Rahasia Clickbait Media Online Menggunakan Frasa Pecah Rekor: Disukai Jurnalis dan Redaktur, Bikin Mumet Pembaca

Rahasia Clickbait Media Online Menggunakan Frasa Pecah Rekor: Disukai Jurnalis dan Redaktur, Bikin Mumet Pembaca MOJOK.CO

Rahasia Clickbait Media Online Menggunakan Frasa Pecah Rekor: Disukai Jurnalis dan Redaktur, Bikin Mumet Pembaca MOJOK.CO

MOJOK.CO – Banyak media online sekadar memainkan angka di bagian judul dan menambahkan frasa pecah rekor. Clickbait yang bikin mumet pembaca demi persaingan media yang keras.

Apa yang paling disukai jurnalis media online saat menulis berita tentang pandemi covid-19? Mereka suka sekali menyisipkan dua kata ini: pecah rekor buat clickbait. Redakturnya juga suka sekali meloloskan dua kata itu untuk dijadikan judul. Biar greget sedari judul.

Agar tidak dibilang mengada-ada, saya pun bertanya ke Mbah Google. Sebenarnya, bakal yang lebih keren jika melacak pemakaian dua kata “pecah rekor” menggunakan Intelligent Management Media (IMM).

Intelligent Management Media adalah aplikasi yang dapat merangkum survei pemberitaan dan isu yang berkembang di media massa. Konon, alat ini ini mampu menjangkau lebih dari 3.870 media online dan cetak di seluruh Indonesia dan lebih dari 1.567 media online berita negara-negara lainnya.

Yah, pokoknya ini soal big data. Sayangnya, kalau mau pakai aplikasi ini, kita harus bayar. Nggak murah pula. Jadi, ya, mohon maaf, saya pakai yang gratisan saja: Google.

Jangan salah. Kalau bisa memasukkan kata kunci yang tepat, Google itu sangat efektif, lho. Untuk pertanyaan saya, ia kasih banyak jawaban. Nah, saya pilihkan beberapa di antaranya yang di bagian judul menggunakan dua kata “pecah rekor” sebagai clickbait. Ini di antaranya:

– Pecah Rekor! Kamis 30 April: Pasien Positif Corona Capai 10.118 Orang (Kamis, 30 April 2020, 16:10 WIB).

– BREAKING NEWS: Update Corona Indonesia 9 Juni: Pecah Rekor Lagi, Tambah 1.000 Lebih Kasus Baru (9 Juni 2020, 16:22 WIB).

– Pecah Rekor Kasus Positif Corona saat Transisi New Normal (Jumat, 12/06/2020, 13:59).

– Penambahan Kasus Harian Covid-19 Pecah Rekor Ketiga Kali dalam 3 Hari (Sabtu, 29 Agustus 2020, 15:29 WIB).

– BREAKING NEWS Update 13 November: Pecah Rekor Tambah 5.444 Positif Covid-19, Total Kasus 457.735 (Jumat, 13 November 2020, 16:20 WIB).

– 5 Kali Kasus Corona Pecah Rekor di Januari (Sabtu, 30 Jan 2021 20:35 WIB).

– Astaga Pecah Rekor Lagi, Covid di DKI ‘Meledak’ 5.582 Kasus (Minggu, 20 Juni 2021, 16:38 WIB).

– Pemakaman Covid-19 di Tangsel Pecah Rekor (Jumat, 25 Juni 2021).

– Kabar Corona Dunia: Indonesia Pecah Rekor Kematian, Inggris Siap Pesta, India Khawatir Gelombang 3 (Senin, 19 Juli 2021, 20:20 WIB).

Cukup ya? Setidaknya sudah bisa menggambarkan kesukaan memakai frasa “pecah rekor” itu.

Kalau membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), frasa pecah rekor itu berarti (1) hasil terbaik (tertinggi, tercepat); (2) jumlah terbanyak; (3) terbaik (tertinggi). Pecah rekor berarti memecahkan jumlah terbanyak maupun terbaik.

Dalam hal pecah rekor pandemi, agaknya media online (dan cetak) ingin menunjukkan fakta jumlah terbanyak sudah dilampaui. Kalau kemarin 1.000, kemudian hari ini 1.001, sudah terjadi pecah rekor. Meski terlihat tidak signifikan, tapi itu fakta, dan enak banget disematkan di judul ya.

