Rasanya Jadi Anak Yatim Piatu Kuadrat yang Berpengalaman

Rasanya Jadi Anak Yatim Piatu Kuadrat yang Berpengalaman

Rasanya Jadi Anak Yatim Piatu Kuadrat yang Berpengalaman

MOJOK.COTak pernah mengenal ayah sendiri, dan sudah ditinggal ibu sejak masih bocah, Bambang cerita soal rasa santuy-nya jadi anak yatim piatu berpengalaman.

Sebelum membaca tulisan ini, kamu tidak perlu menyiapkan tisu kering apalagi tisu basah karena ini bukan cerita dewasa di internet. Kisah ini bukan pula bermaksud mengundang simpati walaupun saya pakai telkomsel. Juga bukan untuk kisah motivesyeen ala ala seminar yang malah membuat suram hidup.

Sebelum saya mengawali cerita, saya pengin tanya dulu, apakah di antara kamu-kamu semua ada yang menyandang status anak yatim? Piatu? Atau yatim piatu? Kalau ada, kita senasib, Coy. Tos dulu dooong.

Ibu saya meninggal ketika usia saya tiga tahun. Bapak? Bapak kandung saya minggat semenjak saya bisa melek lihat dunia ini. Wujudnya saya nggak pernah tahu, tebakan saya dia itu Flying Dutchman yang nggak pernah pulang ke rumah.

Lantas saya diasuh oleh eyangkung dan eyanguti saya yang pensiunan PNS. Layaknya pensiunan pada umumnya, gaji mereka biasa numpang lewat untuk bayar cicilan, listrik, dan untuk biaya hidup kami bertiga. Tapi allhamdulilah, saya masih bisa merampungkan kuliah di kampus gajah yang nggak ada gajahnya.

Sekitar 15 hari setelah saya wisuda, eyangkung saya dipanggil oleh Yang Kuasa. Selang 10 bulan selanjutnya, eyanguti saya menyusul her darling goes to heaven. Jadilah saya anak yatim-piatu dua kali. Anak yatim-piatu kuadrat.

Saya tunggu 1 bulan, 2 bulan, hingga 3 bulan kok nggak ada notaris yang datang ke rumah. Saya berharap mereka datang dengan membawa kabar, “Sebenarnya eyangkung-eyangutimu itu miliarder, sekarang tanda tangani ini,” atau minimal saya tahu bahwa ternyata nama saya tercantum sebagai salah satu ahli waris dari Buckingham gitu. Tapi nyatanya tidak.

Orangtua saya tidak meninggalkan warisan apapun kecuali budi pekerti (aseeekkk). Tuhan memang pengin saya menjalani hidup mandiri layaknya BUMN.

Selepas kuliah, saya hidup sebagai peneliti lepas. Habis neliti ya langsung dilepas diiringi tepuk tangan hadirin. Membantu beberapa proyek penelitian di jurusan, membuat saya harus prasojo menjalani hidup.

Hidup prasojo sebagai anomali dari kehidupan nyata. Dengan pendapatan yang kalau dihitung sebesar UMR Jogja saya masih bisa mengucap allhamdulilah. Tenang, saya ngak ada kepikiran buat klithih kok. Tapi seketika bisa mengucap naudzubillah juga karena saya tinggal di Jakarta. Saat orang lain bilang, “Enak ya UMR Jakarta tinggal di Jogja” sedangkan saya menjalani hidup sebaliknya.

Pernah suatu ketika senior saya yang sedang menempuh doktoral di Ostrali datang ke Jakarta. Sambil saya goncengin dia keliling Glodok, saya bilang;

Mas percaya nggak, nek jadi pasukan orens itu gajinya lebih gede daripada jadi peneliti kayak kita?”

Doi menggeleng.

“Gaji kita berdua di jurusan kalau digabung masih banyakan mereka mas, lihat mereka naik ninja kita naik karisma”.

Kami berdua lantas tertawa kecut.

Selama ini, saya merasa hidup saya penuh dengan sopan-santuy aja. Menjalani hidup dengan santuy tanpa harus tergesa-gesa mengejar apapun. Saya mencoba ikhlas karena—katanya–Gusti mboten nate sare.

Ada saat di mana harus sedih, tapi selebihnya harus bahagia dan santuy. Semakin kita mikirin sesuatu yang berat-berat, semakin ubanan dan jadi tua. Hidup kok kemrungsung. Malahan biasanya banyak kawan-kawan yang datang ke saya dengan berbagai permasalahan hidupnya.

Mereka datang dengan curhatan yang dalam seakan-akan wajah saya ini tembok ratapan. Padahal kalau diukur secara materi, ya mereka nggak miskin-miskin amat kok. Orang tua juga masih kumplit, lha kok mikir opo wae digawe abot, Buooss?

Kawan saya juga pernah bertanya kenapa saya jadi anak yatim-piatu kuadrat begini kok kayaknya santuy aja hidupnya. Ia pernah bertanya apa rasanya kesepian menjalani hidup ini?

Ya saya jawab aja, “Gua ngerasa jadi Hachi boy.”

“Tapi Hachi kan gitu-gitu aja. Paling gak gua harus jadi lebah yang kaya raya seperti si Albi atau Domar lah. Lebah kapitalis”

Oh, iya kalau di antara kamu ada yang nanya, kenapa sih, saya harus cerita beginian mentang-mentang saya anak yatim piatu?

Curhatan saya ini berawal dari kesedihan saya melihat banyak orang yang tidak siap menghadapi perpisahan. Terutama perpisahan dengan orang tua yang selama ini mereka cintai. Mereka kemudian menjadi anak yatim piatu yang gelisah hingga depresi karena kehilangan.

Padahal menurut riset, hampir 99.8 % manusia di dunia ini akan menjadi yatim piatu. Untuk itulah saya merasa kisah ini perlu dibagikan (selain karena Mojok juga bisa kasih honor).

Sebagai anak yatim piatu berpengalaman (anak yatim piatu kuadrat lagi), saya hanya bisa berbagi buat kawan-kawan yatim atau pra-yatim untuk selalu berbahagia dan teteup santuy dalam menjalani hidup. Masalah akan selalu datang laksana hoaks di grup wasap keluarga.

Dan satu lagi, jangan sia-siakan kedua orang tua kalian yang masih ada. Mereka adalah surga bagi kita di dunia. Meski kenangan saya dengan orang tua cuma sucrit, tapi itu tetap kenangan yang tak akan tergantikan sampai sekarang. Yah, jangan sampai, kamu menyadari bahwa bahwa mereka adalah surga saat mereka tiada. Luph u all.

BACA JUGA Jangan Memaksa Anak untuk Suka Membaca tulisan Bambang Widyonarko lainnya.

Exit mobile version