Reformasi Polri Itu Apa?

Asal Anda tahu saja, sebanyak 70 persen dari anggaran Polri yang kelihatan besar itu habis untuk gaji anggotanya. Sisanya? Untuk operasional. Sama sekali tak ideal.

yanma polri mojok.co

Ilustrasi polisi. (mojok.co)

MOJOK.COPolri kini bukan lagi hanya aparat penegak hukum, tapi sudah jadi alat politik. Kalau mau reformasi Polri, ya itu dulu lah ya yang diberesin.

Harus diakui, sudah beberapa pekan ini Kepolisian Indonesia (polri) jadi institusi publik paling disorot. Deretan kasus mulai dari arogansi kekuasaan hingga penyalahgunaan wewenang bikin Polri dapat banyak kritikan. Dari tagar #percumalaporpolisi sampai kasus pemukulan seorang perwira polisi ke anak buahnya.

Yang terakhir, sejumlah elemen yang menamakan dirinya Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mengeluarkan 6 tuntutan terkait percepatan reformasi di tubuh Polri. Di antara poin-poin tuntutannya terkait profesionalisme dan masih kentalnya budaya kekerasan. Dengan perkembangan seperti ini, Polri seolah menjadi institusi paling buruk di negeri ini.

Namun, derasnya kritikan maupun 6 tuntutan tersebut belum me-jlentreh-kan seperti apa reformasi itu dilakukan? Dan yang terutama, prioritas pertama dari reformasi polri ini apa?

Sebelum menjawab itu, perlu saya kasih tahu dulu kalau Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah memenuhi standar PBB mengenai rasio personel aparat keamanan dan warga negara.

Menurut kriminolog Andrianus Meliala, total anggota Polri mencapai 579 ribu personel dan mencatatkan 243 per 100 ribu penduduk. Melebihi standar PBB yang mensyaratkan 222 per 100 ribu penduduk. Ini hal yang baik di satu sisi, tapi di sisi lain juga menimbulkan persoalan. Terutama dari sisi anggaran.

Pada 2021, korps Bhayangkara dapat jatah Rp111 triliun dari APBN. Jumlah yang cukup jumbo. Namun, tidak jika dilihat dari posturnya. Polri sama seperti banyak institusi pelat merah lainnya—tidak mendapatkan anggaran ideal.

Asal Anda tahu saja, sebanyak 70 persen dari anggaran tersebut, biasanya habis untuk gaji personel. Maka, ketika membaca sebuah artikel yang menyebut “anggaran Polri tergolong besar”, saya merasa bahwa ungkapan seperti itu harus diinterpretasi ulang.

Besar untuk ukuran APBN iya, namun peruntukannya di dalam tidak ideal.

Kalau kamu tidak percaya, mari coba lihat anggota di lapangan. Berapa dana anggota di lapangan untuk anggaran penyelesaian kasus? Sangat kurang. Berapa untuk beli bensin patroli? Masih sangat kurang. Berapa untuk membiayai pergeseran pasukan untuk pengamanan? Jawabnya lagi-lagi masih sangat kurang.

Kurang idealnya anggaran di lapangan ini tentu berpengaruh pada profesionalisme. Contoh sederhana, misalnya untuk menangkap seorang perampok, anggarannya tidak sedikit. Biaya di lapangan macam-macam.

Untuk bayar informan, makan-minum beberapa anggota di lapangan, dan siap untuk biaya kontingensi (misalnya dalam proses penangkapan terjadi kerusakan), bea ngeprint berkas penyidikan yang diremehkan tapi ternyata banyak itu, taruhlah paling tidak habis Rp10 juta. Sementara, anggaran resmi penyelesaian kasus paling banter Rp1 juta.

Barangkali hanya cukup untuk membuat berkas penyelidikan yang tebal-tebal dan seringkali rangkap banyak, dan harus revisi ketika jaksa menyatakan P-19 (belum sempurna berkasnya)—semacam revisi. Sangat jauh dari ideal.

Itu untuk satu kasus. Bagaimana jika dalam sebulan menyelesaikan 30 kasus? Siapa yang nomboki sisanya?

Apapun jawabannya, seorang kepala unit reserse harus kreatif mencari tambahan duit (yang seringnya kebablasan dan ternyata membuat kaya banyak personel Polri). Lalu, solusinya apa? Satu-satunya jalan ya menambah anggaran Polri atau mengurangi personel Polri hingga separuh yang ada.

Dua pilihan yang tampaknya sama-sama tak bisa diambil saat ini.

Lepas dari itu, yang jelas secara de facto, kondisi di lapangan tidak ideal. Kurang anggaran. Tapi, kegiatan dan peningkatan kinerja penangkapan atau layanan kemasyarakatan harus jalan terus. Dan meningkat.

Tentu saja ini hal yang sangat tidak ideal, dan kita tahu kesempurnaan tak bisa muncul dari hal-hal yang tak ideal. Hal ini harus diingat dulu, dan terus terang saya juga belum tahu pemecahan terkait masalah ini.

