Puasa Ramadan di Indonesia dari Pengamatan Kawan Bule Saya

MOJOK – Saat puasa Ramadan, pengendalian nafsu paling sulit bukan saat kita berpuasa menahan lapar dan haus, melainkan justru saat kita berbuka.

Satu tahun lalu, seorang kawan dari Eropa tinggal bersama sebuah keluarga yang melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Barangkali karena rasa ingin tahunya yang besar, akhirnya kawan bule saya ini ikut-ikutan puasa, tentu saja tanpa mengikuti ritual ibadah lainnya. Kawan bule ini kemudian memutuskan untuk ikut rutinitas berpuasa. Ikut bangun sahur, ikut menahan lapar dan haus sepanjang hari, lalu dilanjutkan berbuka bersama-sama keluarga induk semangnya.

Setelah ikut berpuasa pada hari ketujuh, kawan bule ini berkomentar. “Aku kira, mereka tidak benar-benar berpuasa dalam pengertian menahan, mengurangi, dan mengendalikan nafsu makan,” katanya bersungguh-sungguh.

“Semula kukira berpuasa akan mengurangi asupan kalori dari makanan dan minuman sehingga mengistirahatkan pencernaan. Tetapi mereka hanya memindahkan waktu makan-makan saja.”

Saya, ketika itu, menahan diri untuk menyela kesimpulan hasil pengamatannya.

“Kalori dan makanan yang mereka konsumsi bisa-bisa lebih banyak daripada hari-hari biasa,” tambahnya lagi.

“Maksudmu gimana? Bisa beri contoh?” saya tak kuat menyela juga akhirnya.

“Aku ikut sahur. Makanan sahur sejak hari pertama berpuasa sudah makan yang lengkap. Aku ikut berbuka. Hari pertama dan ketiga, suguhan pertama adalah minuman manis, Cucumber in Syrup (Es Blewah) dan snacks dari terigu dan sayuran yang digoreng (bakwan goreng). Keduanya sungguh sarat kalori dan mengenyangkan,” kata kawan bule saya.

“Nanti pulang dari masjid (setelah tarawih, maksudnya), barulah mereka makan-makan besar. Lebih lengkap dan lebih istimewa daripada biasanya. Lalu sahur, makan besar lagi. Lengkap dengan dessert manis, sisa berbuka. Hari kedua dan ketiga, dan seterusnya, polanya sama. Makanan pembuka yang bergula dan bersantan, berganti-ganti variasinya. Tapi semuanya jelas tinggi kalori, diikuti dua kali makan-makan besar pada malam hari,” tambahnya lagi.

“Karena tinggal dengan mereka dan ikut mereka makan di situ, aku jadi tahu kebiasannya. Sarapan pagi mereka biasanya tidak sebanyak itu. Dan biasanya mereka menyelipkan buah-buahan segar sehabis makan malam. Pola itu justru jadi berubah selama puasa,” ia tambahkan.

Tak puas soal perubahan pola makan, ia juga menambahkan pengamatannya. “Di siang hari, memang mereka tidak makan dan minum sama sekali. Tetapi, mereka juga tidak banyak membuang kalori. Tidak bergerak atau melakukan pekerjaan seperti yang biasa mereka kerjakan. Mereka tidak seproduktif biasanya.”

“Mungkin karena lemas? Nah, bila mereka setiap hari menyantap yang manis-manis bergula dan makan-makan lengkap yang lebih istimewa daripada biasanya, sedangkan siang hari kurang bergerak pula. Nah, saya kok khawatir bila saya teruskan ikut pola itu, saya akan bertambah gemuk dan punya pola makan tidak sehat sehabis puasa,” begitu ia menambahkan sambil terkekeh.

Baiklah. Apa yang disampaikan kawan bule saya ini sulit saya bantah. Waktu itu, saya berpikir, ketimbang menyanggahnya, saya memilih lebih baik introspeksi saja ke diri sendiri. Dari pengalaman pribadi, semua pengamatannya toh tidak salah-salah amat.

