Panduan bagi Perempuan untuk Memahami dan Bersikap pada Pria

Cewek-Posesif-MOJOK.CO

[MOJOK.CO] “Ladies, pernahkah kamu merasa sudah berusaha keras membuat pria senang, tetapi seperti tidak ada hasilnya? Berikut panduan bagi perempuan agar hal itu tidak terjadi.”

Saya sering dengar kata orang-orang: sebaiknya perempuan mencintai seorang pria sebesar sepuluh persen saja.

Saya memahami perkataan itu. Saat menyukai seorang pria, biasanya perempuan menjadi posesif dan tidak jadi asyik lagi. Jika kadar cinta si perempuan hanya sepuluh persen, perempuan tidak akan fokus pada pria dan ini akan membuat perempuan jinak-jinak merpati jika didekati. Perempuan pun tidak akan mengejar dan memelas cinta pria. Dia tidak peduli dan tidak berlebih-lebihan. Gaya begitu justru lebih disukai pria.

Pada umumnya, pria tidak ingin perempuan bersikap berlebih-lebihan. Sebaliknya, perempuan berpikir, jika mereka memperhatikan pria sampai ke hal-hal detail (menanyakan kondisinya terus-menerus, meminta pria bercerita dan berbagi derita, melayani dan mengurus makan-minum-pakaian pria tanpa ada cacat), itu akan membuat si perempuan “lebih” di mata pria.

Nyatanya tidak. Di awal, perhatian seperti itu malah pria sangka sebagai bentuk kepo, posesif, dan berlebihan. Ujung-ujungnya pria merasa diri mereka direcokin.

Jika itu soal makan-minum-pakaian, pelayanan prima ini tidak akan membuat perempuan jadi lebih. Tidak usah repot-repot mencuci kolornya sampai tidak ada bekas kuningnya untuk menunjukan perempuan care. Pria tidak memikirkan sampai sejauh itu. Dan lagi, mencoba membuat pria menganggap perempuan “lebih” dengan cara ini justru seringnya hanya melelahkan diri si perempuan.

Pria menganggap perempuan “lebih” bukan dari hal-hal demikian. Mereka makhluk logis dan berpikir yang nyata-nyata saja. Jika mereka suka dan cinta, istimewalah perempuan itu di matanya dibanding perempuan lain. Pria bukan makhluk yang banyak drama, jadi tidak usah berpikir berlebih-lebihan tentang diri dan hidupnya.

Umumnya pria tahu apa yang mereka lakukan dan mereka punya cara sendiri untuk mengatasi kondisi atau kesulitannya. Jika ingin membantunya, biarkan saja sampai dia sendiri yang meminta bantuan. Jangan sok tahu akan dirinya. Biasa-biasa sajalah. Sikap tidak sok tahu dan biasa-biasa saja sudah bantuan besar buat mereka. Pria lebih memilih tidak direcokin dan justru merasa tertekan dengan perhatian yang mirip interograsi.

Jika ingin menarik hatinya, jadilah dirimu sendiri. Tidak usah jadi psikolog atau babunya.

Sebab, pertama, sikap bak psikolog dan babu itu akan membuat perempuan lelah memelihara hubungan dengan pria karena harus terus-menerus menyervis dan menyenangkan hati pria.

Kedua, pria tidak akan merasakan perbedaan lebih dari seorang perempuan yang dari awal meletakkan standar “pelayanan” yang tinggi kepada pria. Malah, jika ada waktunya “pelayanan” perempuan berubah karena lelah tadi, pria justru akan merasakan ada sesuatu yang kurang.

Merasakan ada sesuatu yang kurang itu yang membahayakan sikap pria terhadap perempuan. Sesuatu yang kurang adalah celah yang jika terakumulasi waktu ke waktu akan membuat hubungan menjadi turun kualitasnya

Celah dapat menjadi lubang yang dalam dan lubang yang dalam akan membuat jarak antara keduanya. Sering kali, dari sinilah sebuah hubungan menjadi hambar dan perlahan tidak menarik lagi bagi pria. Perempuan tidak menyadarinya karena merasa, “Aku sudah lakukan hal yang terbaik melayani dan menyenangkan hatinya.” Perempuan bingung mengapa segala pelayanan dan sikap menyenangkan itu tidak dihargai atau tidak dinilai sebagai hal yang lebih. Perempuan merasa sia-sia dan kecewa mengapa hubungan justru bukannya menjadi berkualitas. Kita sering mendengar hal seperti ini.

