Mukmin itu Ya yang Mikir Kayak Gus Dur, Bukan yang Sok-sokan

MOJOK.CO – Agama tanpa ilmu itu hambar, ilmu tanpa agama kesasar, sedangkan beragama tanpa pemikiran ya jadinya kasar. Ketemu api? Jadi deh bahan bakar.

Puncak perjalanan rohani seorang mukmin tiada lain adalah bercumbu mesra bersama Allah dengan sepenuh cinta.

Bukan lagi relasi takut.

Apalagi relasi pamrih.

Apalagi relasi iyig instastory.

Dan, lazimnya, semakin lempengnya relasi cinta mesra dengan Gusti Allah berbanding lurus dengan semakin mendalamnya pemikiran kita. Itu artinya ilmu pengetahuan di satu sisi dan sekaligus renungan dan ketulusan di sisi lain.

Berilmu tapi tak merenung-renung, ya hambar belaka. Berilmu tapi tak tulus lillahi ta’ala—misal karena politik elektoral—ya tak adil belaka. Apa-apa yang hambar, jelas dangkal; apa-apa yang tak adil, pasti tidak karimah.

Jika masih syak, coba perhatikan di antaranya ayat 190 dan 191 dari surat Ali Imran, yang bicara tentang ulul albab buat sampeyan yang (ngaku) mukmin itu.

Ayat 190 yang bicara tentang hikmah penciptaan langit dan bumi yang hanya bisa dirasakke oleh ulul albab, yakni (dalam ayat 191 dikatakan) orang-orang yang mengingat Allah dalam segala keadaan dan memikirkan (merenungkan) penciptaan langit dan bumi hingga kemudian terbetik dendang rohani, “Maha Suci Engkau, ya Allah….”, merekalah prototipe mukmin ideal, kaffah, dan “telah selesai”.

Betul, selesai dengan urusan kemahakusaan Allah alias syariat dan sudah pasti buahnya ialah selesai dengan urusan manusia beserta segala keiyigannya alias akhlak karimah.

Tatkala diturunkan ayat tersebut, sebagaimana dituturkan Aisyah ra—dalam riwayat Abu Hatim—Rasulullah Saw menangis dan berkata, “Celakalah orang yang membacanya (ayat-ayat Al-Quran) tetapi tak memikirkannya.” Begitu cakupan asbabun nuzul-nya, ya,

Kita catat, yuk, agar tak menjadi bagian dari mukmin “celaka” tersebut: (1) membaca Al-Quran, dan (2) tak memikirkannya.

Mari jangan macak kenthir dalam konteks ini misal dengan mengatakan, “Lebih beruntung aku dong yang tak membaca Al-Quran ketimbang mereka yang membacanya tapi tak memikirkannya.”

Dengan sendirinya, ngana tak masuk obrolan ini. “Persis,” kata Mas Dodo si Buku Baik, dengan umpama pernyataan, “Lebih baik aku ndak sedekah ketimbang kamu yang sedekah tapi ngarep balasan 10 kali lipat.” Mana bisa orang ortoritatif menista penyantap roti Parsley yang mahal hanya gara-gara dirinya bisa makan sari roti saja? Udah gitu, gratisan pula.

Jika sampeyan telah membaca Al-Quran, ngaji, ikut kajian, liqo’, pengajian, dan lain sebagainya, artinya sampeyan telah masuk ke derajat pertama (membaca Al-Quran). Selanjutnya, mari resahlah bila sampeyan hanya berhenti di situ. Hanya ribet urusan jentik kaki saling nempel ndak sampai alpa pada rohani salat jamaah.

Misal, gara-gara sampeyan telah baca ayat waman lam yahkum bima anzalallah faulaika humul kafirun, siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah maka mereka adalah bagian dari orang kafir.

Ayat yang juga dipekikkan Abdurrahman bin Muljam seusai menebaskan pedangnya ke kepala Ali bin Abi Thalib (Allahu yarham)—lalu sampeyan ke mana-mana dengan gahar menghujat NKRI ini negeri kufur karena menggunakan sistem demokrasi Pancasila, itu pertanda sampeyan hanya berendam di kalen pertama.

Persis, kata Mas Dodo Buku Baik, setamsil gambaran Rasulullah Saw tentang “mereka yang membaca Al-Quran tetapi hanya sampai di tenggorokan.

Misal lagi, gara-gara sampeyan kemarin sore baca terjemahan di Android surat al-Isra’ ayat 110, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu….” dan ayat 205, “Dan sebutlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan dengan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara….

Lalu sampeyan haram-haramin amaliah lawas simbah, abah, dan pakdhe yang kulinan zikiran usai salat dengan berjamaah, dipimpin, dan tentunya bersuara kolektif. “Tidak sesuai Al-Quran! Kembalilah kepada Al-Quran!” gitu katanya.

Ini terjadi semata aslinya karena sampeyan kurang mikir, terbatas pada ilmu Android, apalagi ngarep berbijaksana.

Asbabun nuzul ayat Makkiyah tersebut, kata Imam Suyuthi dalam kitabnya, Al-Hawi’ li al-Fatawi, dikarenakan besarnya risiko bagi Rasulullah Saw kala itu untuk dihujat dan makin dimusuhi kaum kafir Quraish kalau membaca Al-Quran dan asma Allah dengan suara lantang. Jadi, beliau diperintahkan anteng saja.

