Manunggaling Kawula Cebong dan Manunggaling Kawula Kampret

MOJOK.CO – Polarisasi politik-kekuasaan ala cebong versus kampret ini benar-benar telah kaffah menghibahkan kegerahan luar biasa bukan hanya pada ketiak kita, tapi sekaligus hati nurani dan akal sehat.

Dulu banget, Abu Bakar ash-Shiddiq berkata dengan suara gemetar di depan para sahabat yang beraklamasi memilihnya menjadi khalifah pertama, “Yen aku bener, dukungen, yen aku salah, teguren. Seng bener kui mergo karunia Gusti Allah, seng kleru kui yo ming mergo kelemahanku, astaghfirullahal adhim, atubu ilaika ya Allah….

Geser, geser, geser.

Pada era khalifah kedua, Umar bin Khattab, beliau nangis ndak keruan saat mengetahui ada ibu yang menggodok batu seolah-olah ia sedang memasak makanan untuk menenangkan tangis anaknya yang kelaparan. Diangkutnya sendiri sekarung makanan dari baitul mal, lalu diantarkan ke gubuk ibu malang itu. “Ngapunten, Yu, saestu nyuwuun agunging pangapunten, aku lagi reti nek ono rakyatku sek kelaparan ngene iki, astaghfirullahal adhim, atubu ilaika ya Allah….

Geser, geser, geser.

Pada era khalifah ketiga, Ustman bin Affan, beliau memerintahkan anak buahnya mengirimkan bantuan bahan makanan ke negeri Habasyah (Etiophia kini) yang sedang ditimpa kelaparan. Diangkut pakai ribuan ekor unta! “Kono, kono, Kang, gek terke panganan iki. Ya Allah, astaghfirullah, atubu ilaka….

Geser, geser, geser.

Pada era khalifah keempat yang penuh intrik pulitik, Ali bin Abi Thalib memilih ngalah tatkala pasukannya hampir memenangkan Perang Shiffin. Demi mengutamakan perdamaian antarumat Islam dan menghindarkan makin banyaknya korban.

Wes to, Kang, wes cukup, awak dewe wayahe ngalah, damai, damai, do sedulure, astaghfirullal adhim, atubu ilaka…..”

Geser, geser, geser sekali lagi.

Pada era Umar bin Abdul Aziz, ketika dibaiat, dia menangis dengan sangat sedu lagi sedan. Dia berkata penuh gemetar, betapa takutnya dia sama Allah jika sampai gagal mengemban amanah kepemimpinan itu. “Duh Gusti, duh, duh, duh, yungalah, kenopo kok kedah kulo sek dipilih meniko? Astaghfirullahal adhim, atubu ilaika….

Hari ini?

Bhaaaaa….. meong, pus, puss, pusssss….

Eh, metune kucing, padahal aslinya saya pengin menuliskan hasyuuhhh. Masa hasyuh mengeong? Eh, bentar, Pak Editor, jangan delete dulu, ya.

Geser, geser, geser.

Ini adalah era politak politik yang sanggup menyulap kucing muni kayak asu, dan asu muni kayak menungso, dan menungso muni kayak telek bebek. Gimana bunyi telek bebek? Gampang! Coleklah setangkup telek bebek, lalu dekatkan ke hidungmu, maka suara yang lalu kamu dengar, itulah suara telek bebek.

Halo, assalamu’alaikum, para cebong, para kampret, masih pada belum waras, kan? Bhhaaaa…..

Cebong dan kampret, ya begitulah julukannya. Keduanya telah tertabalkan sebagai polarisasi paling representatif pada iklim perlombaan politik-kekuasaan nasional kita hari ini. Sampai-sampai, yang bahkan sanggup benar membuat akal telek bebek pun tak lagi mampu mencernanya, muncul polarisasi sosial-politik publik: jika kamu bukan cebong, kamu kampret; jika kamu bukan kampret, kamu cebong.

Lha, kadal di kemanain? Buaya mau dianggap telah innalillah? Ayam gimana nasibnya? Belum lagi ular, tikus, dan babi? Kan malang betul jadinya, khazanah perbinatangan bangsa kita yang luar biasa berlimpahnya direduksi begitu saja pada berhala cebong dan kampret belaka. Itu bagian dari inkarun ni’mah, lho.

Polarisasi politik-kekuasaan ala cebong versus kampret ini benar-benar telah kaffah menghibahkan kegerahan luar biasa bukan hanya pada ketiak kita, tapi sekaligus hati nurani dan akal sehat. Jika yang gerah adalah ketiak, solusinya gampang: mandi dan pakai splash. Tapi gimana bila yang gerah adalah hati dan lalu pikiran? Bagaimana cara memandikan hati dan pikiran, lalu menyepuhnya dengan aroma splash?

Tak cukup dengan saling menjuluki kelompok politik yang berbeda dengan seburuk-buruknya rajakaya, sejumlah intelektuil (sengaja pakai “i” biar marem) yang berafiliasi dengan cebong dan kampret turun dari “resi pertapaan” (dalam istilah Murtadhsa Mutahhari untuk menyebut posisi luhung kaum intelektual) untuk seturut meriuhkan faksi politiknya dengan cara-cara yang jelas tak pertapa lagi. Para pertapa itu telah turun derajat jadi ya cebong atau ya kampret.

