Mahfud MD Kena Mental, Gus Dur Saja Menyesal Bilang Anggota DPR kayak Taman Kanak-Kanak

Menyikapi peristiwa politik terakhir dari Rapat Komisi III DPR dengan Mahfud MD yang bikin geger itu, beginilah analisis seorang golput.

Mahfud MD Kena Mental karena DPR kayak Taman Kanak-Kanak MOJOK.CO

Iliustrasi Mahfud MD Kena Mental karena DPR kayak Taman Kanak-Kanak. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO – Pak Mahfud MD dibuat kesal oleh anggota DPR, yang dulu pernah disebut Gus Dur sudah seperti Taman Kanak-Kanak.

Seorang ronin seperti golput tidak punya ketua, apalagi bos atau juragan. Golput bukan “korea-korea” di DPR seperti yang dianggap Bambang Pacul itu. Golput adalah gerakan kebudayaan yang cair, dinamis. Menyebut golput sebagai psychofreak, tidak nasionalis, pemalas, dan sumpah serapah, saya bisa bilang: “Yaelah, pengin balik lagi ke masa Kubilai Khan?” 

Menyikapi peristiwa politik terakhir dari Rapat Komisi III DPR dengan Mahfud MD yang bikin geger itu, beginilah analisis seorang golput. Sebetulnya ini analisis yang sudah lama berkembang dan menjadi salah satu raison d’etre dari sikap dan eksistensinya. Buat golput, pertemuan di Komisi III DPR itu mah, deja vu. Sesederhana itu.

Pak Mahfud MD, mereka mendengar tapi tidak mendengar 

Lagu populer yang ditulis Paul Simon, The Sound of Silence, release pada 1964. Popularitasnya tidak mengenal zaman. 

Liriknya puitis dan menimbulkan banyak spekulasi. Salah satu lirik yang awalnya membingungkan saya adalah “… people talking without speaking, people hearing without listening.” Di dalam Bahasa Inggris, perbedaan masing-masing kata, antara talking-speaking dan hearing-listening, yang selintas seolah sama, sebetulnya mengandung perbedaan lumayan serius. 

Talking dianggap berarti sebuah percakapan verbal langsung, vis a vis, bisa dalam suatu tempo lumayan lama tentang beragam topik. Seperti Anda ngobrol dengan seseorang sambil ngabuburit selama dua sampai tiga jam, misalnya. Sudah terasa arah tulisan ini, Pak Mahfud MD?

Yang lebih serius

Sementara itu, kandungan makna speaking lebih formal, lebih ada topik yang khusus. Ketika berpidato di hadapan banyak orang, itu speaking (speech). Atau, speaking juga digunakan karena pembicaraan mengindikasikan satu topik serius. Kesamaannya, keduanya bisa saja digunakan untuk satu kejadian perbincangan. Misal, I need to speak/talk to the manager. Sebab unsur formal dan khusus di dalam speaking, maka bila ada yang bertanya Anda bisa berbicara bahasa apa saja, Anda akan bilang I speak English/Arabic/Spanish

Sementara beda hearing dan listening, lebih simpel. Anda bisa mendengarkan (hearing) sebuah percakapan, tapi Anda tidak mendengarkan dengan menyimaknya (listening). Hearing lebih seperti mendengar sambil lalu. Sementara itu, listening mendengar dengan menyimak dan khusyuk.

Baca halaman selanjutnya…. 

Sekumpulan orang yang jualan bacot

Maka, bila penggalan lirik di atas diterjemahkan secara bebas, artinya bisa begini: “Orang-orang asal bacot dan tidak membincangkan sesuatu dengan serius/fokus. Orang-orang mendengar tapi tidak menyimak (ibarat masuk kuping kanan, keluar dari lidah yang sungsang).” Kayak situasi post truth banget, kan? 

Nah, balik ke rapat di Komisi III itu. Simak beberapa celotehan anggota Komisi III DPR di rapat itu dalam menanggapi Pak Mahfud MD, yang bikin situasi jadi kayak status Merapi level Siaga III. Sudah jelas agenda utama rapat untuk meminta penjelasan dari pernyataan Mahfud MD yang mensinyalir adanya transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan sebanyak 349 triliun. Kok, sebagian komentar, pertanyaan dan interupsi di pertemuan justru seperti ingin men-sleding topik utama? 

