orang Belanda. Sebelum orang Belanda datang, orang timur sama sekali tidak memandang hina kerja dengan tangan sesudah orang Barat menolak kerja demikian maka orang Jawa pun kini hanya mau bekerja tulis menulis.

Dan, karena sudah tak bisa ditenggang lagi, Gubernur Jenderal De Fock dari Istana Rijswijk mengirim polisi untuk menangkap Abdoel Moeis dan Reksodipoetro dengan tuduhan sprekdelict (delik bicara) dalam rapat terbuka. Jabatan keduanya masing-masing sebagai ketua dan sekretaris P3B.

Penangkapan dan pemenjaraan Moeis dan Reksodipoetro di Bandung itu tidak membikin anggota mengerut. Sejarah Indonesia mencatat bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Makin hari, rumah pegadaian yang lumpuh makin bertambah, dari 97 menjadi 118. Sikap dan reaksi pemerintah tambah keras. Lebih kurang 1200 pemogok langsung dipecat, rumah-rumah pegadaian dijaga ketat militer dari Manado agar pegadaian tetap beroperasi. 

Media buzzer pemerintah De Zweep yang diasuh D.W. Berretty–musuh bebuyutan Tirto Adhi Soerjo–menyerukan pemerintah segera membentuk paramiliter untuk melindungi harta milik orang Eropa dari orang pribumi yang memberontak. Beretty adalah juga jurnalis di ANETA atau Algemeen Nieuws en Telegraaf Agentschap.

Saat pemimpin utama P3B ditangkap, Semarang mengambil kemudi kepemimpinan kolektif untuk melakukan spoed-conferentie atau konferensi kilat. 

Konferensi tersebut dihadiri 26 utusan afdeeling rumah gadai, sedangkan 12 lainnya tidak hadir tetapi menyatakan taat atas semua ketetapan yang diputuskan konferensi. 

Ini isi Ketetapan Semarang yang tercatat dalam Sejarah Indonesia:

(1) Pemogokan umum untuk seluruh pegawai Pegadaian Bumiputera di Jawa dan Madura berlaku pada 20 Februari 1922 pada pagi hari. 

(2) Semua lid atau anggota yang pada saat itu tidak meninggalkan pekerjaannya, dikeluarkan dari PPPB. Afdeeling di luar Jawa dan Madura seperti di Sumatra diharapkan memberikan dukungan lebih dari dukungan yang sudah-sudah.

(3) Semua perhimpunan buruh dalam Revolutionaire Vakcentrale (RV) diminta bersama-sama memasukan keberatan kepada pemerintah atas sikap para petinggi terhadap pemogok, serta meminta dengan cepat pemogokan ini diurus. 

(4) Aturan lid PPPB dalam kelompok afdeeling tetap seperti sebelumnya; tidak bubar, melainkan terus berhubungan dengan afdeelingbestuur atau pengurus cabang.

(5) Himbauan agar tiap lid bestuur dalam afdeeling mematuhi segala putusan yang telah dibuat. 

Fenomena menarik dari pemogokan pegadaian ini adalah terseretnya Boedi Oetomo. Sudah menjadi keyakinan umum, Boedi Oetomo ormas yang enggak macam-macam dengan pemerintah. Tapi, beda dengan pemogokan besar pegawai rumah gadai ini. BO ikut serta.

Akibatnya, BO atau Boedi Oetomo ini banyak yang mengecam karena dianggap merusak moral bangsa sendiri dan disebut sebagai penabur benih budak. Lahirlah kepanjangan lain dari BO, yaitu “Berdagang Orang”. 

Asisten Residen Laceulle dari Surakarta bahkan menyurati pengurus besar BO yang isinya mencabut izin melakukan rapat umum dan rapat pengurus. Alasan si Asres jelas, BO telah mengadakan aksi “revolusioner”. 

Baca halaman selanjutnya….

Tan Malaka Ditangkap dan Dibuang

Saat pemogokan besar-besaran pegawai pegadaian berlangsung, polisi menangkap guru sekolah Sarekat Islam di Semarang. Tan Malaka nama guru itu. 

