Kreativitas Gus Nur dan Fenomena Penceramah Modal Nekat

MOJOK.CO – Hampir semua umat muslim di Indonesia “kagum” sama keberanian salah satu penceramah yang lagi kondang belakangan ini. Panggil saja Sugik Nur alias Gus Nur.

Hidup dalam kemajemukan sebuah bangsa terkadang menuntut saya untuk nggak gumuman melihat segala perbedaan. Sebuah keniscayaan bahwa perbedaan itu ada pada setiap inci kehidupan di dunia.

Namun, saya nggak bisa kalau nggak gumun sama salah satu penceramah yang satu ini. Panggil saja Sugik Nur alias Gus Nur alias Cak Nur. Hedeh, kebanyakan alias sekalian aja deh beliin pensil, biar jadi pensil alias, eh, alis.

Sepak terjang Gus Nur akhir-akhir ini memang semakin menghebohkan khalayak ramai dan umat Islam wabil khusus di Indonesia. Lantaran sebuah insiden persekusi yang dialami seseorang bernama Ahmad Muzani, Ketua Rijalul Ansor Deli Serdang dalam acara yang mengundang Gus Nur sebagai pembicara.

Dirinya diseret-seret oleh laskar Gus Nur saat hendak bertanya tentang, “Apa kaidah fiqh yang bisa dijadikan landasan untuk menyesatkan istilah Islam Nusantara?”

Yak, kurang lebih seperti itu, Kisanak. Kalau kurang tambahin, kalau lebih bagi-bagi dong.

Harus diakui, kalau kamu juga sempet nonton ceramah Gus Nur ini isi dari ceramahannya udah kayak orang mau ngajak berantem gitu. Misuh-misuh dan kadang pakai kata-kata kasar. Atau mungkin saya aja yang melankolis sehingga omongannya terasa seperti menyayat-nyayat gitu ya? Haduh, maaf guys, eh, Gus.

Bukan hanya kejadian persekusi yang menurut saya cukup membuat orang bisa terkaget-kaget. Isi ceramahnya saat itu cukup mencengangkan. Beliau mengaku sendiri bahwa dulu adalah mantan preman dan nggak ngerti kitab-kitab yang menjadi rujukan ulama-ulama kita.

Kurang lebih kayak gini nih kata-katanya, “Saya mantan maling, mantan bajingan dan tidak ngerti kitab, mau kitab kuning, kitab gundul, kitab item, emang gue pikirin!”

Hm, saya sih nggak mempermasalahkan masa lalu beliau sebagai mantan preman. Soalnya dulu Kanjeng Sunan Kalijaga aja, kata Pak Kiai saya, juga mantan garong. Lalu Sunan Kalijaga tobat dan akhirnya menjadi wali. Nah, mungkin Gus Nur ini juga merasa dikasih hidayah yang sama. Mungkin.

Oke, tapi di sisi lain sebagai muslim yang masih bodoh dan masih sering buka-buka kitab untuk cari referensi karena nggak hafal, saya dipesan sama nyokap dan bokap sih buat belajar agama sama yang kemampuan agamanya mumpuni.

Lah, kalo saya mau ngaji kitab, terus gurunya nggak mudeng, siapa yang mau dirujuk omongannya?

Buat urusan ngaji sih kita nggak boleh salah pilih. Perlu seorang ‘alim yang paham betul. Kalau salah pilih, nanti bukannya diajari ngaji malah diajari cara membudidaya celaan dengan baik dan benar. Ya, kan berabe, Broh.

Tapi tak berhenti sampai di situ. Dalam ceramahnya saat itu, Gus Nur menyinggung juga soal cebong-cebongan. Hal yang kemudian bikin seorang ibu pecinta cebong memberi teguran supaya tidak membawa-bawa nama hewan sebagai bagian dari bahan ceramahan.

