Saya masih belum putus harapan kepada Presiden Joko Widodo. Setidaknya itu yang saya pegang ketika ternyata pemerintah Indonesia mengajukan banding terhadap vonis mati yang menimpa ST, seorang warga negara Indonesia yang diancam hukuman mati oleh Mahkamah Tinggi Kulai, Johor, Malaysia. ST diancam hukuman mati karena menjadi kurir narkoba.
Pemerintah Indonesia lantas mengajukan banding atas keputusan itu. Banding dilakukan karena pemerintah kita percaya ST tidak bersalah. Ia hanya kurir yang diminta membawa koper dan ternyata dalam koper itu terdapat sabu-sabu.
Dalam rentang waktu 2009-2014, ada 214 kasus WNI yang dibebaskan dari hukuman mati di Malaysia. WNI dituntut hukuman mati di Malaysia umumnya karena kasus pembunuhan atau peredaran narkoba. keputusan Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan warganya tentu adalah hal yang baik. Jadi tidak baik ketika pemerintah kita munafik. Saya sadar saya sedang menulis di Mojok. Situs yang konon pemakan bangkai ini adalah situs yang berisi tulisan lucu. Tapi saya tidak sedang melucu. Saya tidak bisa melucu, tidak ketika nyawa seorang ibu dari dua anak dipertaruhkan di depan jagal karena kecerobohan sistem hukum kita.
Ibu tersebut adalah Mary Jane, korban perdagangan manusia modern yang kita sebut dengan trafficking. Ia, menurut Haris Azhar dari KontraS, merupakan korban dari peradilan yang tidak fair. Saat peradilan terjadi ia tidak didampingi oleh penerjemah yang kompeten.
Lalu apa hubungannya ST dan Mary Jane? Jika pemerintah kita percaya bahwa ST tidak bersalah dan mengajukan banding atas hukuman matinya, mengapa kita menghukum mati Mary Jane? Jika memang pemerintah berkomitmen nol kompromi terhadap narkoba, mengapa ST perlu dibela dengan mengajukan banding? ST dan Mary Jane sama-sama korban.
Mereka jadi tumbal dari kejahatan besar mafia narkotika internasional. Guru besar hukum pidana Indonesia, almarhum Prof. Mr. Roeslan Saleh dalam tulisannya yang berjudul Masalah Pidana Mati menulis, “… ada perbedaannya pidana mati ini dengan pidana lain. Kalau hakim khilaf dan pidana mati telah dilaksanakan, maka pada orang itu tidak akan mungkin diberikan kembali jiwanya.
Pada pidana penjara—kalau terhukum masih hidup—masih dapat diberikan kemerdekaanya kembali.” Jika Mary Jane ternyata tidak bersalah, siapa yang bersedia mengganti dan mengembalikan nyawa yang terlanjur dirampas? Jika pemerintah Indonesia benar-benar berkomitmen untuk kemanusiaan dan ingin ST selamat, hal paling sederhana yang dapat kita lakukan saat ini adalah menyelamatkan Mary Jane dari vonis mati. Keduanya adalah kurir. Jika memang harus ada hukuman mati, mengapa tidak dimulai dari bandar besar? Saya tidak bisa membayangkan prosesi eksekusi hukuman mati.
Prosesi yang kejam ini pernah digambarkan oleh Prof J.E. Sahetapy dalam bukunya, Ancaman Hukuman Mati terhadap Pembunuhan Berencana. Ia mengisahkan sebuah prosesi eksekusi di Bali, mengutip sebuah dokumen sejarah berbahasa Belanda yang menggambarkan adegan demi adegannya. Empat orang laki-laki didakwa atas pembunuhan berencana (walad pati), setelah dianggap bersalah, empat orang itu lantas dieksekusi dengan dikawal Jaksa, Punggawa, dan Pedanda.
Sesampai di bawah pohon beringin, terpidana pertama berdiri. Kedua belah tangannya dibentangkan paksa oleh dua pengawal. Di depannya, seorang algojo sudah bersiap dengan sebilah keris terhunus. Sang algojo lantas menusuk dada terpidana dengan keris. Sialnya, tusukan si algojo kurang presisi, tidak langsung mengenai jantung.
Tusukan harus diulang lagi beberapa kali. Sang terpidana jatuh tapi belum juga menjemput ajal. Beberapa pengawal yang hadir langsung melompat ke atas tubuh terpidana. Tujuannya, mempercepat keluarnya darah agar sang terpidana lekas mati. Semua prosesi menyeramkan itu digelar di depan tiga terpidana lain yang menunggu giliran.
Kematian yang mengerikan ini mesti mereka lihat sebelum akhirnya mereka sendiri meregang nyawa. Kini Mary Jane Veloso, seorang ibu dari dua anak, menunggu kematiannya. Ia adalah potret buram perempuan marjinal yang ditindas berlapis oleh sistem dan budaya patriarkis. Ia korban KDRT, korban perdagangan manusia, dan hukum yang tidak manusiawi.
Ia akan dieksekusi Rabu (28/4), beberapa hari lagi. Sejauh ini, Presiden Joko Widodo hanya bicara bahwa menolak grasi terhadap hukuman mati kasus narkoba adalah terapi kejut. Jokowi diam ketika warga negaranya ramai-ramai membela Mary Jane. Ia tetap diam bahkan ketika berbagai elemen gerakan memprotes keputusannya. Jokowi juga diam dan membiarkan para pendukung fanatiknya menyerang dan menuduh mereka yang menolak hukuman mati sama dengan pendukung peredaran narkoba.
Saya tidak tahu bagaimana harus menjelaskan ini.
Ketika saya membela hak hidup Mary Jane, orang-orang dengan gagah menuduh saya mendukung peredaran narkoba. Saya menolak hukuman mati, dan saya menolak keberadaan narkoba. Saya hanya tidak ingin kita membunuh orang yang tidak bersalah.
Pada titik ini, Prabowo jauh lebih baik daripada Jokowi. Prabowo, dalam laporan utama majalah TEMPO edisi 28 Oktober 2013, mengaku secara terbuka mengenai keterlibatannya dalam kasus penculikan aktivis. Ia tidak ngumpet dan bersedia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh tim mawar yang dipimpinnya.
Prabowo jauh lebih bermartabat ketika ia mengaku dan tidak beralasan ini-itu. Sedangkan Jokowi? Ia hanya bisa menyalahkan menteri karena tidak membaca kertas berisi peraturan yang ditandatanganinya.
Semoga saja penolakan grasi Mary Jane bukan karena ia alpa membacanya.