Kupu-kupu Malam dan Fakta-Fakta Lainnya

Ada yang benci dirinya… ada yang butuh dirinya…
Ada yang berlutut mencintanya… ada pula yang kejam menyiksa dirinya…
Oh… dosakah yang dia kerjakan… sucikah m’reka yang datang?

Pekerja Seks Komersil, Pelacur, Ciblek, Tuna susila, atau apalah itu namanya. Menurut saya, mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka (yang seringkali dijual oleh keluarga sendiri atau si-suami-yang-pantas-dijamu-kopi-sianida) adalah makhluk yang punya daya tahan dan militansi tinggi terhadap penderitaan. Lha betapa tidak? Pertama, kerja seks itu sama sekali enggak enak. Ya dilogika aja sih, cowok yang muda, gagah, tampan, wangi, bersih, perhatian, dan pintar merayu, pasti enggak akan perlu “bayar” untuk dapat seks. Itu berarti, PSK harus melayani laki-laki di kutub berlawanan: tua, jelek, kudisan, kasar, egois, dan bau matahari.

Kedua, kerja seks itu susah. Selalu berada dalam ancaman ditangkap atau digusur (lalu diperas dan dipaksa melayani polisi supaya dibebaskan), dijauhi tetangga, resiko penyakit kelamin (karena klien tidak mau pakai kondom), kekerasan fisik dan verbal dari bos germo, penyiksaan sadomasochist, resiko diculik atau dibunuh psikopat dan tidak ada polisi yang mau repot-repot mengusut. Idih, amit-amit… mending saya jualan lotek sama pulsa deh.

Dan yang ketiga alias yang paling fundamental, kerja seks itu duitnya dikit. Ya hitung aja deh. Jumlah fee yang didapat buat melayani klien besarnya tak seberapa, itu pun nanti masih dipotong biaya kamar, jatah germo, hansip, tukang becak, calo, sampai jatah ketua RT, Camat, hingga Lurah daerah lokalisasi. Nah, sisa berapa sih yang bisa dikirim ke kampung? sisa berapa yang bisa ditabung untuk modal usaha? Secara matematika sempoa –setelah dihitung antara hasil dikurangi beban kerja dan resiko, jumlah yang diterima oleh para pekerja seks komersil bisa dikatakan sangat-sangat sedikit. Yah, kecuali kalau PSK berlabel artis, tentu bakal beda hitungannya.

Fakta tersebut tak pelak membuat banyak orang semakin menganggap hina kepada profesi pelacur. Yah, maklum sih, namanya juga pelacur, profesi yang tak mengenal jenjang hierarki karir. Kalaupun ada, itu hanya soal segmentasi pelanggan dan tarifnya saja, sedangkan kadar kepelacuran dan kehinaannya sama sekali tidak berkurang.

Padahal, kalau mau merunut jauh ke masa lampau, profesi pelacur ini dulunya termasuk profesi yang terhormat lho. Eh, ini serius. Kalau ndak percaya, ini saya kasih contoh beberapa.

1) Tiga ribu tahun sebelum masehi, pada jaman Mesopotamia, masyarakat Sumeria mempunyai tradisi Prostitusi Sakral. Para perempuan yang hidup di kuil akan “menolong” para lelaki yang ingin berdoa pada Dewi Ishtar, dewi cinta dan perang yang disimbolkan dengan planet Venus. Para lelaki itu akan menyumbang untuk kuil, dan para wanita kuil akan “membantu komunikasi dan memberikan energi dari Dewi Ishtar” melalui tubuh mereka. Raja dan pendeta perempuan pemimpin kuil akan bersanggama pada pesta panen, dalam sebuah ritual yang merayakan kesuburan.

2) Empat ratus tahun sebelum Masehi, pada jaman Yunani kuno, selingkuh dengan perempuan “bebas” dihukum berat, namun meniduri pelacur (perempuan atau lelaki muda) adalah legal. Pelacur biasanya adalah budak atau anak buangan, yang berizin dan dikenakan pajak. Mereka harus menabung (kadang menyicil) untuk membeli kebebasannya. Pelacur “bebas” akan memperoleh penghasilan yang lebih tinggi. Mereka lalu harus selalu memelihara keindahan tubuh –selain juga banyak membaca– agar bisa mencapai status sosial yang bahkan lebih berpengaruh daripada perempuan bukan pelacur. Juga tidak ada hukuman sosial bagi para pelanggan. Hanya para lelaki berstatus sosial tinggi yang sanggup membayar pelacur kelas atas.

