Kriminalisasi PSK dan Pelanggannya Itu Ide yang Berbahaya

Dunia prostitusi harus mampu direspons oleh pemerintah dengan pendekatan yang tepat. Khususnya terhadap PSK dan pelanggannya.

Kriminalisasi PSK dan Pelanggannya Itu Ide yang Berbahaya MOJOK.CO

ilustrasi kriminalisasi PSK. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COPSK dan pelanggannya adalah populasi kunci untuk mengontrol penularan HIV-AIDS. Oleh sebab itu, mereka jangan dikriminalisasi.

Praktik penegak hukum di Indonesia memang cukup “ala ala”. Sejak 2019 lalu, kita dipaparkan narasi baru tentang suatu tindak pidana yang disebut “prostitusi online”. Lengkap dengan pemberitaannya yang heboh dan bombastis, seolah prostitusi dalam bentuk offline dan online dilarang dan diancam hukum pidana.

Perlu diingatkan berkali-kali. Narasi ini sebenarnya tidak tepat. Perbuatan memberikan dan menerima jasa seks yang dilakukan secara konsensual atau berbasis persetujuan tanpa adanya unsur eksploitasi dan dilakukan dalam ranah privat bukan merupakan suatu tindak pidana. Jadi, PSK dan pelanggannya, tidak bisa dikriminalisasi.

Terdapat arti penting mengapa negara tidak dapat mengatur ruang privat antara PSK dan pelanggannya. Pertama, dalam teknis hukum materil. Hukum pidana itu bersifat ultimum remedium, jadi hanya merupakan upaya terakhir. Kedua, dalam teknis hukum acara dan penegakan. Ide pemidanaan atau mengatur suatu perbuatan menjadi perbuatan pidana ada batasannya. Hal ini mencegah terjadinya overkriminalisasi terhadap PSK dan pelanggannya.

Husak (2008), menyatakan overkriminalisasi hanya akan mengancam efisiensi dan legitimasi penegakan hukum pidana di mata publik. Selain itu, overkriminalisasi juga akan melahirnya diskresi yang begitu luas, yang menghadirkan ketidakadilan dan ketidakpercayaan publik.

Menurutnya, hukum pidana untuk mengontrol perilaku tidak selalu strategis dan cenderung berpotensi menimbulkan ekses negatif yang mengarah pada terciptanya ketidakadilan bagi masyarakat. Hubungan konsensual dalam ruang privat, selagi dilakukan dengan keberdayaan tanpa kekerasan, tanpa melibatkan anak, bukan kepentingan negara untuk mengintervensi.

Waktu, anggaran, dan sumber daya negara terlalu “sayang” untuk mengurusi kondisi seperti itu. Hubungan seksual merupakan keputusan pribadi, sudah ada sejak adanya peradaban manusia. Jauh sebelum lembaga perkawinan diperkenalkan.

Oleh sebab itu, dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini, berkaitan dengan hubungan seksual transaksional (PSK dan pelanggan), yang diancam dengan hukum pidana terbatas pada perbuatan menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan (Pasal 296 KUHP) atau menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian (Pasal 506 KUHP).

Jika dilihat dalam diskursus mengapa kedua pasal ini diatur dalam KUHP dalam Risalah Pembahasan Wetboek van Strafrecht dan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indië (KUHP Belanda dan KUHP Indonesia), pasal-pasal ini ditunjukkan untuk melindungi kesusilaan umum, ataupun untuk melindungi ketertiban di masyarakat.

Pasal-pasal tersebut tidak dipertunjukkan untuk mengatasi masalah moral individu. Misalnya untuk mencegah orang melakukan hubungan seksual di luar perkawinan. Makanya, “kontrak” antara PSK dan pelanggannya tidak bisa dikriminalisasi.

Pasal-pasal tersebut, secara limitatif, bertujuan melarang sebuah perbuatan yang mempermudah terjadinya perbuatan cabul orang lain sebagai sebuah mata pencaharian, atau dilakukan lebih dari satu kali. Dalam Pasal 297 KUHP kemudian juga dilarang perdagangan perempuan.

Dalam perkembangannya, perdagangan orang dilarang dalam konsensus internasional. Selanjutnya, konsensus ini berkembang menjadi Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, yang diadopsi oleh PBB pada November 2000, kemdian disahkan oleh Indonesia menjadi UU No. 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Palermo. Untuk merespons hal ini, Indonesia juga memiliki UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO).

