MOJOK.CO – Adanya anggapan kalau buah jatuh tidak jauh dari pohonnya jadi bikin repot bagi anak tentara yang nggak daftar TNI kayak saya.
Sebagai seorang anak kolong yang tidak jadi tentara, saya sering resah mendapatkan pertanyaan, “Loh, bapaknya tentara kok anaknya nggak daftar TNI?”
Pertanyaan itu sering muncul ketika saya sedang asyik PDKT dengan gebetan baru saya. Yah biasalah, namanya orang baru kenalan, bakal ngobrolin hal-hal yang berkaitan dengan identitas masing-masing.
Mungkin target PDKT saya itu berharap saya akan mengikuti jejak bapak saya, bagi mereka bakalan keren kalau punya pacar yang berseragam. Lumayanlah untuk ajang pamer di media sosial.
Tidak hanya dari orang yang baru dekat, pertanyaan itu juga kerap dilontarkan ketika saya mengikuti acara arisan leting bapak saya.
Biasanya ada beberapa teman Bapak yang nyeletuk, “Loh, Mas! Sampean itu badannya bagus mbok ya daftar TNI aja biar nerusin pengabdian Bapak.” Mendengar celetukan itu saya hanya bisa mbatin, “Emang gampang apa daftar TNI!”
Soal basa-basi request cita-cita anak orang ini sih saya bisa ngerti. Maklum, teman-teman Bapak adalah pensiunan yang hobinya ngumpul-ngumpul sambil mengenang masa dinasnya. Masa keemasannya.
Masalahnya, acara nostalgia ini juga diiringi dengan ajang pamer keberhasilan anak-anak mereka yang sudah jadi anggota TNI atau Polisi. “Wah, Alhamdulillah anakku sudah dinas,” begitu mukadimah topik pembicaraan ini selalu bermula.
Ingin rasanya menutup telinga, tetapi saya hanya bisa manggut-manggut mendengar perbincangan mereka, sambil pasang muka tegar padahal hati ambyar. Krispi di luar, garing dan lembut di dalam.
Oke, saya paham. Mungkin teman-teman Bapak masih punya anggapan kalau buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Seolah-olah seorang anak wajib mengikuti jejak profesi orang tuanya.
Sah-sah aja sih punya pikiran itu. Tapi kan nggak harus saklek begitu, lah kalau bapaknya maling apa iya anaknya harus jadi maling? Kan ya nggak.
Belum lagi adanya stigma di masyarakat jika orang tua yang berprofesi sebagai tentara itu didikannya keras, militeristik, dan kaku. Hal itu membuat saya harus menjelaskan panjang lebar kepada mereka, biasanya saya menjelaskan menggunakan teori sosiologi dramaturgi milik Erving Goffman, yah kalau nongkrong biar terkesan sedikit akademis. Hehe.
Intinya, konsep dramaturgi menjelaskan bahwa adanya front stage dan backstage pada setiap orang. Jadi, front stage pada bapak saya ini kalau sedang dinas, ketika Bapak menggunakan seragamnya pasti harus terlihat tegas, gagah, dan pembawaanya medeni bocah.
Nah, sedangkan backstage ini kalau Bapak sudah pulang dinas. Ya blio pakai kaos kutang, celana kolor, dan tentunya nyetel musik campursari kesukaannya. Seketika, hilang tuh pembawaannya yang medeni bocah.
Perubahan ini juga berlanjut setelah Bapak purna-tugas dari keprajuritannya. Saya sekeluarga boyongan dari asrama militer menuju perkampungan. Asli deh, beda banget rasanya. Bagaikan langit dan bumi.
Tinggal dan hidup di perkampungan memang membawa angin segar bagi saya, di perkampungan tempat saya tinggal tidak banyak orang yang bertanya mengenai saya yang tidak daftar TNI.
Masyarakat di kampung juga tidak pernah peduli tentang identitas yang melekat antara Bapak dengan anaknya. Kuncinya yang penting mau srawung dan ikut kegiatan masyarakat, itu sudah cukup membuat saya aman dari pertanyaan-pertanyaan “berbahaya”.
Hal itu sangat berbeda ketika saya masih tinggal di asrama militer, mau lari pagi untuk kebutuhan jasmani saja harus siap-siap dapat ospek rohani. Ada saja tetangga sekitar yang langsung curiga, “Kamu lari-lari gitu emang mau daftar apa? TNI kan?” Ealah.
Dulu, pergaulan dengan kawan sebaya di asrama militer pun terkesan lebih sulit kalau sudah beda status. Ada semacam jarak antara teman yang jadi tentara dengan teman yang kuliah.
Waktu saya masih kecil sih kami asyik-asyik aja, tapi begitu ada di antara teman kami yang lolos daftar TNI keadaan segera berubah. Jadi sungkan. Entah kenapa, seragam dinas yang melekat pada diri teman-teman kami itu seolah menekan anak-anak tentara kayak kami yang lebih memilih kuliah.
Untungnya, Bapak tidak sama seperti teman-temannya. Bapak tidak pernah menekan saya harus jadi tentara seperti dirinya. Bahkan Bapak pun kerap membesarkan hati saya.
Katanya, suksesnya anak tidak harus sama dengan orang tuanya. Selalu ada jalan menuju kesuksesan dengan cara dan jalannya masing-masing. Bapak juga sering bilang kalau nilai-nilai militer itu bisa dijadikan alat meraih kesuksesan di kehidupan sehari-hari.
Seperti saya yang seorang mahasiswa, sedang pontang-panting menyelesaikan tesis, kerap disarankan oleh Bapak untuk punya semangat juang yang lebih, mental yang militan, dan disiplin yang kuat untuk menyelesaikan tugas dan menata hidup yang lebih baik.
Sikap legowo Bapak itu, sedikit banyak, bisa membuat saya berdamai dengan pertanyaan-pertanyaan basa-basi kenapa saya tak daftar TNI. Pertanyaan yang kini berangsur-angsur tak lagi jadi momok yang menakutkan.
Kini, saya justru menganggap pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai motivasi bahwa sukses tak harus sejalan dan serupa dengan yang dicapai orang tua. Toh, seorang anak tentara bisa kok sukses dengan cara dan jalan yang berbeda.
Jadi satpam BCA misalnya. Eh.
BACA JUGA Menghitung Gaji Anggota TNI, Profesi Idaman Banyak Mertua dan ESAI lainnya.