Paling banter, ya harus membuat batas-batas etis sejauh mana kreativitas mencari tambahan anggaran itu dilakukan. Kenapa hanya bisa batasan etis, karena bagaimanapun secara normatif, mencari tambahan uang tidak bisa dibenarkan.

Selain itu, derasnya kritikan dan tagar #percumalaporpolisi trending pada beberapa titik justru mengundang sejumlah hal negatif karena beberapa hal.

Jangan salah membaca, karena saya termasuk yang percaya Polri harus dikritik dan dibenahi. Namun, ini hanya membeber fakta yang saya tahu di lapangan sebagai ex-jurnalis kasus kriminal (yang artinya saya cukup deket sama kerja-kerja polisi di lapangan).

Yang pertama, gerakan ini bisa meradikalkan personel Polri sendiri.

Jika Anda pernah ikut gerakan mahasiswa, tentu kerap mendengar bahwa “tindakan represi justru meradikalkan massa”. Nah, efek serupa terjadi pada Polri. Lulusan-lulusan baru Polri yang masih muda bisa menjadi sangat keras merespons.

Ada banyak kasus, seperti kasus admin Humas Polda Kalteng yang merespon komen terlalu berlebihan. Meski pada akhirnya merugikan Polri sendiri, namun timbul rentetan kekerasan yang tak perlu terjadi.

Yang kedua, kritikan kerap kemudian jadi tidak proporsional.

Kadang kasus yang dilaporkan dan diklaim tidak nyambung dengan esensi kritikan itu sendiri. Akhirnya, banyak yang melihat Polri secara tidak proporsional, dan sekali lagi terjadi lingkar kekerasan.

Harus proporsional, karena sebenarnya yang saya lihat, Polri termasuk salah satu institusi yang terbaik melakukan terobosan pelayanan publik. Saya ambil contoh SIM Corner.

Layanan perpanjangan SIM ini boleh dibilang puncak layanan publik. Anda tak perlu ribet mengurus di Satpas SIM (Satuan Penyelenggara Administrasi SIM—nama resmi dari orang menyebut mengurus SIM di kantor polisi).

Cukup datang ke mal atau gerainya, membayar sesuai dalam persyaratan, dan dalam waktu yang cepat. SIM Corner di Surabaya bahkan menetapkan standar penyelesaian perpanjangan hanya dalam waktu lima menit.

Mana ada layanan publik dari instansi lain yang secepat itu. KTP? KSK? Akte Kelahiran? Sependek pengetahuan saya, belum ada layanan penerbitan dokumen resmi secepat SIM Corner. Ini jadi salah satu bukti bahwa polisi siap tidak menerima uang lebih.

Ya kan sudah jadi rahasia umum, kalau layanan penerbitan SIM adalah salah satu lahan abu-abu untuk mencari tambahan duit.

Atau sebut saja Densus 88, satuan penguber teroris. Mereka termasuk detasemen yang paling efektif di dunia dalam penanganan teroris. Atau misalnya, inisiatif yang dilakukan Kapolda NTB Irjen Pol M. Iqbal.

Tanpa mengurangi jasa pihak lainnya, namun boleh dibilang inisiatif Iqbal lah yang membuat kasus Covid-19 tetap terkendali di NTB. Jenderal polisi bintang dua itu sejak awal pandemi mengajak pemprov dan instansi lain membuat program Lomba Kampung Sehat. Pada intinya, menjadikan masyarakat itu sendiri sebagai ujung tombak mitigasi pandemi.

Belum lagi di lapisan paling bawah. Polisi kerap menjadi fasilitator penyelesaian secara tak resmi untuk problem di masyarakat. Contoh terakhir, saya baru saja mendengar ada problem harta warisan antar-keluarga mengenai warisan yang diselesaikan di Surabaya.

Hal-hal baik seperti ini perlu diperhatikan. Bukan untuk membela Polri, tentu saja, tapi agar usulan reformasi yang dilakukan justru jangan sampai malah mematikan inisiatif atau prestasi parsial seperti ini.

Saya ingin reformasi Polri ini dilihat secara holistik, dan mendorong hal-hal ini untuk menjadi kebiasaan dan protap baru.

—000—

Kembali ke usulan reformasi Polri, saya justru melihat yang paling utama dan mendasar dari reformasi Polri justru lupa disebutkan, yakni: politik. Saya melihat bahwa dasar utama kekesalan masyarakat terhadap Polri adalah problem politik.

Pasal 13 UU No. 2/2002 tentang Polri menyebutkan bahwa tugas utama Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Hal-hal inilah yang tak dirasakan oleh masyarakat kebanyakan.

Dan perasaan ini berakar pada problem politik. Semua kritikan yang saya lihat, ada satu benang merah yang saya tangkap. Masyarakat melihat Polri bukan lagi sebagai institusi pemelihara keamanan dan ketertiban yang mengayomi, tapi Polri sebagai alat kekuasaan.

Konflik agraria, di mana Polri kerap menjadi buldozer untuk land clearing; konflik dengan masyarakat adat; represif dan kasusnya mandek ketika terjadi kekerasan berlebihan melakukan pengamanan demo; betapa mudahnya menggunakan UU ITE dan gercep ketika menangani kasus oposan dan cenderung melempem terhadap pejabat; semuanya menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat.