Perempuan harus memahami, pria tidak memandang rumit segala sesuatu dan jika ingin mengetahui seperti apa seorang pria menilai perempuan, gunakan logika mereka. Memangnya bagaimana pikiran pria tentang perempuan? Dua hal saja: menyenangkan mata dan memenuhi minatnya.

Perempuan justru tidak berpikir seperti pria saat ingin tahu bagaimana pandangan pria tentang dirinya. Perempuan tetap berpikir seperti halnya perempuan menilai diri mereka sendiri. Akhirnya perempuan merasa tidak dipahami pria padahal perempuan merasa telah berbuat banyak untuk pria.

Perempuan kerap terjebak sendiri karena apa yang dimaksud dengan “pandangan pria tentang bagaimana perempuan”, bagi perempuan adalah tentang “bagaimana dirinya ingin dipandang pria”, bukan “bagaimana pria memandang perempuan”. Pikirkan saja, jika ingin tahu pandangan pria, mestinya kita menggunakan sudut pandang pria, kan? Bukan menyimpulkannya dari bagaimana perempuan menilai dirinya sendiri.

Jika ingin mengetahui siapa pria, mereka hanyalah “laki-laki”. Mereka ingin perempuan memperlakukan dirinya seperti ibunya. Di saat yang sama, pria ingin seluruh imajinasi sensual-feminin di kepalanya ada di diri perempuan.

Tapi, saat seorang perempuan menjadikan dirinya nyaris sempurna, pria malah memilih perempuan lain yang kekurangannya bisa mereka handle, agar mereka merasa aman saat tidak dekat pasangannya.

Pasangan mendekati sempurna bagi pria mirip dengan ancaman, juga kekhawatiran. “Jika aku tertarik dia, seluruh rival pria di luar sana juga pasti tertarik padanya. Jika dia tertarik padaku, dia juga dapat tertarik dengan pria mana pun”. Logika pria umumnya seperti ini.

Perempuan harus memahami, di sisi mana pria dan wanita berbeda. Perempuan itu egosentris, tiap hal dia bawa ke dirinya dulu. Dari sana dia baru membuat kesimpulan. Sementara pria, tiap hal dia pandang berdasarkan kaitan dan hubungan yang terlihat. Dari sana mereka membuat kesimpulan.

Jika perempuan ingin bersikap sesuai dengan apa yang dibutuhkan pria, pahamilah, pria hanya memperhitungkan segala sesuatu yang terlihat yang ada kaitannya dan memiliki hubungan yang dapat dimengerti. Mengaitkan segala pelayanan dan sikap “asal babang senang” yang perempuan lakukan, dengan harapan perhatian dan cinta seorang pria semakin besar padanya, sama dengan mengharapkan belas kasihan dan memperbudak diri. Pria sejatinya menjadi bosan pada perempuan yang kehilangan dirinya sendiri karena seringnya mereka bersikap menyervis saat berharap pengakuan dan ingin punya nilai lebih tatkala dibandingkan dengan perempuan lain.

Pria, sekali lagi, jika mereka suka dan cinta, istimewalah perempuan itu di matanya dibanding perempuan lain. Dan suka dan cinta seorang pria itu berkaitan dengan dua hal saja: perempuan itu menyenangkan mata dan memenuhi minatnya. Menyenangkan mata dan memenuhi minat itu terkait dengan selera seorang pria, dan menjadikan dia berselera dengan melayani dan menyenang-nyenangkan hatinya itu kedengaran seperti perempuan mengaku diri mereka inferior dan pria superior. Wajar saja kalau sikap demikian pada akhirnya menjadi bumerang bagi perempuan sendiri.

Exit mobile version