Para Penjaga Mercusuar di Pulau Terpencil

Para Penjaga Mercusuar di Pulau Terpencil

Para Penjaga Mercusuar di Pulau Terpencil

Beberapa hari yang lalu, Bank Mandiri mengeluarkan sebuah iklan layanan masyarakat yang cukup menarik. Bersifat naratif dengan kualitas penggarapan yang sinematik. Jarang sekali ada iklan televisi seperti itu di Indonesia.

Biaya pembuatannya tentu tak sedikit. Padahal, di Thailand–negara dengan kualitas periklanan paling jempolan di Asia Tenggara–commercial ad yang bersifat naratif dan bisa bikin nangis sudah jadi makanan umum. Maka tak heran jika banyak pembuat iklan dari Thailand yang menang penghargaan Gold Lion di Cannes.

Di Indonesia sendiri, perusahaan masih suka menampilkan citranya pada iklan yang sifatnya hardselling: jual fungsi dan perang harga. Padahal di abad aquarian seperti sekarang, yang perlu disentuh adalah empati konsumen, bukan cuma kognisinya saja. Penonton sudah lelah dibombardir iklan, Bung! Dan itulah mengapa iklan yang bersifat naratif bisa jadi semacam oase yang menyegarkan.

Tsaah!

Oke, balik ke iklan Bank Mandiri tadi, inti cerita dari iklan tersebut adalah seorang lelaki penjaga mercusuar di sebuah pulau terpencil. Bagaimana ia melewati hari-hari seorang diri, jauh dari sanak famili. Ngenes sekali. Lebih ngenes daripada hidup Agus Mulyadi.

Agar tak penasaran, silakan lihat bagian pertamanya di bawah ini.

Begitu melihat video mercusuar Mandiri tersebut, saya langsung tahu bahwa latar belakang yang dipakai untuk pembuatannya adalah Pulau Lengkuas.

Bagi para penggemar wisata dan perjalanan, pulau ini sudah tidak asing lagi. Foto-foto pemandangan dari atas mercusuar Pulau Lengkuas banyak sekali diduplikasi dan disebarluaskan. Menjadi salah satu ikon visual destinasi wisata yang paling populer di media sosial.

Foto garis pantai dengan pasir putih, laut teduh berwarna turquoise, barisan batu granit raksasa, dan dua-tiga kapal sandar yang tampak kerdil, itu adalah foto standar yang harus diambil para traveler atau insta-seleb di Pulau Lengkuas.

Nah, masalahnya, dari sekian banyak pejalan, fotografer atau blogger yang datang ke Pulau Lengkuas, selalu saja yang diulas adalah panorama alamnya yang spektakuler. Jarang sekali ada yang menulis tentang kehidupan para penghuninya.

Ha mbok pikir Pulau Lengkuas itu suwung dan cuma dihuni demit apa?

Selain segerombolan biawak, sekawanan penyu, krustasea dan beberapa jenis burung laut, Pulau Lengkuas juga dihuni oleh dua orang manusia. Jika para turis datang dan pergi, maka mereka berdua menetap. Hidup dan menghidupi, menjadi bagian dari ekosistem dan daur kehidupan di pulau tersebut.

Dua orang ini adalah penjaga mercusuar yang ada di Pulau Lengkuas. Salah satunya bernama Suherman. Sesosok pria paruh baya berkulit legam karena terlalu lama mencumbu lautan. Matanya teduh, tutur katanya terjaga. Sesekali saya masih bisa mendengar logat Betawi yang kental.

“Saya lahir dan besar di Priok, Mas…” kata Suherman. Siang itu kami duduk di balai dinasnya dan Ia mulai bercerita bahwa setengah  hidupnya habis untuk menjaga batas-batas laut negeri ini. “Saya jadi penjaga mercusuar sejak tahun 1990, sedangkan umur saya tahun ini lima puluh dua.”

Herman ingat betul, bahwa tugas pertamanya sebagai  penjaga mercusuar adalah Pulau Srutu, sebuah pulau kecil di Selat Karimata. Ia menggambarkan keadaan di pulau itu serbasulit. Kontur tanahnya berbukit batu. Jauh dari mana-mana.

Sebulan sekali, ketika ransum datang, ia harus menuruni bukit, lalu membawanya kembali ke mercusuar yang ada di puncak bukit. Karena medannya cukup berat, ditambah beban ransum yang tidak enteng, sehari Herman hanya bisa mencicilnya tiga kali. Jika ada ransum lebih, ia tinggalkan di pinggir pantai untuk diambil keesokan harinya. “…yang penting mah ransum makanannya diselametin dulu,” kata Herman.

Di Pulau Lengkuas pun sebetulnya kehidupan Herman tidak mudah. Air bersih jadi kendala utama. Hidup di sebuah pulau yang tidak memiliki sumber mata air sendiri, memaksa Herman untuk pandai-pandai menyimpan dan menggunakan air bersih.

