Kuliah di Universitas Diponegoro (Undip) ketika masih berlokasi di kawasan Pleburan, Semarang, menjadi masa yang menyenangkan bagi para mahasiswa penongkrong, mahasiswa aktivis atau mahasiswa hibridasi keduanya. Berlokasi di dekat Simpang Lima, para penongkrong mudah untuk berjalan-jalan ke kawasan hiburan di ibukota Jawa Tengah ini. Tidak sampai lima ratus meter dari Undip, Gedung Berlian, kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Jawa Tengah, dengan gagah berdiri menanti para mahasiswa aktivis menyuarakan aksi unjuk rasa.
Saya beruntung masuk kuliah tahun 1998, satu tahun dimana aktivisme mahasiswa sedang membuncah. Organisasi mahasiswa ekstra kampus secara agresif berusaha masuk kembali ke kampus dengan merekrut sebanyak-banyaknya kader, salah satunya dengan rajin unjuk rasa. Unjuk rasa mahasiswa digelorakan para mahasiswa aktivis dengan cukup berjalan tidak sampai lima ratus meter dari kampus Undip menuju Gedung Berlian. Umumnya “long march” dilakukan dari depan Fakultas Hukum Undip, bergerak melewati Auditorium Imam Bardjo dengan sejenak ada orator yang berorasi di gedung serbaguna terbesar di kompleks kampus, lalu ke gerbang kampus menuju Gedung Berlian.
Bagi mahasiswa penongkrong, orasi para mahasiswa aktivis di depan Auditorium Imam Bardjo merupakan pertunjukan sesaat yang lumayan menghibur.
Auditorium Imam Bardjo dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar dan rindang, laksana oase di tengah hutan beton yang tumbuh di sekitar kampus. Kerindangan ini menjadikan Auditorium Imam Bardjo pilihan terbaik bagi para penongkrong untuk duduk lesehan menunggu jam kuliah atau menikmati jam kuliah yang kosong. Jika haus cukup pesan es teh di kantin dengan bungkus plastik, bukan gelas plastik seperti saat ini. Kebanyakan mahasiswa penongkrong sengaja membawa air di dalam botol yang dibawa dari kost.
Tidak semua penongkrong di depan Auditorium Imam Bardjo mahasiswa berkelimpahan secara ekonomi. Meminjam istilah kaum New Left, mahasiswa penongkrong bukan berasal dari affluent society. Atas nama mengirit uang saku kiriman orang tua yang datang di tanggal muda, mahasiswa penongkrong sengaja membawa air dari rumah. Jarang ada sampah yang berserakan, sebagaimana dengan mudah kita lihat saat ini ketika es teh telah dikomodifikasi ke dalam gelas-gelas plastik. Komodifikasi yang berujung pembuangan gelas-gelas plastik bungkus es teh dengan sia-sia. Untung jika masih dibuang di tempat sampah, karena faktanya justru banyak gelas-gelas plastik dibuang sembarangan.
Mahasiswa hybrid yang berstatus penongkrong sekaligus aktivis kadang bergabung dengan aksi long march yang berhenti di depan Auditorium Imam Bardjo, terutama setelah melihat ada kawan yang dikenalnya di dalam rombongan yang sedang berunjuk rasa. Namun, jika obrolan di tempat nongkrong lebih asyik, mereka lebih bertahan untung nongkrong.
Mahasiswa yang memiliki telepon genggam bisa dihitung jari saat itu. Demikian pula mahasiswa yang memiliki laptop. Para penongkrong benar-benar terlibat dalam keintiman nongkrong tanpa terganggu oleh noise berupa teknologi yang kini dikenal sebagai gadget. Saya ingat, perkataan dosen Pengantar Ilmu Komunikasi di awal semester kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi, bahwa semakin tinggi noise, semakin rendah kualitas komunikasi. Jadi kami boleh klaim bahwa kami adalah para penongkrong yang berkualitas dalam komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok.
