Lepas Jilbab Bisa Sama Beratnya dengan Pindah Agama di Negeri Ini

MOJOK.CO – Beberapa orang menduga-duga, apa yang terjadi dengan saya? Apakah suami saya yang melarang saya mengenakan jilbab? Apakah saya murtad? Apakah saya mengalami degradasi iman?

Dulu saya berjilbab, mengenakan kain penutup kepala secara konsisten kurang lebih selama sembilan tahun. Pada masa awal saya memutuskan berjilbab, pilihan ini belum jadi hal yang lumrah. Tak ada yang menyelamati saya saat saya berjilbab untuk kali pertama, lalu memuji saya cantik atau mendoakan agar istiqomah.

Eh, ada ding, teman-teman Rohis yang saat itu pun baru dididrikan. Juga ketika kami harus berfoto untuk ijazah, guru-guru kami bilang tak bisa menjamin ijazah kami akan diakui karena tidak menunjukkan daun telinga. Berjilbab juga berarti siap menanggung risiko tidak diterima kerja oleh sebagian instansi yang mensyaratkan pegawainya harus berpenampilan rapi dan modis dengan seragam perusahaan pada waktu itu.

Pada akhir tahun 2014, ketika jilbab sudah menjadi tren perempuan muslimah yang kaffah dan makin bisa diterima masyarakat, saya justru memutuskan untuk melepasnya. Kenapa? Biar jawaban itu saya simpan sendiri saja, karena toh ketika ditanya, saya mungkin tidak akan bisa mendeskripsikannya dengan baik dan sesuai harapan pembaca.

Saya mengambil momen lepas jilbab setelah saya menikah lalu pindah ke daerah. Hal tersebut saya rasa berpengaruh secara signifikan dalam membantu saya melewati masa transisi ini. Tempat baru, status baru, orang-orang baru. Tak akan ada orang yang bertanya “kenapa?” kecuali teman-teman yang melihat unggahan foto saya tanpa penutup kepala di sosial media.

“Di, kenapa lepas jilbab?”, “Cantikan dulu”, atau “Semoga segera dapat hidayah lagi ya?” adalah beberapa pesan yang saya dapat dari beberapa teman. Seseorang yang sangat berarti buat saya, bahkan terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya dan hingga kini mogok bicara dengan saya.

Beberapa orang mungkin menduga-duga, apa yang terjadi dengan saya? Apakah suami saya yang melarang saya berjilbab? Apakah saya murtad? Apakah saya mengalami degradasi iman?

Sesungguhnya saya sendiri tidak tahu alasan pasti saya untuk melepas jilbab. Tapi yang saya tahu, saat ini saya tidak menyesali keputusan itu dan merasa lebih nyaman dengan diri saya. Tak perlu saya rinci lebih jauh karena pasti akan banyak sahutan yang menentang pernyataan saya itu.

Kalau dulu berjilbab menjadi anomali, saat ini menjadi perempuan ber-KTP Islam tapi tidak berjilbab adalah hal yang ganjil. Saya pernah datang ke sebuah acara pernikahan, dan menjadi salah satu dari dua tamu perempuan yang tak berjilbab. Saat ikut acara kopdar komunitas ibu-ibu pun, saya menjadi satu dari segelintir anggotanya yang tak berjilbab, dan barangkali yang lainnya adalah mereka yang beragama lain. Risih? Tidak. Karena seperti yang saya utarakan sebelumnya, saya merasa nyaman dan justru lebih percaya diri dalam penampilan saya saat ini.

Saya mungkin termasuk orang yang beruntung karena dikaruniai suami yang tak memaksakan kehendaknya untuk punya istri sholehah. Kedua mertua saya yang baru saja berhaji sebelum saya menikahi putranya (yang berarti saat itu saya masih berjilbab), tak pernah menyindir kelakuan menantu bungsunya ini. Kakak ipar saya, yang merupakan kader PKS, Jamaah 212, guru ngaji, dan membuat keempat anaknya menjadi penghafal Al-Quran, tak pernah mempertanyakan alasan saya melepas jilbab dan tetap bersikap sama baik seperti sebelumnya. Pun orang tua saya hanya sekali bertanya kenapa dan tak pernah lagi mengungkitnya.