Angka-angka yang dipelototi beberapa jurnalis, antara lain kasus positif harian, kematian, dan kadang-kadang kesembuhan. Angka yang lebih disukai adalah rekor jumlah kasus positif harian. Itulah sebabnya, manakala terjadi penambahan kasus harian, seolah sang jurnalis menemukan angle beritanya. Ini dilakukan terus-menerus dan akhirnya menjadi kebiasaan.

Kebiasaan media online yang membuat pembaca cemas

Memasukkan angka di judul memang terasa seperti menghadirkan sesuatu yang baru. Bagi media online, ini asyik sekali. Namun, bagi pembaca, ini bisa bikin mumet karena tiap hari dicekoki oleh angka.

Jujur saja, tak ada unsur kegembiraan yang ditularkan dari sebuah berita “pecah rekor” sebagai clickbait. Padahal, kata para ahli kesehatan dalam pemberitaan, disarankan kita selalu bergembira agar imun bertambah.

Nah, berarti berita “pecah rekor” kontraproduktif dong? Iyalah! Maka dari itu belakangan ini muncul gerakan stop membaca berita covid-19. Walau menurut saya, gerakan itu berlebihan, ibarat memburu seekor tikus, gudangnya dibakar semua.

Saran saya untuk pembaca, lebih baik pilih “diet informasi” sesuai kesiapan mental masing-masing. Jangan lantas abai dengan informasi. Buta informasi itu jauh lebih berbahaya.

Saya yakin para jurnalis itu “ngeh” kalau berita yang mereka buat itu bakal bikin mumet. Bahkan banyak juga jurnalis yang tidak nyaman dengan tulisannya. Namun, apa mau dikata, persaingan media online kian kejam. Siapa kalah clickbait, umurnya bakal pendek. Jauh di bawah angka harapan hidup! Jurnalis itu juga paham kok, judul yang mereka suguhkan bau-bau sensasional. Tetapi, lagi-lagi demi views!

Di satu sisi, mereka tahu benar bahwa berita kepedihan itu diminati publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemberitaan media mengenai kasus-kasus terkait kepedihan memancing perhatian dan keingintahuan publik.

Inilah yang belakangan terjadi di negeri nan elok. Komodifikasi wabah pun melanda sejumlah media. Mereka mengejar sensasi ketimbang substansi. Mereka yang bergelut di dunia jurnalistik pastilah hafal sekali pernyataan Joe Hight dalam Covering Tragedy (2006) bahwa cara jurnalis meliput suatu peristiwa akan memengaruhi bagaimana individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam bereaksi menyusul tragedi tersebut.

Namun, ketika bencana tersebut datang, jurnalis tetap melakukan hal yang sama berulang-ulang. Mereka bukannya memberikan semangat dalam setiap berita yang dihasilkan, malah justru menambah kecemasan masyarakat terhadap bencana yang terjadi.

Lah terus bagaimana? Saran saya buat jurnalis itu sederhana. Ketika membuat berita pagebluk, silakan berimajinasi bahwa berita itu juga dibaca anggota keluarga maupun sanak saudara. Bayangkan jika mereka cemas gara-gara berita yang dibuat.

Nah, kalau berita non-kepedihan tiba-tiba diubah redakturnya kembali menjadi berita mirip “pecah rekor”? Wahh yo embuh, si jurnalis kalah level sama redakturnya. Akhirnya ya kembali ke pembaca, lebih baik “diet informasi”.

Padahal ya, pas saya tanya Google lagi, ketemu juga lho yang menggembirakan. Ini nih misalnya:

– Pecah Rekor, Satu Hari 2063 Warga Bogor Sembuh Dari Covid-19 (Kamis, 22 Juli 2021).

Pecah Rekor Lagi, Kasus Sembuh Covid-19 Bertambah 28.975 Orang (9 Juli 2021).

Nah, membaca judul seperti itu kan lebih menggembirakan. Ternyata banyak juga yang sembuh. Meski kita tahu kalau banyak yang sembuh, yang sakit itu lebih banyak.

Paling tidak, optimisme bisa muncul. Imun bertambah pula. Sayangnya, belum banyak yang mau mengangkat media online angle macam itu. Malah ada yang ragu-ragu, jadinya seperti ini: “Kasus Corona RI 11 Juli Tambah 36.197, Kasus Sembuh Pecah Rekor 32.61 (Minggu, 11 Jul 2021, 15:53 WIB).

Mereka ini sekadar menyampaikan angka! Ingat ya, diet informasi demi kebaikanmu sendiri!

BACA JUGA Jurnalisme Sensasional: Bikin Judul Click Bait, Ngutip Komentar Bukan Ahli, Ngurusin Urusan Orang dan artikel menggelitik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version