Pesan Politik Agar Tetap Waras ala Band Marjinal

Pesan Politik Marjinal

Pesan Politik Marjinal

Coba kita hitung, sudah berapa lama televisi, radio, dan beranda sosial media kita dibanjiri berita bak sinetron? Sedangkan kita tahu logika sinetron: banyak intrik antartokoh, bergelimang friksi tiap episode, sering memberi efek kejut serta sengatan plot mematikan yang memainkan perasaan. Tak ayal, kita, penonton sinetron dibuat heran, sedih, geli, cengar-cengir kuda, bahagia, hingga gemas ingin memecah televisi, radio, atau gadgetnya sendiri dengan … sebutir kelereng.

Semua yang serba-artifisial itu kiranya akan berlangsung lama. Bikin kelu. Ada yang mengatakan, sekarang ini, di Indonesia manusia semakin tak berisi, saling mengisap, jilat-menjilat, saling injak, rampas-merampas, tak pernah puas, malah jadi semakin buas. Itu lirik Marjinal dalam sebuah lagunya. Ya, Marjinal, satu dari sekian kumpulan orang afiat yang saat ini masih dipelihara kewarasannya oleh Gusti Allah.

Untuk Anda yang tengah muak dengan semua kepura-puraan ini, cobalah dengarkan Marjinal. Hanya saja, kalau bisa jangan sampai terhipnotis liriknya, takut tidak sanggup. Misal, gara-gara mendengarkan Marjinal, tanpa angin tanpa badai tiba-tiba Anda nyanyi di depan rektorat, “Aku mau sekolah gratis!!!” Malah jadi kontraproduktif.

Pasang target sederhana saja, mendengar Marjinal agar tetap waras dan objektif, sudah. Bukan apa-apa sih, sekarang ini harga kewarasan dan objektivitas di negeri ini sedang trek-trekan dengan harga cabe. Mahal. Kita beruntung punya Marjinal, tak ada rugi dan waktu terbuang sedikit pun andai kita benar mau mendengar karya-karya Mike dkk. ini.

Lirik mereka mencerahkan, tidak ada simbol di sana-sini. Sebaliknya, yang akan kita temui adalah nuansa perlawanan dengan bahasa sederhana, kadang sarkas, seringnya subversif diselingi makian, gelap dan hitam.

Jika ternyata Anda belum mengenal Marjinal, itu tidak aneh. Mereka bukan grup-grupan biasa, band ini di luar kebiasaan. Seumur hidup baru saya temui orang-orang sekonkret Marjinal, yang juga turut merasakan kesedihan dan ikut menyebar berita duka cita ketika istri dari ketua RT lingkungan mereka meninggal.

Mereka bahkan tidak memitoskan diri sebagai orang populer dengan pergaulan berdemarkasi. Kalau mau, Anda bisa kok menjadi bagian dari keluarga Marjinal, atau malah satu panggung dengan mereka. Tanpa harus bertato, tindik, dan potongan rambut ala punk. Entah sebagai penonton, gitaris, basis, drum, pegang kabel, terserah. Syarat yang diajukan Mike, penjaga gawang Marjinal, untuk masuk band ini hanya satu: jadilah diri sendiri dan jujur atas itu.

Ya, lucu Mike Marjinal ini. Kita hanya perlu menjadi diri sendiri untuk dapat menjadi punk seperti Marjinal dan kebanyakan warga Taring Babi (Komunitas Marjinal). Tentu bisa disimpulkan, pernyataan Mike itu lebih bersifat ideologis daripada teknis. Dan agaknya itu patut untuk kita pertimbangkan. Karena saat ini, saat di mana kita ditarik, diolor-olor mulur mungkret oleh persebaran hoax, fitnah-fitnah, aksi saling tuding dengan telunjuk mengacung-acung, perlu rasanya untuk menjadi diri sendiri dan jujur atas itu.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sekarang ini menjadi diri sendiri sangatlah berat—untuk tidak menyebutnya mustahil. Banyak yang harus dikorbankan untuk itu. Jangankan menjadi diri sendiri, untuk sekadar tahu dirinya ini dari mana, mau ke mana saja susahnya setengah mati.

Mau memutuskan membela yang kanan, sudut kiri merengek kencang. Pengin menjadi bagian kiri, yang kanan teriak membabi buta. Mungkin, riuh rendah seperti inilah yang kemudian menyebabkan banyak, meminjam Pram, angkatan muda menjadi dongkol dan memilih untuk bersikap apolitis. Padahal, apolitis jelas berbahaya. Tak ada kepekaan dan solidaritas di sana. Sebaliknya, pemikiran, perbuatan, dan karya politik angkatan muda saat ini adalah koentji.

Di pengujung Orde Baru, pada 1997, ketika demokrasi tidak berjalan, ketika pelbagai macam bentuk perlawanan tidak berkembang karena pertimbangan efek blitzkrieg ala Pak Harto, Marjinal sebagai pendatang baru di dunia seni sudah mulai nyicil posisi politiknya. Bisa dibilang, saat itu Marjinal berusaha merdeka secara budaya dan berani berkorban untuk itu, walau perih. Mereka melawan segala bentuk penindasan, mereka berontak, dan berparadoks ria dengan Pak Harto.

Seseorang yang merdeka secara budaya tentu bisa saja memberi nilai tinggi kepada kecerdasan dan keterpelajaran. Orang terpelajar pasti punya kecenderungan untuk tidak selalu berkata ya demi membenarkan yang salah. Dengan itu, secara ideologis kita bisa sebut Marjinal vis a vis rezim Soeharto adalah pertarungan yang ideal, sudut keduanya saling berlawanan. Pasca Pak Harto ambrol keprabon, bagaimana selanjutnya?

Marjinal tetap berpolitik dengan cara yang sama. Dulu posisi Marjinal selalu jelas dan tegas melawan Soeharto. Sekarang Marjinal tetap mendukung segala bentuk perlawanan terhadap ketakadilan oleh penguasa. Mereka tak peduli rezim pemerintahan mau bergerak ke kanan atau ke kiri. Ketika Pemerintah bilang IYA, Marjinal akan selalu mengatakan TIDAK jika itu mencederai perasaan rakyat.

Marjinal selalu melakukan pembaharuan, baik untuk memperluas hak-hak rakyat kecil, buruh, petani, ataupun perlindungan alam. Salah satunya dengan mengawal perjuangan petani Rembang. Dan bagi saya Marjinal-lah sebenar-benarnya oposisi, oleh penguasa mereka periferal, nyata melawan, tak ada akting, tak ada kompromi.

Marjinal bersama keluarga Taring Babi adalah contoh masih adanya kewarasan dan objektivitas yang sesuai habitatnya. Dua entitas itu, waras dan objektif, sekarang telah menjadi hewan langka. Ia diburu sebagian orang hanya untuk dijadikan koleksi pribadi, ia dibunuhi orang yang tidak bertanggung jawab dengan alasan ekonomi, kalaupun ia berada di kebun binatang, ia tidak diberi makanan cukup sehingga rusuknya menyembul.

Ingin saya bisa bergabung dengan Marjinal dan Taring Babi. Tapi Mas Mike, syaratnya itu loh, bisa dicicil nggak? Karena saya, dan mungkin juga teman-teman lain, masih sulit untuk menjadi diri sendiri dan jujur atas itu.

Exit mobile version