Memahami Brexit untuk Orang Awam

Memahami Brexit untuk Orang Awam

Memahami Brexit untuk Orang Awam

Akhir-akhir ini banyak pembicaraan mengenai berita Brexit (wacana Inggris Raya keluar dari Uni Eropa, singkatan dari Britain Exit, bukan Brebes Exit), yang dilakukan melalui referendum di mana hasilnya memenangkan pihak pro Inggris Raya untuk keluar dari zona regionalisme Uni Eropa. Tidak semua orang tahu dan memahami mengenai berita ini, sebagian orang akan bertanya apa itu Uni Eropa? Apakah temannya Uda Eropa di Padang sana?

Untuk penjelasan yang mudah mengenai Brexit, anggaplah seluruh negara di dunia ini adalah Ibu-ibu pengajian kompleks perumahan. Jadi, di suatu komplek yang bernama Eropa, dulunya antar ibu-ibu (atau negara) sering terjadi permusuhan dan peperangan (perang besar terakhir adalah Perang Dunia II). Ibu-ibu kompleks Eropa ini akhirnya capek bermusuhan dan memutuskan solusi untuk menghentikan itu semua adalah berdagang, dimulai dengan mendirikan komunitas masyarakat Eropa. Katakanlah ini semacam pembentukan arisan bagi ibu-ibu kompleks.

Awalnya hanya ada 6 orang pendiri (Inggris bukan termasuk pendiri dan baru bergabung pada tahun 1973). Adapun hal yang dimulai atas itu semua hanyalah arisan komoditas baja dan batubara saja, baru kemudian berkembang menjadi arisan yang bercorak politik-ekonomi. Inilah sistem yang disebut Uni Eropa.

Nah, arisan Uni Eropa ini lantas dianggap menjadi contoh sukses bagi ibu-ibu kompleks lain di seluruh dunia dalam membuat sistem yang sama. Sukses Uni Eropa, antara lain, sampai mempunyai mata uang tersendiri, bahkan juga memiliki parlemen sendiri.

Khusus mengenai Inggris raya, anggap saja mereka dulunya adalah ibu-ibu mantan pejabat yang sangat berkuasa di seluruh dunia. Begitu berkuasanya mereka sampai ada suatu ungkapan, “di tanah Inggris, matahari tidak pernah tenggelam” karena wilayah jajahannya ada di setiap jengkal dunia, dengan demikian matahari selalu bersinar, setidaknya, di salah satu koloni mereka.

Dan karena mantan pejabat, biasanya mengidap yang namanya post power syndrome, semacam gejala tenggelam dan hidup dalam bayang-bayang kehebatan masa lalu dan cenderung sulit menerima keadaan yang ada sekarang. Seperti tim nasional sepak bola Inggris yang dianggap jagoan, padahal mentoknya cuman di babak perempat final. Sisanya cuma komentator deh.

Sejak awal bergabungnya Inggris ke arisan Ibu-ibu Eropa tersebut, sebetulnya sudah ada suara penolakan dari sebagian masyarakat dan pejabat di dalam negeri mereka sendiri. Argumen yang sering dilontarkan ya itu tadi: Inggris, kan, dulu sukses, masak harus gabung dengan arisan yang dedengkotnya Jerman dan Perancis (kedua negara ini kerap dianggap sebagai “musuh ideologis” mereka), enggak level-lah.

Ketimbang bergabung kesana, Inggris semestinya bergaul dengan negara superpower seperti Amerika Serikat. Pun demikian, pada akhirnya Inggris tetap ikut arisan Uni Eropa dan menikmati madu dari arisan ini. Bahkan mereka malah justru menjadi salah satu negara pusatnya industri keuangan dunia karena keputusan untuk bergabung ke dalam sistem tersebut.

Namun, semua berubah ketika krisis finansial dunia tahun 2008, masa di mana ekonomi menjadi sulit bahkan untuk “nyonya-nyonya besar” Eropa seperti Jerman, Perancis, dan tentu juga Inggris. Keadaan kian memburuk ketika ada salah satu negara anggota arisan yang bangkrut (merasa tidak mampu lagi bayar cicilan utang) seperti Yunani. Dan karena sudah merupakan kesepakatan bersama, maka bagi anggota-anggota arisan Uni Eropa memiliki kewajiban untuk membantu memberikan dana talangan bagi anggota mereka yang lagi kesusahan.

Ironisnya, memberikan dana talangan ini tak semudah dibayangkan. Karena kondisi di dalam domestik masing-masing negara Uni Eropa yang tengah keropos, dana talangan yang bersumber dari wajib pajak masyarakat ini kemudian mendapat banyak tentangan. Inggris termasuk negara yang juga kepayahan soal ini. Krisis di Uni Eropa ini juga kian ruwet karena kebijakan kontroversial Uni Eropa dalam menghadapi imigran dan pengungsi.

Dengan kondisi arisan Uni Eropa yang saat ini lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat, muncullah kemudian wacana referendum pada tahun 2012: Pemilihan bagi warga Inggris Raya untuk memilih tetap bergabung dengan arisan ini atau keluar saja. Akhirnya, sebagaimana yang kita ketahui, referendum di tanggal 23 Juni 2016 menghasilkan keputusan referendum: Inggris Raya keluar dari Uni Eropa.

Melalui telaah singkat ini, kita dapat simpulkan: Keinginan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa tidak ujug-ujug ada begitu saja. Segala permasalahan, mulai dari gejala post-power syndrome yang kronis, lalu masalah krisis finansial, kebijakan kontroversial, serta konflik imigran dari Timur Tengah, menjadi sekian pemicu yang memunculkan wacana referendum di Inggris.

Namun demikian, bukan tidak mungkin langkah Inggris yang keluar dari Uni Eropa akan diikuti sekian negara lain mengingat permasalahan yang cukup serupa. Maka tak usah heran jika dalam hari-hari mendatang akan muncul pula istilah lain yang berkonotasi mirip ‘Brexit’: Grexit, Italeave, Departogal, Czechout, Oustria, Finish, Slovakout, Latervia, Byegium…

Di Indonesia, sejatinya permasalahan referendum seperti Brexit ini juga terjadi, lho. Tapi, apa boleh bikin, kita terlalu terbiasa menganggap masalah luar negeri lebih krusial ketimbang luka saudara sendiri. Saya tak perlu menyebut masalah apa yang dimaksud ‘kan?

Exit mobile version