Yang secara limitatif kemudian dilarang bekaitan dengan perbuatan hubungan seksual transaksional (PSK dan pelanggan) adalah yang melibatkan pelanggaran ketertiban masyarakat dengan adanya profesi mucikari dan apabila ada unsur eksploitasi.

Misalnya, tidak ada persetujuan di antara kedua pihak atau persetujuan didapat dengan penyesatan atau eksploitasi relasi kuasa. Contohnya banyak. Misalnya, ancaman verbal, ancaman menggunakan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat).

Jika tidak ada unsur di atas, ya tidak bisa disebut sebagai perbuatan pidana. Hal ini bukan suatu kekosongan hukum. Kembali ke awal, bahwa negara memang tidak bisa mengatur hubungan privat.

Ide kriminalisasi PSK termasuk pelanggannya ini nggak bermanfaat untuk negara. Malah menghambat negara melakukan pekerjaan lainnya yang lebih penting.

PSK dan pelanggannya adalah populasi kunci penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia. Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV-AIDS.

Kebijakan tersebut menjelaskan bahwa salah satu prinsip penaggulangan HIV-AIDS melibatkan peran aktif populasi kunci. Pencegahan penyebaran HIV bisa dilakukan dengan menciptakan tatanan sosial di lingkungan populasi kunci yang kondusif.

Pasal 51 Permenkes juga menjelaskan bahwa masyarakat berperan dalam mencegah terjadinya stigma dan diskrimasi terhadap komunitas PSK dan pelanngannya. Jadi, menghadirkan proposal kriminalisasi bagi PSK maupun pelanggannya hanya akan memberikan dampak buruk pada penanggulangan HIV-AIDS.

Populasi kunci tersebut akan dipukul mundur, mejadi undergroud. Mereka tidak akan mendapat layanan negara. Bahkan, di jangka panjang, akan ketakutan mengakses layanan kesehatan, termasuk alat pengaman. Perilaku berisiko justru sulit untuk dicegah.

Kemudian ada ide baru untuk mengkriminalisasi pelanggan PSK. Hal ini dikenal dengan istilah swedish model atau nordic model. Sayangnya, model ini juga diperdebatkan.

Model ini diterapkan di Norwegia, Islandia, Prancis, Irlandia, Irlandi Utara, dan Kanada. Dalam implementasinya di Swedia, yang menjadi objek supervisi oleh aparat penegak hukum adalah PSK itu sendiri. Polisi memantau PSK untuk menangkap “para pembeli”, yang justru sering melanggar hak atas privasi PSK.

Dalam proses hukum yang terjadi, PSK justru sering dipojokkan. Mereka harus datang ke pengadilan dan rentan kehilangan hak atas privasi. di Prancis, survei terhadap PSK menyatakan kriminalisasi atas pelanggan berdampak negatif terhadap kemampuan PSK untuk bernegosiasi dan akhirnya mempersempit ruang aman bagi mereka. Sebuah penelitian yang meninjau 27 negara menemukan bahwa negara yang melegalkan beberapa aspek terkait dengan PSK berhasil menurunkan prevalensi HIV (A.Reeves,et.al, 2017).

Keberadaan prostitusi harus mampu direspons oleh pemerintah dengan pendekatan yang tepat. Khususnya terhadap PSK dan pelanggannya sebagai populasi kunci HIV. Husak (2013) menyebutkan kecenderungan negara untuk melakukan kriminalisasi berlebihan harus dibatasi. Suatu peraturan pemidanaan baru bisa disebut memenuhi unsur sebagai hukum pidana jika negara membentuknya secara rasional dan berbasis data. Hal ini menandakan penting melihat kepentingan negara pada aspek ilmu pengetahuan.

Indonesia memiliki komitmen dalam program Pencegahan dan Pengendalian HIV-AIDS dan PIMS untuk tahun 2020-2024. Tiga di antara tujuan lima program yang ada adalah menurunkan infeksi baru HIV, meniadakan diskriminasi terhadap ODHA, dan menurunkan infeksi baru sifilis. Hal tersebut dilakukan salah satunya menjangkau populasi beresiko, yaitu PSK dan pelanggannya.

BACA JUGA Kupu-Kupu Malam dan Fakta-fakta Lainnya dan ulusan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Maidina Rahmawati

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version