Merdeka dan Panjang Umur Bersama Mulut Marzuki Alie

170817 ESAI MARZUKI ALIE

170817 ESAI MARZUKI ALIE

Sudah tanggal tujuh belas, berarti final lomba-lomba di RT-RT se-Indonesia Raya akan digelar serempak hari ini. Di media sosial mungkin orang akan kembali mendaur ulang keluhan tahunan bahwa kita sebenarnya belum merdeka. Buktinya, patung jenderal Cina segede Gaban—bukan Ranggalawe—bisa berdiri tegak di Tuban.

Hebat juga Cina itu, belum kirim pasukan, baru kirim satu jenderalnya, itu pun dalam bentuk patung, tapi semua orang sudah bisa bilang kalau kita dijajah Cina.

Di sisi yang lain, ditutupinya patung itu dengan kain dari ujung kepala sampai ujung kaki (mungkin supaya kelihatan lebih syar’i) bisa jadi tanda juga bahwa masih ada warga negara kita yang belum merdeka untuk menjalankan keyakinannya.

Apa pun itu, yang jelas kedua Bung yang diculik para pemuda 72 tahun yang lalu sudah membacakan teks proklamasinya. Jaman film Si Unyil masih diputar di TVRI setiap hari Minggu jam 9 pagi, guru-guru saya selalu menekankan bahwa tidak seperti negara tetangga, kemerdekaan kita itu direbut dengan perjuangan. Dengan darah, keringat, dan air mata.

Satu hal yang patut kita syukuri bersama adalah bahwa dulu di era perjuangan belum ada Marzuki Alie. Kalau sudah ada, alih-alih menambah semangat perlawanan setiap ada pejuang yang gugur, orang mungkin malah patah semangat kalau ada yang ketembak tentara Belanda lalu beliau ngomong, “Makanya jangan jadi pejuang ….”

Berempati sepertinya memang bukan keahlian mantan ketua DPR kita itu. Tapi ini memang penyakit umum, mantan memang biasanya ketus. Kalau mereka perhatian, biasanya mau ngajak balikan. Kalau kata-kata Pak Marjuki Alie lemah lembut, kita malah seharusnya curiga, jangan-jangan beliau kepengin jadi ketua DPR lagi.

Tapi sepertinya itu memang gaya komunikasi beliau. Waktu Mentawai dihantam tsunami, beliau juga pernah dengan entengnya berkata, “Siapa pun yang takut kena ombak, jangan tinggal di pinggir pantai.”

Jadi, kalau orang takut kena awan panas, mengikuti saran beliau, sebaiknya jangan tinggal di kaki gunung. Atau, kalau takut digusur satpol PP, jangan bikin rumah di tengah kota.

“Kalau takut, makanya jangan …” itu sepertinya falsafah hidup Pak Marzuki. Ini sebenarnya cocok dengan pepatah lama, “Para pemberani akan diingat orang, tapi para pengecutlah yang hidup lebih lama.” Di masa damai seperti ini, keberanian memang barang langka dan umur panjang adalah segala-galanya. Apalagi berumur panjang dan dapat pensiun dari negara. Ditanggung BPJS pula.

Belum lama ini saksi kunci kasus korupsi E-KTP Johannes Marliem wafat—tentu saja tidak ditanggung BPJS. Pak Marzuki kembali dengan falsafah hidupnya: “Makanya jangan ….” Punya media penyimpanan data sebesar 500 gigabyte dan dipakai buat menyimpan rekaman para pejabat kongkalikong itu memang nggak baik buat kesehatan, mending diisi 3GP aja. Makanya jangan ….

Tapi yang saya bahkan tidak menyangka, ternyata Marzuki Alie juga punya perhatian yang besar kepada para jomblo. Lebih baik jadi saksi nikah, katanya. Betul juga. No pic, hoax; ngaku sudah nggak jomblo tapi nggak ada saksinya, siapa yang bakal percaya?

Kenapa dulu Pak Marzuki nggak jadi Kepala KUA aja, ya? Jangan-jangan karena malah bahaya, kalau ada yang cerai, nanti malah dinasehati, “Makanya jangan jadi manten, jadi mantan aja ….”

Ada banyak petuah baik soal memilih kata. Berkata yang baik atau diam, kata Nabi. “Pena—keyboard dan keypad untuk zaman sekarang—lebih tajam daripada pedang,” kata yang lain. Karena luka yang diakibatkan kata-kata biasanya bertahan lebih lama daripada luka yang didapat ketika carok. Buktinya, kalian masih belum bisa lupa kan waktu ada yang bilang, “Kita sampai di sini aja ya, Mas ….”

Nasehat lain berbunyi, “Orang diberi dua mata dan satu mulut supaya melihat dua kali sebelum bicara satu kali.” Tapi orang juga punya dua tangan dan satu mulut. Mungkin itu artinya supaya kalau punya masalah dengan orang, kita disuruh nonjok dua kali dulu sebelum bicara satu kali. Contohnya tentara yang nggampar polantas waktu ditegur karena nggak pakai helm. Itu sebenarnya pelajaran dari sang tentara buat sang polantas, dikasih dua tangan kok malah ngomong dulu?

Sebenarnya itu nasehat supaya kita bijaksana dalam memilih kata-kata, mikir dulu sebelum bicara atau ngetwit atau nyetatus. Tapi fakta bahwa ubur-ubur bisa bertahan selama 650 juta tahun padahal nggak punya otak memang lumayan menggetarkan. Dan bukankah umur panjang, ditambah dapat pensiun dan ditanggung BPJS, adalah segala-galanya, Pak Marzuki?

Exit mobile version