Sejarah Indonesia mencatat bahwa Tan Malaha ditangkap di ruang kelas sehari sebelum Hari Valentine 100 tahun silam. Delik yang disangkakan polisi intelijen adalah dua brosur yang ditulisnya bertendens, menghasut, dan merendahkan martabat pemerintah. 

Satu dari dua brosur menghasut itu sebetulnya esai bersambung setahun sebelumnya yang dimuat di Soeara Ra’jat. Judulnya, “Sovjet atau Parlement?”. Di brosur itu, Tan menjelaskan sedemikian rupa sejarah parlemen di Eropa. Membentang dari Rusia hingga Belanda.

Tan berujung kepada kesimpulan bahwa buruh tak boleh berharap banyak kepada parlemen. Mereka perlu membikin sendiri organisasinya yang kelak bisa menjalankan sendiri pemerintahan ekonomi, peradilan, dan pendidikan. Enyahkan harapan atas kedudukan parlemen.

Sementara, “SI Semarang dan Onderwijs” merupakan esai pendidikan bersambung Tan Malaka yang dimuat Soeara Ra’jat pada akhir Desember 1921. Sejarah Indonesia mencatat  bahwa esai ini menjelaskan secara telengas program sekolah SI sebagai candradimuka kader muda yang tangguh secara pikiran, terampil secara fisik (vokasi), dan revolusioner dalam berpolitik.

Sesungguhnya, delik tulisan menghina itu hanya dalih. Tan dibidik sebagai kapasitasnya ketua PKI pengganti Semaun yang setahun sebelumnya berangkat ke Rusia. Juga, keterlibatan Tan dalam propaganda pemogokan pegawai rumah gadai.

Dengan ditangkap-buangnya Tan Malaka, tutup juga sekolah Sarekat Islam yang dalam konsepsinya memang ingin berdiri berhadap-hadapan dengan sekolah-sekolah bikinan pemerintah.

Gubernur Jenderal mengirimkan kawat ihwal penginterniran Tan Malaka, yang sebelumnya ke Flores (ditolak Tan), kemudian dibuang jauh ke Belanda. Dengan kapal Insulinde, pada awal April, Tan meninggalkan Semarang, dengan, astaga, kumpeni sialan, pakai ongkos sendiri. Nyonya Sneevliet-lah penanggung uang tiket dan ongkos jalan menuju pembuangan.

Sejarah Indonesia mencatat hari pembuangan Tan Malaka pada 29 Maret, 100 tahun silam, juga bertepatan dengan pengakuan pemerintah atas organisasi hobi pengoleksi perangko atau filateli. Mereka menamakan dirinya sebagai Vereeniging Postzegelverzamelaar in Nederlands Indie atau VPNI yang sebelumnyai PCB (Postzegelverzamelaars Club Batavia). 

Mengadili Tjokroaminoto Atas Sumpah Palsu

Setelah lama ditahan atas kasus kekerasan dan pembunuhan yang dikenal dengan Sarekat Islam Afdeeling B di Garut, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dihadapkan ke Raad van Justitie Batavia

Tuduhan kepada Tjokro adalah  sumpah palsu hingga tiga kali. Dua kali saat didengarkan kesaksiannya di Landraad Ciamis, dan satu kali sewaktu pemeriksaan perkara Sosrokardono di depan Raad van Justitie Batavia.

Artinya, saat Sarekat Islam yang berbaju PPPB menggerakkan pemogokan besar pegawai rumah gadai, Tjokro tetap meringkuk dalam tahanan. Bahkan, hingga anak buahnya yang juga pengurus Centraal Sarekat Islam, Abdoel Moeis ditangkap di Bandung, Tjokro tetap dalam penyekapan.

Tjokro, dalam sidang-sidang, bersikukuh bahwa ia tidak melakukan tindakan yang dituduhkan jaksa penuntut umum yang bernama Du Cloux. Si jaksa dalam requisitoir-nya mendakwa Tjokro memberikan sumpah dan keterangan palsu serta ikut dalam organisasi terlarang (SI Afdeling B). Sejarah Indonesia mencatat bahwa dia dipenjara selama satu tahun dipotong masa tahanan. 