Ditambah lagi, Pemerintahan Jokowi ini mengalami penurunan rasa kepercayaan dan kepuasan dari masyarakat. Maka, terjadilah persepsi alam tak sadar masyarakat: pemerintah banyak mendapat kritikan dan polisi yang jadi bumper-nya.

Sesuatu yang saya rasa tidak salah-salah amat, karena dengan model sistem kepolisian seperti ini, polisi rentan menjadi alat kekuasaan. Apalagi, belakangan ini, Polri menjadi salah satu institusi yang mempunyai infrastruktur paling lengkap untuk pemenangan.

Polisi menjadi alat kekuasaan sudah menjadi rahasia umum mulai sejak zaman Megawati menjadi presiden. Jenderal-jenderal polisi tak imun dari permainan politik, dan makanya di internal Polri dikenal gerbong-gerbongan.

Gerbong berkuasa pada zaman Megawati, tersingkir oleh gerbong jenderal yang berafiliasi ke SBY, untuk sebelumnya bernasib sama ketika Jokowi yang berkuasa. Sebuah fenomena yang tentu saja dibantah ketika dikonfirmasi secara formal.

Fenomena ini seperti kentut, tidak ada bentuknya namun baunya terasa. Apa pun, kultur yang terbentuk ini buruk bagi organisasi. Seorang jenderal yang cakap bisa tidak menduduki jabatan karena salah pilihan politik. Maka pintar, berprestasi, saja tidak cukup di Polri. Harus pandai secara politis juga.

Maka, seharusnya tuntutan reformasi di tubuh polisi itu nomor satunya adalah menjaga imparsialitas Polri dalam dunia politik. Sebuah hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi, namun tetap penting harus diteriakkan. Setidaknya, bisa mendekati seperti Amerika dengan independensi FBI-nya lah. Itu sudah lebih dari cukup.

—000—

Sejauh ini, respons bagus sudah ditunjukkan oleh Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. Meski sangat terlambat, perintahnya untuk segera mencopot tidak pakai lama pejabat Polri nakal cukup melegakan.

Pernyataan-pernyataannya terkait kritikan belakangan ini juga baik (tim di belakangnya cukup oke rupanya). Mulai dari “Polri harus dicintai masyarakat” dan “agar kepala polisi harus memberikan teladan karena ikan busuk dari kepalanya” menunjukkan sensitivitas.

Bukan itu saja, jenderal bintang empat itu juga menggelar lomba mural dengan isi sangat bebas. Termasuk boleh mengkritik polisi. Langkah bagus, yang sayangnya terlambat tiga bulan.

Mengacu pada pernyataan-pernyataannya, maka tugas polisi makin berat. Karena, baik-buruknya kinerja Polri tidak hanya selesai dalam data-data kuantitatif seperti hasil anev (analisa dan evaluasi) saja, tetapi juga kualitatif.

Teori keamanan klasik selalu menyatakan bahwa “keamanan itu adalah subjektif masyarakat”. Tidak peduli hasil anev menunjukkan penyelesaian kasus 100 persen sempurna, tapi ketika ada warga tidak berani melintas di jalan selepas pukul 21.00, misalnya, maka data itu sia-sia belaka.

Keberhasilan satuan wilayah mengamankan daerahnya terletak pada rasa aman subjektif di masyarakat itu sendiri. Dan itu sesuatu yang tak bisa dipaksakan.

Dalam konteks kritik atas Polri dan reformasi Polri selama ini, maka ya bagaimana caranya Kapolri membawa jajarannya untuk memenangkan hati masyarakat. Untuk meyakinkan masyarakat bahwa Polri bukan alat kekuasaan (kalaupun iya, jangan vulgar-vulgar dan terlalu jauh), bisa menjadi pengayom, maka ya harus melakukan hal-hal yang bisa memenangkan kepercayaan itu.

Tentu saja tidak dengan kekakuan prosedur legal formal seperti dalam dugaan pemerkosaan di Luwu Timur, membanting demonstran, terlalu membiarkan spirit korps dalam merespons kritikan, mengancam-ngancam netizen dengan kekerasan verbal seperti yang terjadi selama ini.

Lalu, langkah apa saja yang harus dilakukan? Wah, tentu terlalu panjang untuk dituliskan di sini. Namun, setidaknya mulai dengan dua hal ini: Yakinkan masyarakat bahwa Polri bukan alat kekuasaan, dan perhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.

Tambahannya bisa panjang, seperti memastikan bagaimana prosedur penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara akuntabel, dan sebagainya.

Sebagai awalan, langkah Kapolri dengan segala pernyataannya sudah benar. Tapi, apakah langkah-langkah selanjutnya bisa benar juga? Dan apa saja yang harus dilakukan untuk menaikkan kepercayaan masyarakat. Nah, itu tampaknya yang harus dibahas secara langsung dengan tatap muka.

Bismillah, stafsus Kapolri.

BACA JUGA Mengapa Belakangan Banyak Berita Negatif tentang Polisi? dan tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya.

Exit mobile version