3). Di Jepang pada masa Kekaisaran Edo (1600 – 1868), ada seniman wanita penghibur yang disebut oiran. Para pelacur elit ini juga dapat mencapai status sosial yang tinggi. Keahlian seni, kecantikan, dan pendidikan menentukan posisi si pelacur. Hanya pelacur paling tinggi yang dianggap pantas melayani daimyo, pemimpin militer Jepang.

4). Di kebudayaan India kuno, para wanita berlomba-lomba menjadi Nagarvadhu atau “pengantin kota”. Wanita tercantik dipilih dan dinobatkan sebagai dewi. Ia memiliki skill sebagai wanita penghibur, dan harga bookingan per-malamnya sangat tinggi, yang lagi-lagi hanya dapat dijangkau oleh para bangsawan, pangeran, dan raja.

5). Di kebudayaan Tiongkok kuno, prostitusi adalah legal. Justru kriteria istri ideal di Tiongkok kuno adalah perempuan dengan status sosial yang setara, yang patuh tanpa syarat pada suami, telaten mengurus anak dan rumah, serta tidak campur tangan dalam urusan lain.  Di sinilah pelacur mempunyai peran penting dalam sastra, musik dan politik. Huruf kanji untuk pelacur tidak mengandung arti seks di dalamnya, melainkan “penampil perempuan”.

Masih kurang? Oke, saya tambah lagi.

Pada masa Dinasti Tang, dari 49.000 puisi yang terselamatkan, lebih dari 4.000 di antaranya adalah tentang wanita penghibur yang ditulis oleh para sarjana pemuja mereka, dan 136 di antaranya ditulis oleh para wanita penghibur sendiri. Selama seribu tahun mereka adalah lulusan konservatori khusus yang mana lulusannya menyediakan hiburan untuk para pejabat dan sarjana. Mereka tidak hanya menyediakan seks, tapi juga menemani dengan skill yang tinggi: skill musik, menyanyi, menari, berpuisi, melukis dan membuat kaligrafi, mereka bahkan mampu menjadi teman berbincang yang asyik dan lawan main catur yang mumpuni.

Setiap wanita penghibur ini biasanya hanya berhubungan seks dengan satu patron dalam satu waktu, laki-laki lain hanya bisa membeli hiburan intelek darinya (kalau ternyata patronnya adalah orang berpengaruh, meniduri wanita itu resikonya nyawa!). Tante pemilik rumah pelacuran mendapat keuntungan dari pesta-pesta yang diadakan. Layanan seks malah hanya nomor sekian karena mereka ingin meminimalisir angka kehamilan.

Wanita penghibur yang paling disegani bukanlah yang tercantik atau yang terbahenol, melainkan yang paling cerdas dan paling indah puisinya.

Prostitusi adalah profesi perempuan tertua yang sejarahnya melintas lebih dari enam ribu tahun. Hina atau terhormat pada akhirnya hanyalah masalah nilai dan persepsi yang bisa bergeser pada setiap titik peradaban.

Hal ini kadang selalu memunculkan pertanyaan bagi saya: Kalau para lelaki membenci pelacur, lantas kenapa laki-laki tetap mendatangi pelacur? Toh para pelacur hanya “menunggu bola” (dalam arti kiasan maupun harfiah), tidak menculik paksa para lelaki dengan todongan senjata. Lagipula, banyak pelanggan pelacur adalah pria yang sudah beristri, lalu mengapa pula para pelacur yang kata mereka sedemikian kotor dan hina, lebih menarik daripada istri-istri mereka?

Lalu, Kalau perempuan membenci pelacur, karena dianggap ular yang menggoda suami mereka, mengapa tidak mempelajari apa yang lebih menarik dari PSK? Studi banding kan bukan cuma monopoli pejabat saja. Lagipula, apa saja sih yang dimiliki pelacur tapi tidak dimiliki perempuan baik-baik yang jelas-jelas lebih bersih dan sehat? Dandanan menor? please deh, apa susahnya dandan dengan pupur yang over dan lipen yang merahnya meriah. Body seksi? enggak semua PSK punya tubuh seksi (setidaknya menurut standar saya). Pintar merayu? ah, pekerjaan umum seperti agen asuransi atau sales kantong remote tivi pun juga harus pandai bermanis lidah.

Nah, Kalau sudah begitu, lantas haruskah kita membenci pelacur?

Jelas itu adalah pilihan yang mudah. Mau membenci boleh, tidak juga tak mengapa. Tapi tentu akan lebih bijak jika anda mulai belajar dan mencoba untuk membenci dunia pelacuran, bukan pelacurnya.

*Doa epilog: Semoga para eks kupu-kupu malam (tak luput juga kupu-kupu pagi, siang, dan sore) di Dolly dan Kalijodo mendapat penghidupan yang lebih baik. Amin.

Exit mobile version