Melihat Dunia dari Isi Kepala Mahatma Gandhi

Hikayat-2019 - Mojok.co

MOJOK.CO – Salah satu kualitas karakter Gandhi yang sangat mengesankan: rasa hormat terhadap hidup manusia, dimulai dengan menghormati diri sendiri.

Dia anak canggung dan pemalu, bungsu empat bersaudara dari keluarga kelas menengah di India. Sulit melihat kebesaran dalam dirinya tatkala dia masih kecil, atau bahkan setelah jadi penasihat hukum didikan Inggris.

Saat menjalankan profesi tanpa keterampilan yang sesuai untuk mengesankan sebagai penasihat hukum ataupun sekadar sebagai pribadi.

Penampilan perdananya di pengadilan sangat Inferior. Sifat pemalunya begitu besar sehingga dia sulit membuka mulut untuk berargumentasi. Namun kelak dia menemukan suara sendiri, yang akan menjadikannya tokoh penting di abad ke-20, dan mengilhami ribuan perjuangan untuk keadilan di seluruh dunia.

Suaranya bukan karena nada atau kelancaran, tetapi karena keyakinan yang diungkapkannya.

Kehidupan Mohandas K. Gandhi sedemikian berpengaruh dan terlibat dalam pelbagai peristiwa penting dunia di zamannya sehingga mustahil bisa dipaparkan detail dalam tulisan ini.

Ada banyak episode bermakna dalam hidupnya, semua menawarkan kesaksian tentang kebajikan bagi karakter yang baik, dan tentu saja kesaksian perihal kebajikan paling utama: cinta.

Saya hanya akan berbagi rasa dengan Anda ihwal salah satu kualitas karakter Gandhi yang sangat mengesankan: rasa hormat terhadap hidup manusia, dimulai dengan menghormati diri sendiri.

Jauh sebelum jadi Mahatma (Jiwa Agung) maupun Bapu (bapak negara India dalam perjuangan kemerdekaan dari Inggris), Mohandas Gandhi bekerja sebagai penasihat hukum belia dengan prospek sukses kecil.

Ashwin Desai & Goolem Vahed dalam The South African Gandhi Stretcher-Bearer of Empire (2016), meneroka bahwa titimangsa 1893, Gandhi berangkat dari India ke Afrika Selatan yang dikuasai Inggris.

Berpendidikan hukum di London, berbusana laiknya pria Inggris dengan topi tinggi serta setelan jas, rantai emas diikat ke arloji dalam saku rompi, dia tampak seperti warga kolonial muda yang telah merangkul gaya serta sikap penjajah.

Pasca praktiknya sebagai penasihat hukum sedikit melantas di Mumbai, dengan semangat dia menerima tawaran kerja selama setahun oleh perusahaan India yang beroperasi di Afrika Selatan. Dia meninggalkan istri yang dinikahi pada usia tiga belas tahun, serta seorang anak laki-laki.

Sejak mencapai Durban, Afrika Selatan, dia sadar bahwa meskipun di negaranya dirinya berada di bawah Kerajaan Inggris, paling sedikit kelas atas dan menengah India cukup dihormati. Meski ada anggapan bahwa Inggris harus mengadabkan kebudayaan primitif, tetap saja India adalah negara orang India.

Di Afrika Selatan, secara sopan orang India disebut “orang berwarna”, secara kasar, dan ini lebih sering dilakukan, mereka dijuluki coolie atau sami. Mayoritas orang India di Afrika Selatan adalah buruh dan pelayan. Liyannya jadi pedagang serta pebisnis yang sukses, guru, bahkan dokter dan penasihat hukum.

Akan tetapi di Durban, bagi penduduk Inggris dan Belanda, Gandhi bukan penasihat hukum lulusan London yang berbahasa Inggris—dia penasihat kelas coolie, dan hanya berhak mendapat sedikit lebih banyak penghormatan dari para coolie yang bekerja di pertambangan atau melayani di meja makan serta mengepel lantai rumah mereka.

Pada hari pertama di Pengadilan Durban, dengan busana Inggris tapi mengenakan turban India dan bukan topi tinggi, Gandhi diperintahkan melepas turban, karena orang India dilarang mengenakan turban di pengadilan.

Gandhi menolak dan dengan marah meninggalkan ruang pengadilan. Dia merasa terhina. Kemudian dia mendiskusikan peristiwa ini dengan kliennya, seorang pedagang muslim India, Abdullah Seth.

Gandhi ingin berhenti mengenakan turban tinimbang harus mengalami penghinaan lebih lanjut, tetapi Seth meyakinkan bahwa jika dia menyerah pada prasangka ini, dia akan mengecilkan hati orang India lain yang bersiteguh mengenakan turban.

Gandhi menerima nasihat ini, lalu menulis di surat kabar di Durban, mempertahankan hak untuk berbusana sesuai kebiasaan di negerinya. “Masalah ini dibahas banyak surat kabar,” kenangnya, “mereka menahbiskan saya sebagai ‘tamu yang tidak diharapkan.’”

Gandhi yang pemalu dan gabir mulai menemukan suara dan panggilannya: berkampanye sepanjang hidup demi keadilan berlandaskan penghormatan pada hak asasi serta martabat semua manusia.

Beberapa hari kemudian Seth mengirim Gandhi ke Pretoria dengan tiket kereta api kelas utama. Seorang penumpang kulit putih yang memasuki gerbong kelas utama merasa gusar menemukan seorang coolie berbusana Inggris duduk nyaman bersama orang Eropa.