Menakik kelompok lain sebagai dungu, IQ sekolam, kumpulan munafik, plonga-plongo, tukang fitnah, pabrik hoax, dosa masa lalu, pe-ka-i, dll., dirayakan sepenuh girang seolah sedang menabalkan analisis-analisis ilmiah yang mencerahkan di panggung-panggung agent of social change yag beradab.

Soal argumen cum dalih bin alasan, halah, masak ragu pada kapasitas lambe turah yang terlatih begitu? Soal retorika, halah, kok masih dipertayakan? Jangankan cuma ngababi kita, wong Gusti Allah aja diretorikain kok yo….

Jika sampeyan masih meragukan kompetensi dahsyat mereka, ingat selalu hukum alamnya: sesuatu yang diulang, terus-menerus, apalagi dilatih dengan sistematis, seiring waktu akan tertanam di alam bawah sadar dan jadi auto. Jadi tabiat! Istilah kerennya: the power of repetation. Energi pengulangan. Ngulangi ngolok-ngolok orang lain.

Mau bukti?

Sekali kamu berani ngentut di depan pacarmu, maka entut kedua, ketiga, dan seterusnya, akan auto saja ia jebrutkan.

Sekali orang bilang “dungu” pada orang lain, lalu diulang dan diulang, autolah ia sefasih boker untuk menjedulkannya tanpa pandang ruang dan waktu lagi. Udah auto.

Sekali orang berdusta, lalu menutupi dusta pertamanya dengan dusta kedua, maka dusta ketiga, keempat, hingga modyar kelak, sudah jadi auto pada dirinya. Bicara sepuluh kalimat, dustanya auto lima belas kalimat.

Nah, kaum lemu-lemu cum intelektuil yang hatinya telah cebong atau kampret, secara auto pikiranya pun selalu berakselerasi pada maqam makrifatul cebong wal kampret. Pokoknya, mau pakai landasan teori Descartes atau Heidegger, ya harus cebong atau kampret.

Mau nukil pandangan Huntington atau Fukuyama, ya tetap muaranya mesti cebong atau kampret. Kalau sudah berlevel makrifat begini, apa pun menjadi nyawiji, manuggal. Yaaaaa, Anda benar! Manunggaling Kawula Cebong atau Manunggaling Kawula Kampret.

Lihat seorang cebong diintimidasi oleh sekelompok kampret gara-gara kaus ngunukuilah, melesatlah jubelan teori, analisis, argumen intelektuil—wes, gampange cocotan—ihwal kebusukan kemanusiaan yang luar biasa mengenaskan. Tapi lihat buibu ndeso Kendeng yang melas berjuang bertahun-tahun hanya untuk minta diakui haknya atas tanah dan air di kampungnya, mingkem kabeh. Lambene ndelik ke silite. Seolah itu tak ada, bukan soal, bukan bagian dari masalah kemanusiaan.

Ngunu kui buah eksistensial nyawijine Manunggaling Kawula Cebong.

Tak mau kalah nyawiji, para intelektuil die hard-kampret berderai-derai secara kolektif mengutuk kabar penganiayaan terhadap nenek 70 tahun yang kudune anteng mesam-mesem momong dan momot anak cucu di rumah dengan narasi-narasi akademis, ilmiah, dan kemanusiaan—wes, gampange cocotan. Negara absen! Pemerintah zalim! Negeri premanisme! Harus diselamatkan, harus dilakukan perubahan!

Giliran lalu terbukti itu ternyata cuma pentas titer tokoh makrifatul kadzdzab, serentak ramai-ramailah para intelektuil itu menyatakan prihatin dan kecewa karena menjadi korban hoax itu. Polisi harus mengusut tuntas hoax provokatif yang mengancam nasionalisme NKRI itu! Ya, it means, termasuk mengusut dirimu pula to, Pak?

Ngunu kui buah eksistensial nyawijine Manunggaling Kawula Kampret.

Pada suatu pagi, sehabis subuhan di masjid, saya memandangi kalen di depan rumah. Airnya cuma menggenang, tak mengalir. Kalau lagi musim hujan, kalen ini lancar banget alirannya.

Saya lihat ada seekor cebong tua yang wajahnya pilu. Sendirian, di pojokan. Saya tanya: “Ngopo njenengan kok ketok sedih ngunu, Mbah Bong?

Iyo e, Mas, piye ra sedih, saiki martabatku dadi elek seolah aku ki bagian dari kaum munafik, padahal aku ki makhluk sek sak madyo ngelampahi peparingi urip seko Gusti Allah, ra patek’en karo politak politik….

Jahat men wong-wong politak politik kui ya, Mbah Bong?

Cetho, Mas, wes do munafik, hasyulah kokmen….

Saya lalu beralih menatapi pohon mangga yang sedang berbuah di depan rumah. Saya lihat seekor kampret tua nampak murung. Sendirian, di pojokan ranting. Saya tanya: “Ngopo njenengan kok ketok sedih ngunu, Mbah Pret?

Iyo e, Mas, piye ra sedih, saiki martabatku dadi elek seolah aku ki bagian dari kaum munafik, padahal aku ki makhluk sek sak madyo ngelampahi peparingi urip seko Gusti Allah, ra patek’en karo politak politik….

Jahat men wong-wong politak politik kui ya, Mbah Pret?

Cetho, Mas, wes do munafik, hasyulah kokmen….

Seraya memasuki rumah, saya mengguman: ketika cebong dan kampret telah menjelma hasyu demi kekuasaan, maka hidup macam apa lagi yang masih pantas dijalani oleh para hasyu?

Exit mobile version