Semaoen Ditangkap, Buruh Kereta Mogok Massal

Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada 8 Mei 1922, tak lama setelah melakukan safari politik ke Eropa, terutama ke Rusia, Semaoen ditangkap. Delik yang disampaikan dinas polisi intelijen lantaran ada tanda tangannya di surat edaran VSTP atau Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel

Surat tertanggal 23 April 1922 itu ditujukan kepada seluruh cabang organisasi buruh kereta api dan trem itu agar bersiap melakukan pemogokan. Dan, pemogokan massal segera diselenggarakan kalau pemerintah menangkap pemimpin VSTP.

Semaoen percaya, juga Tan Malaka, pemogokan pegawai rumah gadai mesti dilanjutkan pemogokan lebih besar lagi dari organisasi buruh. Sebagai soko guru proletar, buruh tidak boleh kalah revolusioner dari pegawai pegadaian

Karena itu, VSTP sebagai salah satu organisasi buruh mesti menjadi pelopor di lapangan. Apalagi, ada alasan untuk itu, yakni rencana pemerintah memangkas tunjangan biaya hidup bagi seluruh pegawai, termasuk pegawai Dinas Kereta Api dan Trem. 

Benar saja, setelah Semaoen ditangkap, seluruh buruh kereta api dan trem di Cirebon, Surabaya, Pekalongan, Surabaya, Tegal, Madiun, Yogya, dan Semarang melakukan aksi mogok massal. 

Takashi Shiraishi menaksir kurang lebih terdapat 10 ribu buruh yang melakukan kegiatan pemogokan itu. Pemerintah langsung bereaksi dengan memecat semua buruh yang ikut serta dalam aksi pemogokan. 

Dari dua aksi pemogokan besar yang melanda Hindia, pemerintah secara kilat mengeluarkan artikel 161 di Hukum Kriminal Hindia (baca KUHAP). Isinya adalah larangan melakukan kegiatan penghasutan dan anjuran pemogokan, serta melarang kepada semua pihak untuk mendukung adanya kegiatan pemogokan.

Dari aksi pemogokan itu, semua kegiatan VSTP diawasi secara ketat oleh polisi. Di mana ada pertemuan dan rapat, di situ para tukang bakso dan siomay berkeliaran. Misalnya, walau rapat hanya membahas perihal duurtetoeslag atau dana tunjangan kenaikan harga, VSTP cabang Meester Cornelis (Jatinegara) dijaga ketat polisi.  

Ormas-Ormas Berkongres Di Bandung

Maraknya pemogokan, terutama pemogokan pegawai rumah gadai dan buruh kereta api dan trem, membuka kesadaran baru betapa pentingnya persatuan. Enam tahun sebelum kerapatan pemuda, di Bandung, ormas-ormas melakukan kongres kolektif. Kecuali PKI, semua ngumpul. Bahkan, tak terkecuali orang Belanda dan Indo.

Sejarah Indonesia bahwa momen 3-5 Juni seratus tahun silam itu adalah saat Boedi Oetomo dan lain-lain organisasi berkumpul di Bandung. Di sana, muncul seruan bahwa Hindia berhak menentukan nasib sendiri meskipun masih dalam hubungan dengan Belanda. 

Di antara yang naik mimbar adalah cendekia radikal Soewardi Soerjaningrat yang berbicara soal exorbitante rechten atau hak Gubernur Jenderal untuk membuang orang yang tidak disukai.  

Soewardi Soerjaningrat Dituduh Dan Lahirlah Taman Siswa

Sepulang dari Bandung, Soewardi Soerjaningrat sudah ditunggu polisi karena delik pers. Koran Penggugah yang dipimpin Soewardi memuat tulisan anonim. Artikel itu dituding melanggar wet, menyalahi perundang-undangan berlaku. Karena itu, pemimpin redaksi, dalam hal ini Soewardi mesti bertanggung jawab.  

Sebagai redaktur, Gatot mesti berkirim surat kepada Assisten Resident Yogya dan memohon agar Soewardi dibebaskan dari tuntutan karena dia tidak mengetahui duduk perkara dari artikel yang melanggar Undang-Undang tersebut. 

Ya, pada 16 Juni 1922, Soewardi diinterogasi Hulpofficier van Justitie Yogya atas sangkaan delik pers surat kabar Panggugah. Soewardi dipersalahkan karena tak mau menyebutkan nama penulis yang tersangkut delik itu. 

