Makhluk yang Dipandu Kebiasaan, bukan Pikiran

Tumungkula yen Dipunsukani

Tumungkula yen Dipunsukani

MOJOK.CO“Kamu memang benar-benar makhluk yang dipandu oleh kebiasaan dan tidak oleh pikiran. Itulah yang sebenarnya membuatmu akan terus-menerus mengambil air dengan kantung air kulitmu itu.”

Seorang sufi pada suatu malam sedang berjalan sendiri melintasi lereng gunung terpencil. Tiba-tiba seorang raksasa pemakan daging manusia muncul menghentikan langkahnya dan mengancam akan memakannya hidup-hidup.

“Baiklah. Kamu boleh mencobanya jika kamu mampu,” kata sang sufi, “Namun, perlu kau ketahui, kau tak akan mungkin bisa. Karena aku lebih kuat daripada kamu.”

“Omong kosong. Tak mungkin. Kamu kan seorang sufi. Kamu hanya tertarik masalah dan hal-hal rohaniah. Kamu tidak mungkin mengalahkanku. Karena aku mengandalkan kekuatan tenaga tubuhku dan seperti kamu lihat, aku lebih besar tiga puluh kali dibanding tubuhmu,” tambah si raksasa percaya diri.

“Jika kamu memang benar-benar kuat, hei, raksasa, coba remas batu ini hingga ia keluar airnya,” si sufi mengambil sebuah batu dan menyodorkannya pada sosok rakasasa.

Si raksasa masih tak menanggapi.

“Ini tak mungkin. Di dalam batu tidak ada air. Bagaimana mungkin batu yang diremas bisa mengeluarkan air? Coba kamu tunjukkan padaku, jika memang bisa!” tambah sang raksasa.

Sang sufi segera merogoh sebutir telur dari kantungnya yang terlindungi oleh gelapnya malam dan segera meremas batu dan telur tersebut dalam satu genggaman tangan kanannya. Ia kemudian menyodorkan dan membuka telapak tangannya, “lihatlah!”

Si raksasa menatap dengan heran. Memang banyak orang terkesan pada sesuatu yang tidak ia mengerti dan akhirnya menghargainya secara berlebih, melebihi apa yang menjadi minat, perhatian, dan pengetahuannya. Sang raksasa masih saja terheran-heran.

“Aku benar-benar bingung. Kamu harus masuk dan tidur di tempat tinggalku. Siapa tahu besok aku bisa memecahkan teka-teki kejadian aneh ini,” kata si raksasa.

Si sufi dengan sangat terpaksa mengikuti raksasa memasuki sebuah gua besar. Ia melihat timbunan barang-barang berharga yang biasanya dibawa para pelancong—yang jasadnya mungkin telah dimakan lahap oleh sang raksasa—menghias ruangan gua. Mirip gua Aladin.

“Berbaringlah di sini. Tidurlah di sampingku,” kata raksasa, “Semoga besok aku sudah bisa mengerti kenapa batu tadi bisa mengeluarkan air.”

Mereka pun segera berbaring.

Namun, saat si raksasa mulai terlelap, khawatir akan terjadi apa-apa pada dirinya, si sufi bangkit pelan-pelan. Ia meraih benda di sudut gua, sebuah kayu berbentuk boneka, dan menyelimutinya di atas kasur yang ia tiduri. Ia lalu mengambil tempat yang agak tersembunyi dan berbaring di sana sembari mengawasi si raksasa dari jarak tertentu.

Tak berapa lama, si raksasa tiba-tiba terjaga. Ia kemudian bangkit dan mengambil sebuah batang pohon besar sebesar cengkraman tangan besarnya lalu memukulkannya pada gundukan berselimut di atas kasur di sampingnya itu delapan kali. Sang raksasa kemudian berbaring lagi.

Melihat kejadian itu, sang sufi mengelus dada. Ia beruntung segera menjauh dari tempat berbaring sang raksasa. Ia benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana keadaannya saat pukulan batang pohon seukuran tubuhnya dilayangkan oleh raksasa itu ke dirinya. Tiba-tiba si sufi mendapat akal. Ia segera kembali ke tempat tidur di samping raksasa dan tiba-tiba ia berseru,

“Hai, raksasa, guamu ini benar-benar tak nyaman untuk tidur. Aku baru saja digigit nyamuk sebanyak delapan kali.”

Nyali sang raksasa semakin mengerut. Ia benar-benar berpikir ulang untuk berani memukul kembali si sufi.

Keesokan harinya si raksasa dengan kasar melempar kantung wadah air dari kulit domba. “Carilah air agar kita bisa membuat teh.”

Alih-alih mengambil kantung air kulit tersebut yang tak mungkin ia mampu angkat karena saking besarnya, sang sufi justru bangkit menuju sumber air yang tak seberapa jauh dari gua. Ia kemudian menggali tanah, membuat terowongan untuk mengalirkan air tepat di depan pintu gua.

“Kenapa kau tak mengambil air dengan kantung air kulit domba tadi?” tanya raksasa.

“Sabar, teman. Aku sedang menggali tanah untuk terowongan yang akan mengalirkan air sungai itu tepat melewati pintu guamu sehingga kamu tak perlu repot-repot mengambil air dengan membawa kantung air kulitmu tadi.”

Namun, si raksasa tak sabar. Ia mengambil kantung air itu dan mengisinya hingga penuh. Setelah ia berhasil membuat teh, tampaknya penalaran si raksasa mulai membaik, sebab ia tiba-tiba bertanya,

“Jika kamu memang benar-benar kuat seperti kau tunjukkan kemarin, kenapa kau tak bisa membuat dengan galian terowongan aliran airmu seketika jadi alih-alih memulainya sedikit demi sedikit.”

“Karena,” kata si sufi, “tak akan ada nilai sebuah perbuatan jika perbuatan tersebut tak dijalankan tanpa memulainya dari usaha minimal yang mungkin dilakukan. Aku sedang menerapkan dan memulai menjalankan usaha minimal itu dalam kasus penggalian terowongan aliran air tadi.”

“Oh! Aku sekarang tahu,” tambah si sufi, “Kamu memang benar-benar makhluk yang dipandu oleh kebiasaan dan tidak oleh pikiran. Itulah yang sebenarnya membuatmu akan terus-menerus mengambil air dengan kantung air kulitmu itu.”

Si raksasa menatap sufi dengan tatapan melongo.

Dinukil dan disadur serta dikembangkan dari Idries Shah Tale of Dervish, 1969, hlm. 43-44.

Baca edisi sebelumnya: Fatwa Nabi Khidir tentang Hukum Membohongi Raja dan artikel kolom Hikayat lainnya.

Exit mobile version