Membayangkan Dunia Tanpa Konser

Membayangkan Dunia Tanpa Konser

Membayangkan Dunia Tanpa Konser

MOJOK.COBagi homo consulere, dunia konser adalah kehidupan berdesak-desakan. Sayangnya, itu semua berubah sejak corona datang.

Kata orang-orang yang belajar ekonomi politik: lebih mudah membayangkan akhir dunia ketimbang akhir kapitalisme. Namun bagi saya dan ratusan juta orang lain, lebih mudah membayangkan kapitalisme tumbang ketimbang dunia tanpa konser. Sayangnya, belakangan ini, dunia tanpa konser adalah sebuah kewajaran yang harus diterima meski pedih.

Ketika dunia mengumumkan corona sebagai pandemi, dan salah satu tindakan pencegahannya adalah menjaga jarak, maka dimulailah kiamat kecil bagi orang-orang yang berpendar di sekitar konser.

Artis, kru panggung, event organizer, MC, tukang jual kacang dan pisang kukus, juru parkir, dan tentu saja penonton. Semua merasa kehilangan. Para pekerja di dunia konser kehilangan pendapatan, para penonton akan merindukan sensasi adrenalin terpompa, berdesakan dan berkeringat, sembari bernyanyi sampai pita suara nyaris putus.

Nada-nada optimis sempat terlontar. Ada kabar vaksin sedang diuji coba. Ada pula yang bersiasat seperti menonton konser dari mobil, seperti yang dilakukan di Denmark dan Jerman. Masalahnya, menghidupkan industri konser yang sedang mati suri tak semudah itu.

“Industri hiburan akan jadi industri terakhir yang bakal dibuka, dan ada banyak alasan kenapa bakal seperti itu,” kata Joe Spaulding, CEO Boch Center, organisasi seni nirlaba yang mengelola beberapa gedung pertunjukan di Boston.

Apa yang dibilang Joe beralasan. Konser adalah kegiatan padat karya, padat manusia. Konser bisa terlaksana karena ada kerumunan manusia. Lalu bagaimana bisa ada konser kalau harus ada jarak di antara kerumunan? Belum lagi, rasanya susah menjaga jarak bagi mereka yang bekerja di balik panggung.

Kapan hari ada video cukup ramai beredar, yang menunjukkan konser berlangsung, tapi jarak penonton dijaga dengan semacam tali. Penonton berupaya joget dan menikmati musik walau tampak aneh.

“Ini mah kayak orang senam SKJ,” kata seorang kawan dengan masygul.

Kesedihan kawan saya ini bisa dimaklumi. Sebelum pandemi menyerang, hampir tiap akhir pekan dia pergi menonton konser. Mau yang berbayar mahal, sampai yang membayar Rp50 ribu sudah dapat Abidin alias anggur merah bir dingin.

Tanpa dia sadari, dirinya sudah menjadi homo consulere, alias manusia konser. Baginya, khittah konser adalah berdesakan dan merasakan suasana yang hidup. Sehingga konser dengan jarak dibatasi itu bukanlah konser, melainkan senam tiap hari Jumat atau upacara bendera tiap Senin.

Tapi apa boleh bikin, dunia terus berjalan dan manusia harus terus beradaptasi. Sejarah membuktikan manusia bisa kalah, tapi tak bisa patah. Untuk menghadapi masa sulit ini, banyak inisiatif yang dibuat agar tak ada dunia tanpa konser musik.

Kharis Junandharu, satu dari duo Silampukau, beberapa hari lalu mengabari bahwa kawan-kawan di Surabaya bikin Karantivi. Ini adalah platform untuk menonton pertunjukan kesenian, via streaming tentu saja, dan berbayar. Harga tiketnya murah, cuma Rp15 ribu untuk satu hari pertunjukan. Mereka menyebutnya sebagai tiket, bukan donasi.

“Pilihan ini kami ambil karena ingin menunjukkan bahwa sebagai pekerja seni yang menghasilkan produk seni, kami ingin pekerjaan yang kami lakukan diapresiasi lewat praktik kesetaraan dalam transaksi, bukan lewat penggalangan dana atau sistem donasi,” ujar mereka dalam manifestonya.

Apa yang dilakukan oleh teman-teman Karantivi adalah upaya menolak tunduk dan pasrah terhadap kiamat kecil di industri hiburan karena pandemi. Ada banyak upaya serupa sebelumnya.

Konser streaming dibuat, misal seperti yang dilakukan oleh The Panturas, band surf rock asal Jatinangor. Indra Lesmana bikin Mostly Jazz Live Online dengan menjadikan Loket sebagai penyedia tiket. Harga tiket dibanderol dari Rp25 ribu hingga Rp2 juta.