Saat bolak-balik diinterogasi itulah, pada 3 Juli 1922, atau 100 tahun silam, Soewardi Soerjaningrat mengumumkan berdirinya Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau yang dikenal dalam Sejarah Indonesia dikenal sebagai sekolah Taman Siswa. 

Saat sekolah Sarekat Islam ditumbangkan pemerintah dengan membuang otak utamanya yang bernama Tan Malaka, Taman Siswa hadir dengan motor dieselnya manusia buangan juga. Jauh sebelum Tan Malaka dibuang, Soewardi adalah interniran pada 1913 atas kasus tulisan di majalah De Expres

Refleksi Soewardi di Belanda itulah barangkali menabalkan semangatnya untuk membikin sekolah tanding milik pemerintah. Sekolah yang ditujukan untuk bumiputera, untuk keluarga yang papah. Sekolah yang digunakan sebagai alat agar siswa punya jiwa budaya, kecintaan kepada tanah air, serta memiliki kepandaian hidup sehari-hari. Dalam kelas, bahasa pengantar adalah bahasa ibu. 

Barisan guru-guru awal yang mengajar di Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa, selain Soewardi, ada Soerjopranoto, R.M. Soetatmo Soerjokoesoemo, R.M.H. Soerjopoetro, dan Ki Pronowidigdo. Nama-nama itu juga bagian dari perkumpulan “Slasa Kliwon” yang diketuai Pangeran Suryomentaram. 

Kongres Sarekat Islam dan Keluarnya Muhammadiyah dari Barisan

Dua bulan setelah Tjokroaminoto dibebaskan dari penjara Batavia, Centraal Sarekat Islam (CSI) menggelar kongres di Cirebon pada 31 Oktober hingga 2 November 1922. Alasan memilih Cirebon sebagai tantangan CSI kepada pemerintah yang telah mengisinuasi Sarekat Islam sebagai bagian dari organisasi kekerasan akibat peristiwa SI Afdeling B di Garut.

Kongres Sarekat Islam kali ini dikenal sebagai kongres Al-Islam yang pertama dengan mengusahakan tercapainya sebuah persatuan antar golongan muslimin. Sayang sekali, cita-cita persatuan itu menjadi bumerang. Yang terjadi adalah pada kongres kali ini, Muhammadiyah, Al-Irsyad, para ulama salaf, membikin kongres Islam sendiri pada Mei 1924.

Barangkali, organisasi-organisasi ini melihat Sarekat Islam sudah tak bisa diharapkan sebagai kapal besar pergerakan yang kuat. Apalagi, sejarah Indonesia mencatat bahwa pertarungannya dengan PKI atau Sarekat Islam Merah, terus melemahkannya sebagai organisasi yang solid.

Faksi Radicale Concentratie Dihidupkan

Pada 1918, di tubuh Volksraad (Dewan Rakyat), ada satu faksi yang menamakan diri sebagai Radicale Concentratie. Nama itu tampaknya dihidupkan kembali pada 12 November 1922 oleh para pemimpin perhimpunan revolusioner dalam sebuah vergadering di Batavia. 

Pertemuan ini diprakarsai tokoh sosialis bernama Cramer dan dihadiri wakil-wakil perhimpunan seperti Nationaal Indische Partij (NIP), Sarekat Islam (SI), Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP), Pasoendan, Sarekat Ambon, Partai Komunis Indie (PKI), dan beberapa perhimpunan buruh. Pertemuan ini juga sepakat menolak segala kebijakan pemerintah, terutama pada pembatasan kebebasan, serta penghematan pada bidang pendidikan dan sosial. 

Seratus tahun tokoh-tokoh Indonesia

Jika Anda senang dengan angka seratus dan rajin menyelenggarakan acara “Seratus Tahun Tokoh A, B, C, D”, saya rangkumkan sejumlah nama yang diperingati tahun ke-100-nya dalam berkiprah di bidang masing-masing.

Saat pemogokan pegawai pegadaian dan buruh kereta api berlangsung penuh api; saat Tan Malaka ditangkap, saat Tjokroaminoto sibuk berperkara di pengadilan Batavia; saat Soewardi membikin Taman Siswa; tokoh-tokoh dalam daftar ini baru lahir.

