Memikirkan Ulang Keterikatan Kita pada Barang-Barang

MOJOK.COPernah stres karena punya terlalu banyak barang? Dari orang Rimba aku belajar ulang tentang hubungan manusia dan barang. Punya sedikit barang itu lebih bagus. Owning less is better than organizing more.

Aku ingat pada suatu ketika membawa beberapa Orang Rimba kader dan bekas murid Sokola ke rumah seorang sahabat kami di kawasan Menteng, Jakarta. Ibu tuan rumah sangat antusias dan mengajak mereka berkeliling rumah. Kamu mungkin mengira mereka akan takjub dan mengagumi isi rumah orang kota ini. Tapi tidak. Mereka menganggap kita bodoh dan hidup sangat tidak efisien.

“Buat apa pakaian sebanyak itu?” tanya seorang dari kader kami saat melihat lemari pakaian yang sangat besar. “Buat apa simpan piring bertumpuk-tumpuk begitu banyak?” Atau saat mereka membandingkan “rumah-rumah” yang berdesakan di kolong jembatan sementara di bagian lain Jakarta, rumah-rumah besar hanya dihuni sedikit orang. “Kenapa tidak mereka beri tempat untuk orang lain tinggal?”

Orang Rimba adalah satu komunitas yang tinggal di hutan hujan Jambi, tempat Sokola berkegiatan yang sudah aku anggap rumah sendiri. Mereka melestarikan budaya berpindah (nomadic) sehingga berprinsip memiliki barang secukupnya saja agar tidak kerepotan saat harus berjalan berpindah.

Lima belas tahun bolak-balik ke sana, aku mengamati mereka tidak punya ikatan dengan barang-barangnya. Segala sesuatu dinilai dari fungsinya. Saat sudah tidak fungsional lagi, sudah pasti akan ditinggalkan. Pun jika mendapati barangnya rusak terkena hujan, misalnya. Menurut mereka, itu berarti barang tersebut tidak bagus dan tidak tahan dipakai di rimba. Prinsipnya sama dengan hukum rimba, siapa kuat, dia bertahan.

Mereka jugalah yang menertawakan saat beberapa anggota Land Rover Owner Club dan tentunya dengan mobil-mobil mereka datang dan kemping di pinggir hutan. Banyak betul peralatannya! Orang-orang repot membongkar kursi lipat, kelambu, cool box, kompor portable berikut bahan bakarnya, dan sebagainya. “Kami dari dulu bisa hidup di hutan tanpa peralatan sebanyak itu!”

Mungkin Orang Rimba adalah contoh ekstrem. Tapi, dari mereka kita bisa belajar mengambil esensi kegunaan suatu barang. Buat apa punya banyak barang yang justru akan merepotkan kita?

Kehidupan komunal mereka juga membuat hidup lebih efisien. Contohnya, saat mereka mempertanyakan piring-piring yang bertumpuk lalu dijawab, itu untuk kebutuhan hajatan. “Kenapa tidak pinjam-pinjam saja? Atau tamunya bawa piring sendiri-sendiri?” Karena itu yang mereka lakukan saat menggelar hajat di rimba. Tapi tentu tidak dengan orang kota yang individualis. Kalaupun tidak punya piring setumpuk (dan harus sama), lebih baik menyewa katering daripada meminjam atau meminta tamu membawa piring sendiri. Kan, betapa tidak efisien dan malah keluar uang.

Kehidupan komunal di rimba juga mengajarkan aku tentang berbagi. Hampir semua yang ada di rimba dipakai bersama, mulai dari air, udara, pepohonan, buah-buahan dan hasil hutan lain, hewan buruan, sinar matahari, dan lain-lain. Saling beri, saling pinjam, sudah menjadi kebiasaan. Dengan cara hidup efisien inilah kelestarian hutan mereka terjaga.

Kehidupan modern memang mendorong orang untuk individualis. Lihat rumah-rumah berpagar tinggi seperti tidak ingin diganggu apa pun dari luar, produk-produk dikategorikan untuk segmen usia tertentu saja sehingga susu atau sabun tidak lagi bisa dipakai satu untuk sekeluarga. Lalu pakaian, sepatu, tas, sikat gigi, tempat tidur, bahkan kini televisi dimiliki setiap kamar tidur dan bukannya di ruang keluarga. Yang mengambil keuntungan tentu saja produsen karena lebih banyak produk yang terjual.

Kemudian untuk mengambil keuntungan lebih banyak lagi, produsen membuat kategori lain: pakaian tidur, pakaian pergi, pakaian kerja, sampai pakaian olah raga. Begitu juga sepatu, tas, perabot, sampai sabun dan pewangi, semuanya dikategorikan agar kita memiliki satu kategori untuk satu aktivitas. Bahkan tidak cukup satu, kita kadang perlu dua, tiga, empat, atau lebih agar tidak pakai yang itu-itu saja.

Sungguh kehidupan modern memang tidak sederhana. Tidak efisien dari kacamata Orang Rimba. Tidak sustainable.

Konsekuensi dari kepemilikan adalah barang-barang yang mesti dikelola. Butuh lemari pakaian besar untuk menyimpan semua baju, butuh dapur luas agar cukup dihuni setumpuk piring, rumah besar untuk menyimpan semua barang atau kita yang akan terimpit di dalamnya. Belum lagi upaya untuk membereskannya.

Aku bercermin dari Orang Rimba. Tentang hidup yang seperlunya. Tentang melepaskan keterikatan dengan barang-barang tertentu. Lalu merasa malu sendiri.

Satu cerita lagi yang ingin kubagi dari kunjungan ke rumah Menteng itu. Pemilik rumah menunjukkan semacam nampan berukuran sekitar 30 x 30 sentimeter berisi pasir. Di situ juga ada semacam garpu mini dan bebatuan kecil. Ini Taman Zen Mini, namanya. Orang kota suka memainkan pasirnya dengan garpu ini untuk menghilangkan stres. Kurang lebih begitu penjelasan ibu pemilik rumah. Murid-murid kami tertawa. “Tidak masuk akal,” kata mereka.

Silakan berefleksi sendiri.

Exit mobile version