Abdurrahman bin Aslam, salah satu guru Imam Malik dan Ibnu Jarir at-Thabari, menjelaskan bahwa merendahkan suara (sirr) dalam berzikir patut dilakukan di kala ada yang sedang membaca Al-Quran dalam maksud menghormati Al-Quran.

Ibnu Abbas menuturkan dalam salah satu riwayat Imam Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya mengeraskan suara zikir ketika orang-orang telah selesai shalat fardhu telah terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw.

Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, “Aku dapat mengetahui rampungnya shalat Rasulullah Saw melalui bacaan takbir.

Saya tambahkan satu contoh lagi. Gara-gara arus hijrah di instastory yang nampak keren, Sampeyan kini demen pakai baju dan jilbab lebar. Sampai di sini, apik lho, sah saja. Tapi menjadi tidak elok lagi ketika sampeyan nyalah-nyalahke klambi dan jilbabe buibu Mbantul dengan menyatakannya tidak sesuai tuntunan sunnah Rasulullah Saw.

Gara-garanya cuma sampeyan nyimak dari ustazah IG story tentang ayat “hendaklah kalian panjangkan jilbab kalian” yang kolo-kolo juga posting model unyu hijab syar’i lengkap dengan kontak Wasapnya.

Sampeyan ming mergo belum nyampe saja pada asbabun nuzulnya perihal Umar bin Khattab  menegur Saudah (salah satu istri Nabi Saw yang berbadan besar) yang keluar rumah dan kemudian Saudah lapor kepada Rasul Saw tentang teguran Umar tersebut, lalu turunlah ayat tersebut.

Di satu sisi, ayat tersebut memaksudkan “identitas pembeda muslimah dengan non muslimah kala itu” dan di sisi lain “kewajiban menutup aurat”. Dan ayat ini pun terkait secara tematik dengan ayat “jangan menampakkan perhiasan yang tak lazim nampak”.

Sudah, segitu saja. Tak ada tuntunan desain hijab dan jilbab kudu begini begitu. Pada masa kini, ia semata “menutup aurat” dan “jangan menampakkan perhiasan yang tak lazim nampak”.

So, mau modelnya ala Nikita Mirzani maupun ala buibu Jakenan which is gemeti ngulek sambal, sahih belaka. Menjadi ndak sahih semata karena sampeyan menyalahkan liyane—tanda kurangnya ilmu, kurang mikir, apalagi bijaksana, alias baru berada di posisi pertama: membaca Al-Quran di tenggorokan saja.

Pilunya, yang begini-begini direspons dengan hujatan: ente liberal, ente antek Wahyudi, ente tidak ngikut sunnah Rasul Saw….. yungalah….  Mukmin model pitikih.

Mbokyao, makin tuwo makin menanjaklah ke jenjang kedua: memikirkan dan merenungkan kandungan Al-Quran. Ranahnya adalah rasa menep, njeru, dan buahnya adalah bijaksana.

Insya Allah, takkan terseret laku-laku celaka, seperti gebukin anak orang macam lagi di Octagon MMA maupun bikin program Subuh Berjamaah tetapi nerima suap di lingkungan masjid pula. Misal. Misal aja lho ya.

Begitu ideal derajat ulul albab yang mesti kita perjuangkan. Berkubang dengan: “Maha Suci Allah, Maha Suci Allah, Maha Suci Allah….” di hadapan realitas apa pun, yang tak sesuai pendapat dan keyakinannya bahkan, sehingga bisa selalu njedulke akhlak karimah.

Kata orang Jawa: ngunu yo ngunu ning ojo ngunu. Syar’i ya syar’i ning ojo ngunu; soleh yo soleh ning ojo ngunu; dakwah yo dakwah ning ojo ngunu; lokalitas Purbayan Kotagede yo lokalitas Purbayan ning ojo ngunu, dll. Yo ora Mas Iqbal Aji Daryono? Eh.

Gara-gara itu, jadi ingat cerita tentang dialog antara Gus Dur dengan Pak Harto. Suatu kali, Gus Dur diminta Pak Harto memimpin salat tarawih di kediamannya. Kata Gus Dur, “Mau cara NU lama atau baru, Pak?”

Pak Harto bingung, “Maksudnya gimana, Gus?”

“Kalau Tarawaih cara NU lama itu 23 rakaat.”

“NU baru?”

“Diskon 60%….”

Gus Dur dan Pak Harto ngakak bareng. NU sih tetap NU, cuma salat tarawihnya jadi 11 rakaat. Begitu.

Gus Dur nyantai saja, tak ada ungkapan menyalahkan, tanda telah menepe atau membuminya beliau, apalagi kok ya sampai menghujat garang-garang-brewokan: “Tidak sesuai tuntunan Al-Quran dan sunnah Rasulullah Saw!”

Makanya, mukmin itu ya mbok yang doyan mikir kayak Gus Dur, bukan malah yang sok-sokan. Yang hambar, gampang tuduh orang lain kesasar, kasar, begitu kesentuh api dikit… jadi deh itu bahan bakar.

Exit mobile version