Apakah upaya-upaya itu bisa berhasil dan menjadi kewajaran baru di industri hiburan? Ya belum tahu. Jangankan di skala Indonesia, para promotor besar dunia macam Live Nation dan AEG saja masih kebingungan apa yang harus mereka lakukan. Kita semua masih meraba-raba akan seperti apa dunia konser dengan protokol kesehatan.

Apakah bisa? Kalaupun di atas kertas bisa dilakukan, apakah mungkin berjalan dengan tertib? Dalam skala besar, bisakah kita mengatur kerumunan dan memastikan semua mematuhi tata tertib? Semua masih tanda tanya dan belum ada jawaban pastinya.

Jangankan soal itu, perkara koneksi internet yang vital bagi jalannya konser virtual saja kita masih mengalami banyak hambatan. Kharis bilang masalah sempat terjadi ketika program Karantivi pertama berjalan.

“Wi-fi venue bermasalah,” katanya.

Iksal Harizal, manajer The Panturas juga bilang hal yang sama. Dalam wawancara bersama Vice Indonesia, kru The Panturas butuh waktu enam jam untuk mengatur persiapan koneksi internet. Itupun, pada akhirnya, tak berjalan maksimal. Ada gangguan di sana-sini.

“Padahal yang nonton waktu itu lumayan banyak, sekitar 3 sampai 4 ribu orang,” ujarnya.

Peradaban baru menonton konser virtual ini, sebagaimana sesuatu yang masih jadi eksperimen, perlu waktu agar terlihat hasilnya. Namun ada angin segar, setidaknya yang ditunjukkan di Amerika Serikat.

United Talent Agency membuat penelitian dengan 1.091 orang responden usia 18-54 tahun. Salah satu temuannya adalah: 7 dari 10 orang yang pernah menonton konser streaming, akan melakukannya lagi bahkan setelah karantina di rumah sudah tak lagi berlaku.

“Dulu, keinginan untuk nonton konser virtual amat terbatas. Sekarang, memaksimalkan pengalaman virtual akan jadi hal penting bagi masa depan musik live,” catat UTA.

Statistik dari UTA itu juga bernada serupa dengan survei online yang dibuat oleh situs Bands in Town. Dalam survei yang berlaku sejak 20 April 2020, sekitar 74 persen dari total 6.805 responden, berencana terus menonton konser streaming bahkan setelah karantina dibuka dan bisa dilakukan di dunia nyata.

Di Indonesia, Loket juga berbagi kabar gembira. Dari sekitar 20-an konser yang diadakan selama sebulan terakhir, ada lebih dari 5.000 tiket yang terjual. Bukan angka buruk untuk sesuatu yang baru kan?

Angka-angka yang mencatatkan kebutuhan dan harapan pecinta musik itu jadi penting mengingat banyak orang masih ragu-ragu dengan keamanan di era normal yang baru. Apalagi di Indonesia, yang normal saja belum kok sudah pede mau masuk new normal.

Billboard dan Nielsen juga merilis studi tentang efek corona ke industri hiburan, dan mereka bilang hanya 25 persen responden yang punya anak yang mau nonton konser minimal satu bulan sekali. Sedangkan di Loket, ada lonjakan lebih dari 2.000 event dalam kurun sebulan terakhir.

Ini membuktikan, orang tertarik untuk mencoba kemungkinan-kemungkinan baru. Meski hasilnya belum tahu akan seperti apa, setidaknya mereka mencoba.

Di tengah ketidakpastian seperti ini, yang bisa dilakukan, meski terdengar klise, adalah saling dukung. Kalau ada yang bikin konser virtual berbayar, maka belilah tiketnya meski itu tak akan bisa mereplikasi keseruan menonton konser dunia nyata.

Tiket yang kita beli bukan untuk kesenangan pribadi, melainkan untuk membantu industri konser tetap mengapung. Kalau bisa berdonasi, lakukanlah. Kalau mampu membeli merchandise, jangan berpikir dua kali. Saling dukung rasanya tidak pernah sepenting di era seperti ini.

Sampai sekarang, banyak orang bersikeras dunia tanpa konser adalah mustahil. Di sana-sini, orang masih menyalakan suluh, berusaha keras agar mimpi buruk itu tak terjadi. Maka, setiap upaya yang dilakukan agar konser masih bisa berlangsung, wajib diberi aplaus paling kencang.

Upaya-upaya itu menunjukkan bahwa para manusia di industri hiburan tak mudah tersuruk kalah, tak akan menghunus bendera putih tanpa perlawanan.

BACA JUGA Apresiasi untuk Musisi Dunia yang Menghibur Jutaan Manusia lewat Dunia Maya atau tulisan Nuran Wibisono lainnya.

Exit mobile version