Kadang, para penongkrong di Auditorium Imam Bardjo berbincang tentang tugas kuliah, mengerjakan tugas kuliah, memperbincangkan organisasi dan yang paling menarik adalah memperbincangkan tentang budaya populer. Film terbaru yang sedang tayang menjadi bahasan yang paling menarik. Jika dirasa cocok dengan selera dan serempak cocok pula dengan uang saku yang ada di dompet, para penongkrong akan bergerak ke Simpang Lima untuk menonton di bioskop. Tidak kalah dengan para aktivis yang melakukan long march, para penongkrong bergerak dengan berjalan kaki. Long march lima ratus meter untuk menggapai hiburan di Simpang Lima. Bedanya, long march para penongkrong tidak ada koordinator lapangan, orator, bendera dan spanduk.
Bagi sebagian mahasiswa penongkrong, berjalan kaki ke Simpang Lima lumayan mengirit pengeluaran karena tidak perlu mengeluarkan biaya parkir. Cukup mempercayakan motor ke parkir kampus yang gratis.
Sayangnya nongkrong di Auditorium Imam Bardjo hanya bisa berlangsung siang hari. Jika malam hari gelap, kecuali jika ada malam inagurasi di masa setiap fakultas menyelenggarakan pentas seni di awal tahun ajaran baru untuk menyambut mahasiswa baru. Pilihan nongkrong di malam hari adalah di Simpang Lima atau di halaman Taman Budaya Raden Saleh (TBRS).
Tahun 1998 adalah era dimana hukum peninggalan Orde Baru dipertanyakan. Ini yang tergambar dari realitas sosial di Simpang Lima di malam hari. Di balik tenda para penjual teh poci, para perempuan pekerja seks di bawah umur yang lazim disebut ciblek menjajakan dirinya. Eksistensi ciblek menjadikan harga teh poci Simpang Lima melangit. Kantong mahasiswa jelas tidak sepadan dengan harga teh poci Simpang Lima.
Pilihannya tinggal satu, TBRS. Di halaman TBRS, ada beberapa penjual teh poci yang harganya lebih terjangkau. Mahasiswa penongkrong jelas lebih memilih teh poci TBRS sebagai arena nongkrong di malam hari. Selain mahasiswa penongkrong, para mahasiswa aktivis juga memilih teh poci TBRS.
Duduk bergerombol di teh poci dan Auditorium Imam Bardjo, yang dilakukan mahasiswa Undip di sekitar tahun 1998, bisa dilihat sebagai interaksionalisme simbolik yang merekatkan mahasiswa dengan sesama mahasiswa maupun dengan lingkungan sosialnya. Apa yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai ruang publik (public sphere) terartikulasikan.
Pada tahun 1998, mahasiswa Undip sudah mulai dipindahkan ke Tembalang. Mahasiswa ilmu-ilmu sosial dan humaniora beruntung masih menikmati kampus Pleburan. Sampai lulus di tahun 2002, saya yang berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi masih menikmati kampus Pleburan. Kini, hampir semua mahasiswa strata satu Undip menikmati kampus baru di kawasan Tembalang, Semarang, yang jauh lebih megah daripada di Pleburan. Auditorium Imam Bardjo kehilangan mahasiswa penongkrong. Saat saya ke Undip akhir tahun 2014, kegagahan auditorium ini masih terasa. Mesin waktu dalam alam pikiran saya mengantarkan saya pada kenangan nongkrong di teras depannya saat memandang gedung yang kini sepi.
Bagi mahasiswa aktivis, long march menuju Gedung Berlian ala mahasiswa dekade 1998, menjadi grand narratives, yang diwariskan dalam cerita oleh para seniornya. Bayangkan jika harus berjalan kaki mungkin lebih dari sepuluh kilometer dari Tembalang ke Jalan Pahlawan. Nongkrong di Auditorium Imam Bardjo juga menjadi kenangan, begitu juga aktivitas long march para penongkrong menuju Simpang Lima.
Simpang Lima juga berubah menjadi kian hiruk. Aparat melarang praktek ciblek di Simpang Lima dengan berpegang pada hukum. Hukum yang kembali dipegang kuat oleh pemerintah setelah kuasanya redup di sekitar tahun 1998. Atas nama pembangunan, dogma ala Orde Baru, TBRS terancam. Konon akan dibangun di TBRS, sebuah sarana hiburan modern yang menjadi bagian dari bisnis pemodal kuat dari Jakarta bernama Trans Studio.