Hanya saja, soal berpuasa Ramadan seperti ini membuat kita kurang produktif di siang hari, barangkali masih bisa dibantah. Kebiasaan yang diamati dan dialami langsung oleh kawan saya itu baru pada hari-hari pertama puasa. Pada awal-awal puasa, tubuh memang masih menyesuaikan diri. Lemas dan kurang produktif pada minggu pertama memang sudah wajar saja kan? Namun, bahwa pola makan kebayakan kita berubah dan bahwa kita mungkin hanya memindahkan waktu makan-makan besar, itu pantas dicermati dan dikoreksi.

Saya teringat sebuah slogan yang entahlah saya baca di mana, “Makanlah untuk bertahan hidup, bukan hidup untuk makan.” Intinya, makan adalah suatu cara alamiah kita untuk bertahan hidup (survival). Sayangnya, karena makan juga memberi kita kenikmatan, ia bisa menjebak kita untuk menjadikannya sebagai salah satu sumber kenikmatan yang mudah menjadi kecanduan dan akhirnya membahayakan hidup, bukan lagi sekadar mempertahankan hidup.

Pada puasa Ramadan, ketika seharusnya kita menahan diri di hadapan makanan lezat dan minuman menggiurkan, pikiran kita justru dikepung oleh berbagai hal seputar makan dan makanan. “Apa ya menu buka puasa?” atau “Sahur dengan apa nanti?”

Belum lagi dengan makin maraknya pasar makanan yang hanya khusus buka pada bulan puasa dengan segala tawarannya yang menggiurkan selera makan. Di media sosial kita juga lebih sering menatap gambar minuman-minuman segar manis pemuas dahaga yang begitu menggoda selama bulan puasa.

Semua itu baik-baik saja dan bisa jadi sumber kesenangan bila kita cukup punya kendali soal makan. Namun, bila kita sering kali tak kuasa menahan nafsu menyantap yang lezat dan menggiurkan, inilah saatnya melatih diri, mengoreksi pola-pola dan kebiasaan kita sendiri.

Saya sih sepakat, secara naluri semua orang tentu ingin bisa makan enak dan bergizi. Iya dong, rugi sekali rasanya memasukkan kalori ke dalam tubuh tetapi tidak dapat dinikmati ketika menyantapnya. Akan tetapi, makan enak dan bergizi kan tidak berarti harus dalam jumlah banyak dalam satu waktu sekaligus. Selalu masih ada hari esok lagi untuk menikmatinya. Jadi, mengapa pula harus dihabiskan dalam sekali duduk?

Namun, apa yang terjadi? Diam-diam tanpa kita sadari, selama ini kita justru sering melakukan “aksi balas dendam” ketika berlapar-lapar sepanjang hari dan melampiaskannya dalam satu waktu ketika berbuka. Saya percaya perintah puasa Ramadan merupakan ibadah yang menyehatkan kita secara jiwa raga. Sebab, bukankah ibadah apa pun ujung-ujungnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup kita sebagai manusia? Hal yang mungkin dilihat oleh kawan saya yang bule tadi.

Memang benar puasa adalah soal menahan nafsu, dan salah satunya dipraktikkan dengan menahan nafsu lapar dan haus. Tapi mari akui saja, justru pengendalian nafsu paling sulit itu bukan malah saat kita berpuasa, melainkan saat kita berbuka. Saat kita diperbolehkan menyantap makanan dan minuman apapun yang kita suka.

Jangan-jangan apa yang ditakutkan kawan bule saya ini benar, bahwa kita memang cuma sanggup menahan nafsu saja, tapi sebenarnya belum benar-benar mampu mengendalikannya?

Ya pantas saja setelah puasa Ramadan lewat, kualitas kita masih begitu-begitu saja.

Exit mobile version