Maksud Terselubung ‘Santri Gayeng’ Populerkan Ngajinya Gus Baha Nursalim

MOJOK.COBoleh percaya atau tidak, tujuan saya mengunggah ngajinya Gus Baha ke kanal Santri Gayeng itu supaya memperlambat jatuhnya hari kiamat.

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan profiling singkat, berwasilah pada MOJOK yang sangat misuwur, supaya kelak tidak ada lagi pertanyaan: “(Si)apa itu Santri Gayeng?”

Santri Gayeng didirikan oleh Allah yarham K.H. Maimoen Zubair (Mbah Moen), pemimpinnya adalah Gus Yasin Maimoen, penasihat utamanya K.H. Nawawi Suyuthi Cholil (akrab dipanggil Mbah Wie, Paklik dari Mbah Moen dan sepupu Gus Mus).

Santri Gayeng diketuai Gus Najib Buchori. Jika Anda mengenal lagu “Perdamaian” dan “Kota Santri” dari Nasida Ria yang di-recycle oleh band Gigi, nah, Gus Najib ini adalah putra dari pencipta lagu tersebut, K.H. Buchori Masruri. Dan penasihat serta koordinator kabupaten (Korkab) kami ada di seantero Jawa Tengah.

Beberapa bagian dari “Ganjar-Yasin untuk Jateng” diambil untuk bisa dilafalkan secara pendek sebagai akronim “Gayeng”, yang dalam bahasa Indonesia bisa dimaknai ‘asyik, seru, dan riuh yang penuh’.

Ketika Anda kerja kelompok bersama teman-teman dengan nuansa asyik, seru, dan riuh yang penuh (apalagi dengan tawa yang keras), maka kondisi itu disebut gayeng.

Oleh sebab kerja kelompok dengan nuansa begini dilakukan oleh santri (didominasi alumni Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang), maka jadilah “Santri Gayeng”.

Sementara PR yang dikerjakan untuk mengampanyekan Ganjar-Yasin dalam pilkada Jawa Tengah 2018 (saya sendiri diamanati bagian tugas manajemen media sosial kala itu).

Singkat cerita perkawinan religius-nasionalis ini tampil sebagai pemenang. Satu langkah kecil menyelesaikan PR mewujudkan harapan Mbah Moen tentang Indonesia yang baldatun thayyibatun religius-nasionalis telah tercapai; figur religius telah masuk dalam wilayah ghalibin (pemangku kekuasaan) dengan Gus Yasin sebagai perwakilan (ikhtiar ini jauh sebelum nama Kiai Ma’ruf Amin secara mengagetkan dicalonkan sebagai wakil presiden).

Pada suatu Kamis malam, saya dan Gus Khotib (Sekretaris Santri Gayeng sekaligus alumni Al-Anwar yang nderek Gus Baha awal-awal beliau hijrah ke Jogja) sowan ke ndalem dinas Wakil Gubernur.

Maksud sowan tersebut ialah memohon izin pada Gus Yasin untuk melanjutkan Santri Gayeng usai menunaikan tugasnya, namun konten yang disebar tidak lagi kampanye, melainkan pengajian gawagis Al-Anwar (gawagis adalah bentuk plural dari gus). Dengan gembira beliau mengizinkan.

“Dunia ini tidak akan kiamat selama orang ngaji masih ada,” demikian Mbah Moen ngendika.

Dan boleh percaya atau tidak, tujuan saya mengunggah pengajian pesantren tradisional, salah satunya, adalah ikhtiar memperlambat jatuhnya hari kiamat di dunia. Hehe.

Saya pun berangkat ke Sarang, Rembang sowan ke kediaman gawagis Al-Anwar memohon izin dan kerelaan dipublikasikan di media sosial, serta menemui pengurus pondok untuk meng-copy data-data pengajian. Namun sayang, dokumentasi yang saya harapkan ternyata banyak yang hilang.

Selesai, mengendarai motor Supra X searah pulang ke Jepara dengan pikiran muter-muter mencari jalan keluar, saya diajak Kang Jogor (salah satu santri Al-Anwar) mampir sebentar di Narukan, Rembang untuk sowan ke kediaman Gus Baha Nursalim.