Dia mengajukan keluhan pada kondektur, yang segera memerintahkan Gandhi untuk pindah ke gerbong kelas tiga. Gandhi menolak. Sesaat kemudian dia diusir dari kereta api, barang-barangnya disita, dan ditinggalkan menggigil di malam musim dingin di ruang tunggu stasiun.

Hari berikutnya dia naik kereta lain dengan lampias. Namun di sebagian perjalanan, dia mengalami penghinaan lebih parah akibat peraturan gerbong. Kondektur memerintahkan Gandhi duduk di gerbong setelah pengemudi, sementara si kondektur duduk di dalam gerbong bersama penumpang kulit putih. Gandhi menurut karena tak ingin diturunkan lagi.

Akan tetapi ketika kondektur memerintahkan dia untuk pindah ke batas gerbong agar dapat mengisap cerutu di tempat duduk Gandhi, dia menolak. Kondektur yang marah itu memukulnya, dan dapat mencederai dengan serius jika penumpang lain tak melerai, dan bersikeras bahwa dia boleh duduk bersama mereka. Gandhi mengalami penghinaan lain dalam perjalanan, begitu pula selama tinggal di Afrika Selatan.

Dia segera mendidik dirinya untuk memperjuangkan nasib buruk orang India di Afrika Selatan, memimpin gerakan untuk menyuarakan serta menuntut penghormatan akan hak mereka.

Dalam beberapa hari dia menyelenggarakan pertemuan orang India di Pretoria, melakukan pidato publik pertamanya yang disambut hangat. Dia mengajak mereka berdiri bersama menuntut keadilan, melepaskan prasangka akibat tradisi mereka sendiri. Sebagian besar dari komunitas itu ialah orang-orang muslim.

Di India, yang masih melakukan pemisahan berdasarkan perbedaan ekonomi, etnik, dan agama, orang muslim dan Hindu lebih memilih bersosialisasi secara terpisah, meski mereka tak saling melakukan kekerasan secara terbuka.

Pemisahan inilah yang ditolak oleh Gandhi “baru”, yang kelak akan dia perjuangkan habis-habisan dengan nyawa di negerinya sendiri. Dua puluh tahun kemudian dia mudik ke India, sebagai Mahatma Gandhi. “Jadi, Tuhan meletakkan batu landasan hidup saya di Afrika Selatan,” tulisnya, “dan menuai benih perjuangan penghormatan diri sebagai bangsa.”

Pada 1896, Gandhi pulang ke India selama beberapa bulan untuk mengumpulkan keluarga serta membawa mereka ke Afrika Selatan. Saat di India, dia bicara pada publik dan wartawan tentang perlakuan Inggris di Afrika Selatan terhadap minoritas India.

Begitu beserta keluarga tiba di Durban, dia telah ditunggu oleh sejumlah besar orang kulit putih yang marah akan komentar Gandhi di India. Tatkala turun dari kapal, mereka menyerang, memukuli, serta melemparinya dengan batu. Mereka mungkin akan membunuhnya jika istri seorang kepala polisi setempat tak merenggut Gandhi dan mengawalnya melewati gerombolan itu sampai polisi tiba.

Gandhi menolak melakukan tuntutan. Dia bersumpah tidak akan minta perlindungan hukum untuk cedera yang hanya dialami sendiri. Dia berkomitmen pada komunitas dan akan mengorbankan apa pun yang harus dikorbankan atas nama mereka.

“Kita sendiri harus jadi perubahan yang kita inginkan di jagat ini,” tegasnya.

Dia juga menolak membalas perlakuan fisik buruk bagi orang India. Dia menggunakan pertahanan anti kekerasan untuk memprotes perlakukan buruk dan ketidakadilan. Bagi Gandhi, anti kekerasan lebih daripada sekadar idealisme, atau lebih akurat, cara mencapai keadaan ideal—kebenaran yang menurut keyakinannya ada Tuhan di dalamnya.

Dia tak membenci musuhnya. Dia berusaha mengubah mereka. Dia melihat kebaikan dalam diri mereka, meski kita mungkin hanya bisa melihat sedikit–dan berniat jadi contoh anti kekerasan serta persaudaraan dengan semua manusia untuk membangkitkan nurani moral penindasnya (Sharma 2013).

Arkian, ketika pulang ke India, Gandhi mulai berjuang membebaskan negerinya dari Inggris, perjuangan yang berlangsung lebih dari tiga puluh tahun. Dia meninggal dunia tak lama setelah impiannya terwujud, dibunuh seorang Hindu yang kesal akan penghormatan nan tinggi Gandhi kepada masyarakat muslim India.

Selama bertahun-tahun di India, dia tinggal di sebuah komunitas yang didirikan bersama orang India dari segala etnis, agama, serta latar belakang ekonomi. Di antaranya ialah orang India kasta terendah, minoritas tertindas dan terhina yang disebut kaum paria oleh orang India lain.

Ketika tetangga komunitas itu menolak kehadiran kaum paria, Gandhi memindahkan pengikutnya ke wilayah kota yang hampir seluruhnya dihuni oleh orang miskin serta terasing dari masyarakat India. Selama hidup dan pasca kematiannya, Gandhi ingin melihat perubahan tercipta di dunia ini.


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Exit mobile version