Memang, begitulah kontinuitas hidup. Sejarah Indonesia mencata bahwa saat yang lain berjuang memperpanjang hidup dan memperluas alternatif kebebasan negeri, yang lain mestilah lahir untuk kehidupan yang kelak.

Ini daftar 12 bayi yang pada tahun 2022 memperingati ulang tahun yang ke-100:

H.S. Rorimpandey (2 Januari 1922) adalah tokoh pers legendaris dan insan perfilman nasional. Dia lahir di Sulawesi Tengah. Koran terakhir yang dipimpinnya adalah Sinar Harapan.

Mochtar Lubis (7 Maret 1922) yang lahir di Padang adalah jurnalis dan sastrawan kawakan. Indonesia Raya adalah harian yang membumbungkan namanya sebagai jurnalis politik, sementara Horison menjadikannya sebagai sastrawan kampiun.

Slamet Muljana (21 Maret 1922) yang lahir di Yogyakarta adalah sastrawan dan sejarawan lulusan Universitas Leuven, Belgia. Dia adalah ketuan Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), sebuah perkumpulan akademisi di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Oei Tjoe Tat (26 April 1922) adalah pembantu terpercaya Presiden Sukarno yang lahir di Surakarta. Sejak 1963, dia diangkat menjadi Menteri Negara dan sempat pula menjadi salah satu anggota Kabinet Dwikora.

Dick Hartoko (9 Mei 1922) adalah penulis yang lahir di Jatiroto, Lumajang, Jawa Timur. Belajar filsafat di Kolese Ignatius Yogya dan mendalami sejarah umum dan teologi di Belanda. Sejak 1957 menjadi pemimpin redaksi majalah budaya Basis di Yogyakarta.

Rosihan Anwar (10 Mei 1922) adalah jurnalis yang lahir di Kubang Duo, Sumatra Barat. Koran terkenal yang dipimpinnya adalah Pedoman

Suardi Tasrif (3 Juni 1922) yang lahir di Cimahi, Jawa Barat, adalah ahli hukum dan jurnalis berpengaruh di Indonesia. Anggota The American Justice Society, Law Association for Asia and The Western Pacific ini pernah menjabat sebagai ketua dewan kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan ketua umum Peradin.

Jendral Ahmad Yani (19 Juni 1922) dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah. Namanya moncer saat operasi penumpasan PRRI/Permesta dan operasi pembebasan Irian Barat. Dia menjadi salah satu jenderal korban dari gerakan pembunuhan yang disebut Sukarno sebagai Gestok pada 1 Oktober 1965. 

Chairil Anwar (26 Juli 1922) adalah penyair yang lahir di Medan. Karya-karya puisinya menjadi tonggak yang memisahkan “pengucapan puisi lama” dan “pengucapan puisi baru”. Dia adalah anak kandung revolusi Indonesia dan dunia sastra Indonesia. 

Mayjen Sutoyo Siswomiharjo (23 Agustus 1922) dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah. Namanya melegenda karena satu dari tujuh perwira tinggi Angkatan Darat yang menjadi korban dari gerakan pembunuhan Gestok pada 1 Oktober 1965. 

Abdul Halim Perdanakusuma (18 November 1922) dilahirkan di Sampang, Madura, merupakan Wakil II Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU). Dia ditugaskan membuka hubungan dengan luar negeri dalam rangka mencari senjata dan bantuan lain yang diperlukan bagi perjuangan revolusi. Untuk sampai ke Bangkok, dia perlu menembus blokade udara Belanda. Namun, tidak untuk pulangnya. Pesawat yang dia tumpangi mengalami kerusakan mesin dan jatuh di Tanjung Hantu, Malaysia.

Bakri Siregar (14 Desember 1922) yang lahir di Langsa, Aceh, adalah seorang sastrawan. Dia bagian dari Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dia memimpin divisi sastra Lekra bernama Lembaga Sastra Indonesia (Lestra).

Nah, dari 12 nama itu, mana saja yang sudah Anda peringati “tahun ke seratusnya” dengan cara intim, sederhana, sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing. Atau, lebih banyak lupa? Itu.

BACA JUGA Kisah Cinta Tragis Ala Tan Malaka: Empat Kali Mencinta, Lima Kali Ditolak dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Muhidin M. Dahlan

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version