Nah, tepat di sini cerita Santri Gayeng dimulai.

Tiga jam saya di ndalem Gus Baha, saya disajikan daging. Bukan makna harfiah, tapi ilmu yang tebal bukan main.

Boleh dibilang sowan saya waktu itu tidak ada yang sia-sia karena mendengar ilmu semua, awal hatta akhir. Bahkan beberapa penggal cerita yang disampaikan Gus Baha belum pernah saya dengar dan beberapa kali Gus Baha masuk ke ndalem untuk menunjukkan referensi kitabnya.

Sebenarnya tanpa disodori kitabnya pun saya sudah percaya pada apa yang beliau sampaikan, tapi….

“Kita-kita sebagai ahli ilmu tidak perlu ragu untuk membuka-buka kitab. Bukannya mau sombong kalau saya mahir membacanya, tapi karena agama ini riwayat. Apa-apa yang ada dalam agama semuanya riwayat. Riwayat itu hanya bisa kita dapatkan dari kitab-kitab.”

Tiga-empat kali saya lihat Gus Baha ke ndalem hanya untuk mengambil kitab, sekadar memperkuat cerita yang sedang beliau sampaikan.

“Biar yang pernah dengar bisa tahu ma’khod-nya. Dan yang nggak tahu bisa ngerti sumbernya dari mana. Meski nggak bisa baca kitabnya. Hha~.”

Setelah pamit, saya tidak langsung pulang melainkan pindah ke ndalem belakang, ke kediaman adik Gus Baha, yaitu Gus Umam Nursalim. Dan di sinilah jalan keluar saya temukan.

“Jika diperkenankan, dan kalau memang ada dokumentasinya, saya minta izin mengunggah pengajian Gus Baha di kanal Santri Gayeng, Gus,” pinta saya pada Gus Umam setelah ngobrol panjang lebar.

“Nanti hubungi Fajar atau Lik Lukman, bilang kalau aku yang nyuruh untuk dicarikan file pengajian Mas Baha. Seingatku, yang punya file lengkap itu Mas Rumanto. Fajar atau Lik Lukman bisa menyambungkan sampean,” jawab Gus Umam.

Kiai Rumanto di sini adalah pengasuh Pesantren Izzati Nuril Quran Bedukan, Jogja, tempat Gus Baha rutin mbalah Tafsir Al-Jalalain, Nashaihul Ibad, dan Al-Hikam.

Inilah lokasi tunggal dari semua sumber pengajian Gus Baha yang tersebar sebelum Santri Gayeng saya buat akunnya di media sosial (bahkan sampai sekarang).

Memang cukup mudah berbicara dengan Gus Baha melalui Gus Umam. Dan keberuntungan pertama yang saya miliki sehingga mendapati kemudahan dengan beliau berdua: Gus Umam adalah Korkab Santri Gayeng Rembang, sementara Gus Baha adalah Penasihat Santri Gayeng Rembang.

Ketika saya punya agenda ke Jogja, tanpa ragu saya menambahkan destinasi ke Bedukan. Izin dari Gus Baha (melalui Gus Umam) sudah saya kantongi. Tinggal izin pemilik audio ngaji yang belum saya miliki. Atas panduan Mas Fajar dan Gus Lukman, dan berbekal Gojek, saya diantar mas ojol sampai tujuan.

“Mau ke pondok tempat Gus Baha ngaji, ya, Mas?” demikian tanya Mas Ojol, “kalau itu saya tahu banget. Lha wong saya juga rutin ngaji sama Gus Baha di sana.”

Eh, ternyata Mas Ojol santrinya Gus Baha juga.

Sekitar habis Isya saya sampai di pondok tersebut. Saya menyempatkan diri salat jamak di musala pondok, dan setelahnya memperhatikan meja yang dibuat tatakan ngaji Gus Baha.

“Oh, berarti di kanan-kiri meja ini ada Rukhin dan Musthofa, dua sosok yang sering disebut Gus Baha di setiap pengajian,” batin saya.