Kendati, ya, nggak ngagetin juga, sih. Dan justru di situ juga menariknya. Suara-suara berisik itu jadi seperti bukti tambahan dari sinyalemen Gus Dur dulu yang mengatakan bahwa DPR seperti Taman Kanak-kanak. Sinyalemen yang kemudian dia sesali, karena menurutnya karakter anak-anak TK jauh lebih polos dan jujur. Tempat di mana masa depan disandarkan. Anggota DPR? Halah!

Pak Mahfud MD kena mental

Lihat saja. Setelah paparannya diserang interupsi terus oleh Korea anggota DPR, Mahfud MD jadi rada-rada kena mental. Dengan kesal dia lalu mengatakan di DPR juga banyak Markus-nya (Makelar Kasus). Mahfud MD merujuk pada kisah ketika Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dulu rapat gabungan dengan di Komis II dan III. Rapat yang kemudian memunculkan julukan bagi Abdul Rahman Saleh seperti “ustaz di kampung maling”.

Sontak istilah Markus disambar oleh anggota Komisi III dari Gerindra, Habiburokhman. Habib mungkin menduga Markus yang dimaksud adalah anggota DPR saat ini. Dia minta agar Mahfud MD menyebut saja namanya. Beliau tidak terpancing. Lagian itu kasus lama, Bib. Makanya, listen darnfully! Jangan maen samber ajah. 

Perkara Markus belum kelar di situ. Gas digeber lagi. Arteria Dahlan kemudian menebar ancaman untuk memperkarakan Mahfud MD bila tak mencabut pernyataan soal Markus. Nggak berhenti sampai di situ, sesuai etimologi kata “arteri” yang berarti windpipe, saluran angin, Arteria kemudian nyenggol Benny K Harman. Benny marah dan mengancam buka dosa-dosa DPR. Nah, loh! Bukan cuma fokus Rapat Dengar Pendapat Umum itu terancam disabot, isi pembicaraan juga jadi belepotan ke mana-mana. 

Suka buang waktu

Selain itu, ketika bicara, para anggota Komisi III itu, tak lupa buang-buang waktu dengan menyampaikan blah blah blah tentang riwayat hidupnya, yang tidak ada hubungannya dengan isu utama pembahasan. Arteria Dahlan misalnya, menyampaikan sejarah hidupnya, subyek studi S1, S2, dan S3-nya. Yaelah, udah kayak orang diwawancara ketika ngelamar kerja aja. 

Melengkapi tontonan “tari telanjang” itu, Bambang Pacul tampil dan bilang ke Mahfud MD yang memintanya untuk mendukung Undang Undang Perampasan Aset untuk segera disetujui. Sambil “memacul” rekan-rekan sejawatnya, Bambang Pacul menyebut mereka sebagai “Korea-Korea”. 

Dia mengatakan bahwa “Korea-Korea” itu, termasuk dirinya, patuh pada bos ketua partai masing-masing. Keputusan menggolkan UU Perampasan Aset harus disetujui para Ketua Partai dulu. Para “Korea” tidak berani sembarangan dan patuh pada juragannya. (Pembelajaran untuk Pak Mahfud MD: mulai sekarang, mari kita sosialisasikan penggunaan istilah “Korea-Korea” untuk anggota DPR).

RDPU dengan Komisi III jadi kayak panggung Srimulat 

Kalau fakta politiknya seperti itu, apa lalu keputusan untuk golput bisa dianggap psychofreak, tidak nasionalis, dan sebagainya? Lha “Korea-Korea”-nya saja tunduk ke para juragannya, bukan ke rakyat yang memilihnya! 

Kecerdasan itu tumbuh, berkembang dalam sunyi. Kedunguan akan menyebar, menular, dalam ramai.

Penulis: Saleh Abdullah

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Temukan Transaksi Mencurigakan Rp300 Triliun, Mahfud MD Minta Sri Mulyani Usut Tuntas dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version