Namun, di luar sana, banyak perempuan yang tak seberuntung saya. Salah seorang teman bahkan pernah mengutarakan keinginannya untuk melepas jilbab, tapi selalu disambut ketus oleh orang tuanya. Dia hanya berani tampil tanpa hijab di sosial media, dan mendapat kritik dari ibunya tiap mengunggah foto dirinya tanpa penutup kepala. Dia sempat bilang depresi dengan keadaan ini dan membenci kedua orang tuanya sedemikian rupa.

Teman saya yang lain bahkan pernah mengalami masa berangkat kerja dari rumah dengan berjlbab, lalu melepasnya di kantor, dan mengenakannya lagi saat tiba di rumah. Hal ini ia lakukan untuk menghindari cercaan keluarga. Begitu terus dia lakukan sampai kemudian dia jadi anak kost dan baru bisa bebas melepas jilbabnya.

Ini hanya cerita dari perempuan biasa yang bahkan semesta tak menyadari keberadaannya. Dunia selebritis jauh lebih kejam, apalagi kalau menyimak komentar netizen yang budiman. Perkara artis yang sempat memutuskan berjilbab lalu melepasnya bakal jadi isu nasional dan mengalahkan perseteruan abadi balajaer versus balanemo.

Apa yang terlintas di pikiran orang saat mengetahui seorang perempuan memutuskan untuk melepas jilbabnya? Saya sendiri dulu sulit menerima fakta ini dan hanya menduga-duga. Dugaan saya: degradasi iman, ada masalah (depresi), terjerumus pergaulan bebas, ingin jadi perempuan nakal, ingin tampil seksi, pindah agama, gebetannya beda agama, dan alasan klasik: terperdaya rayuan setan.

Lalu, kita harus bagaimana saat mengetahui teman kita melepas jilbabnya? Pertama dan yang utama, hindari berkomentar dan bertanya kenapa. Dia sedang menghadapi situasi sulit, dan tak perlu menambah bebannya. Mungkin dia sudah menyusun jawaban, tapi jawabannya pasti takkan memuaskan kita. Yang perlu ditekankan dalam pikiran kita adalah: dia tetap orang yang sama, dengan atau tanpa penutup kepala.

Hindari mendakwahinya dengan ayat-ayat yang menunjukkan perintah berjilbab, keutamaan berjilbab, dan dosa-dosa yang ditanggung perempuan yang tidak berjilbab. Saya rasa dia sudah tahu itu saat memutuskan mengenakan jilbab dan saat ini sedang mengambil risiko dengan segala ketakutan dan kekhawatiran dunia akan memusuhinya. Simpan dulu dakwahmu dan sampaikan di waktu yang tepat, jika itu dirasa perlu.

Saya tidak menyalahkan teman-teman saya yang pernah bertanya “kenapa”, karena saya merasa dalam kondisi mental yang baik saat menjawabnya. Namun, kita tidak pernah tahu kondisi apa yang sedang dihadapi seseorang, sehingga lebih baik menahan diri untuk berkomentar. Dia tahu kok kamu penasaran, tapi tidak semua hal harus diutarakan. Meski dalam kondisi mental yang baik, saya sendiri baru sanggup menuliskan tentang hal ini sekarang dan bahkan belum bisa menjawab dengan pasti alasannya.

Perlu empat tahun untuk membuat saya berani menyampaikan, dengan risiko beberapa teman mungkin akan menganggap saya liberal, tidak beriman, dan jauh dari Tuhan.

Namun, saya yakin masih banyak teman yang mau dan mampu mengerti serta menerima saya, dengan atau tanpa penutup kepala. Saya masih memiliki teman-teman yang sedari dini menyiapkan pendidikan putra-putrinya dengan basis Islam yang sangat ketat, tapi bisa ikut tertawa saat saya memuja-muja ketampanan aktor-aktor drama Korea, seperti Cha Eun Woo misalnya.

Saya masih memiliki orang-orang yang ketaatannya pada agama sungguh luar biasa, tapi tetap menyapa saya seperti biasa. Saya senang mengetahui masih banyak orang yang menganggap saya sebagai Diana yang sama, dengan atau tanpa penutup kepala.

Exit mobile version