Saya diantar Kang Danang, santri pondok ke kediaman Kiai Rumanto. Datang-datang sudah ada kopi pahit panas dan camilan beragam. Sesekali Kiai Rumanto membuka-buka hape. Disusul 5-10 menit kemudian ada tamu yang datang. Buka-buka hape lagi, dan beberapa menit kemudian Kang Rukhin yang datang.

Ternyata Kiai Rumanto ingin memperkenalkan muhibbin Gus Baha di Bedukan.

Sayangnya Kang Musthofa ada halangan. Jika ngumpul semua, saya pasti ngajak foto bareng. Bagaimana tidak? Dua nama ini bahkan bikin Najwa Shihab penasaran jeh.

Dari Kiai Rumanto saya membawa oleh-oleh 60 GB file audio pengajian Gus Baha dari awal hingga khatam. Mantap, persoalan izin pun sudah selesai.

Saat pengajian Gus Baha kian diunggah dengan judul aneh-aneh di YouTube, dari grup-grup WhatsApp atau Telegram tersebar imbauan dari Bedukan untuk menyesuaikan judul konten seperti adanya: kitab apa, maqolah apa, halaman berapa, dan jilid kitab keberapa.

Pesannya sangat jelas: keluarga ndalem Gus Baha tidak rida jika nama beliau dibenturkan dengan pihak lain, memotong-motong pengajiannya, dan memberi sembarang kesimpulan.

Kalau ngaji, ya, ngaji saja. Tidak usah aneh-aneh. Apalagi berani menyimpulkan aneh-aneh. Karena penyimpulan dari sembarang orang akan berbelok dari maksud yang disampaikan, lebih-lebih yang menyimpulkan punya kealiman yang pas-pasan. Pas-pasan saja tidak boleh, apalagi yang jelas-jelas kurang?

Tepat di sini keberuntungan saya yang kedua: melalui Gus Umam saya meminta izin untuk memotong-motong pengajian, mengimprovisasi judul, dan membuat cuplikan. Dan kepada Gus Umam saya kirimkan cuplikan-cuplikan tersebut untuk disupervisi dan seberapa boleh konten ini diunggah.

Sebagai orang yang punya pengalaman di media sosial, saya beralasan bahwa orang-orang di internet mencari informasi bukan berdasarkan judul kitab, tapi kata kunci.

Lewat kata kunci itu saya mengimprovisasi judul. Dan untuk menarik orang mengaji di kanal YouTube, saya membuat cuplikan di Facebook, Twitter, dan Instagram (TikTok menyusul!).

“Pesan Mas Baha cuma satu: ngajinya yang khatam,” demikian pesan Gus Umam.

Itulah kenapa di deskripsi setiap video saya cantumkan link serial sebelum dan sesudahnya, menyusun rapi sekali dalam playlist dan series, dan mencantumkan judul lengkap pada cuplikan supaya kembali ke sumber asal.

Saya menguji cuplikan yang saya buat ke beberapa teman. Ada yang paham, ada pula yang tidak. Mereka penasaran kenapa banyak orang tertawa dalam cuplikan itu, namun terkendala bahasa.

Saya pun memberi subtitle bahasa Indonesia dengan font ukuran besar di cuplikan, dan saya berikan kepada mereka lagi.

Dari sepuluh orang yang saya kirimi, sembilan di antaranya tertawa terbahak-bahak!

Akhirnya saya merangkum formula untuk media sosial Santri Gayeng sebelum benar-benar saya rilis di media sosial. Dan finally, ikhtiar saya memperlambat jatuhnya hari kiamat kian berhasil karena dalam sebulan orang yang menyimak pengajian di kanal kami tidak kurang dari 2 juta, dan bertambah 20 ribu orang setiap bulannya.

Makin banyak yang mengaji, maka saya merasa sangat terbantu karena kita sukses membikin malaikat Israfil magabut kecuali ngelapin terompet melulu.

Jadi, yuk bantu Santri Gayeng yuk! Yaaah, biar kiamat bisa ditunda sehari atau dua hari lagi. Kan lumayan.

BACA JUGA Sowan ke Kang Rukhin dan Kang Musthofa, Dua Murid Gus Baha yang Ikut Viral kayak Gurunya.

Exit mobile version