Baginya, air tawar adalah benda yang sangat berharga, karena untuk mendapatkannya pun tidak mudah. Air tawar yang tersedia di Pulau Lengkuas adalah air tadah hujan. Tidak ada sumur artesis atau PDAM.

“Makanya saya suka kesel tuh sama turis yang datang, mereka numpang kencing atau mandi tapi komplain karena airnya asin. Lah mereka pikir pulau ini resort apa?” kata Herman,”Pulau ini tempat kerja, bukan tempat wisata.”

Pulau Lengkuas, sejak zaman kolonial memang diperuntukkan sebagai titik penting navigasi laut. Nama Lengkuas sendiri sebetulnya adalah versi slang masyarakat lokal untuk menyebut mercusuar atau rumah lampu, licht huis dalam bahasa Belanda.

Kepangkatan yang diterima oleh Herman dan puluhan penjaga mercusuar lain di negeri ini juga masih menggunakan sistem yang digunakan Belanda, yang saat ini berada langsung di bawah Menteri Perhubungan, bukan Kementerian Pariwisata.

Saya bisa memahami kejengkelan Herman, karena saya tahu betul kedegilan para turis. Memang sudah kodratnya para turis di era digital untuk selalu haus eksotika dan berburu citra, tapi selalu alfa untuk memahami sebuah destinasi lebih dalam lagi. Mereka bertingkah seperti kawanan, datang dalam gerombolan, untuk mampir dan kemudian pergi lagi.

Jika para turis pergi hanya meninggalkan kenangan seperti mantan yo sekarepmu. Masalahnya para turis pergi dengan meninggalkan sampah. Ini masalah klasik pariwisata di Indonesia yang sekarang juga menjadi masalah krusial di Pulau Lengkuas.

“Kalau para turis itu niatnya baik, tolong bawa itu sampah pulang,” kata Herman.

Saya melihat melihat ada beberapa tumpukan sampah di sekitar mercusuar Pulau Lengkuas. Pada sore hari, banyak biawak yang berkerumun mengais sisa-sisa makanan. Saya bisa mencium bau amis dan busuk yang menguar. Bungkus permen dan makanan ringan berceceran di sela rerumput. Sesekali Herman dan rekannya meluangkan waktu untuk membakar tumpukan sampah tersebut, sekedar untuk mengurangi volume, tapi tidak bisa menyembuhkan pangkal penyakitnya.

Saya sepakat dengan Paul Theroux yang pernah bilang, “Ketika sebuah destinasi disebut surga, maka saat itu juga ia berubah menjadi neraka.”

Herman bangga sekali dengan pekerjaannya. Ia merasa, pekerjaan yang ia lakoni memiliki marwah yang sangat tinggi. Ia ada untuk memberi petunjuk jalan pada nelayan, menghindarkan pelaut dari maut.

Hanya saja, sebagai seorang yang bekerja jauh dari keluarga, ia merasa memiliki rindu yang tak pernah tuntas. Pada istrinya, pada ketiga anaknya. “Anak saya yang pertama kuliah di UHAMKA, yang kedua SMK, yang paling kecil masih SD,” kata Herman.

Kesempatannya untuk pulang dan bertemu dengan anak-anak hanya terjadi setiap setengah tahun sekali. Itu pun untuk waktu yang tidak lama karena harus bergantian dengan rekannya. Jika satu orang pulang, yang satu harus stand by.

Saya tidak sempat tanya Herman, bagaimana rasanya jika menjaga pulau seorang diri? Barangkali gambaran yang paling dekat bisa didapat dari video mercusuar Mandiri itu, atau film Cast Away yang dibintangi Tom Hanks.

Untuk membunuh kebosanan, Herman bercerita ia melakukan kegiatan rekreatif sebisanya; menanam jahe merah, cabai, atau menangkarkan tukik penyu. Ia merintis penangkaran tukik  di Pulau Lengkuas karena ia melihat banyak sekali pemburu yang datang untuk mengambil telur penyu.

Di Belitung, telur penyu dijajakan dengan bebas. Saya dengan mudah menemui penjaja telur penyu di pinggir jalan atau pasar ikan di Tanjungpandan. Masyarakat kelewat percaya dengan mitos bahwa telur penyu memiliki khasiat aprodisiak yang makcleng yang banyak membuat wanita terkewer-kewer. Padahal yo nggak juga.

Terus gimana caranya membuat wanita terkewer-kewer? Coba situ tanya sama editor Mojok saja.

Ahiak!

Disclaimer: Tulisan ini termasuk dalam #MojokSore. Mojok Sore adalah semacam advertorial yang disajikan oleh tim kreatif Mojok yang dikenal asyik, jenaka, dan membahagiakan. Bagi Anda yang mau mempromosikan produk-produk tertentu, silakan menghubungi iklan@mojok.co.

Exit mobile version