Saya paham sama ibu yang satu ini. Maksudnya mungkin biar para cebong yang tinggal di sekitar daerah situ nggak tiba-tiba dateng terus ngeroyok Gus Nur pas denger namanya disebut-sebut. Tapi, saya yakin nggak bakalan kejadian deh sampe kayak gitu. Lagian cebong sama Gus Nur juga gedean Gus Nur kok, mana mungkin berani.

Namun bukan Gus Nur kalau nggak bisa jawab interupsi begituan, akhirnya Gus yang bercahaya (Nur) ini meminta emak-emak dan semua jamaah di depannya membaca surat dalam Al-Quran yaitu surah Al-Isra’ ayat 176.

FYI, aja ya guys. Mendengar itu saya jadi penasaran dong. Saya bolak-balik Al-Quran. Ya kali aja pengetahuan saya salah selama ini. Siapa tahu Gus Nur nih sudah dapat hidayah model baru atau bagaimana.

Lha gimana, ayat pada surat Al-Isra’ mentok cuma sampe 111, sedangkan Gus Nur nyebut sampai ayat 176. Ebuset, keblabasan 65 ayat sendiri lho.

Haduh, mbokya kalau Pak Ustaz mau bercanda begitu jangan pakai Al-Quran deh. Gus Nur apa ya nggak belajar dari kasus Ahok apa yak? Yang bilang “jangan mau dibohongi pakai surat Al-Maidah” bisa didemo berjuta-juta orang dan dipenjara lebih dari setahun.

Lah ini? Dengan kesadaran penuh menambah jumlah ayat dalam Al-Quran untuk cari landasan jawaban ke jamaahnya. Haduuuh, kalau mau jadi orang kreatif mbokya jangan kebangetan lah, Gus. Apalagi forumnya ini ceramah bukan diskusi di angkringan.

Namun, dari insiden ini ada beberapa hal yang bisa menjadi perenungan kita bersama. Ya, biar keliatan belajar dari kesalahan aja sih. Biar semua kelihatan ada hikmahnya gitu lah.

Pertama, seseorang bisa berubah dari Zero to Hero. Seperti kata Gus Nur bahwa dirinya dulunya adalah maling yang memilih jalan hidup kurang baik untuk menyambung hidup. Namun kini beliau justru menjadi penceramah yang kondang. Nggak hanya dalam menyebarkan kebaikan tapi juga membuat orang geregetan. Paket komplit udah.

Hal itu memotivasi saya untuk sadar bahwa segala sesuatu pada diri juga bisa berubah. Cita-cita yang dipandang nggak mungkin diraih bisa saja menghampiri di waktu yang tepat karena suatu hal. Nggak ada yang nggak mungkin. Asalkan mau berusaha, man jadda wajada.

Nggak ngerti kitab kuning, nggak hapal jumlah ayat dalam Al-Quran, tapi bisa jadi penceramah di mana-mana. Itu kalau bukan karena man jadda wajada ya nggak mungkin bisa lah.

Jadi sudah pasti ini, fenomena kayak Gus Mut yang dari antah berantah terus jadi dikenal sebagai penceramah kondang ini hanyalah soal siapa yang kuat modal nekat aja. Nggak ada lagi yang lain. Istilah kerennya: wani perih.

Kedua, ketika merasa kurang bisa dalam suatu hal. Patutlah kita mencari solusi pada orang yang paham. Meminta penjelasan pada yang lebih pintar atau tahu itu nggak termasuk perbuatan yang haram kok. Apalagi niatnya baik buat kebaikan banyak orang.

Ingat ya, pada yang paham, Vroh, bukan pada orang yang kreatif nambah-nambahin jumlah ayat.

Ketiga, kita perlu menjaga mulut. Ada pepatah bahwa “mulutmu adalah harimaumu”. Apalagi kalau mulut itu mulut yang dikenal orang banyak. Kalau bisa sih diiket yang kenceng pakai rantai biar nggak lari ke mana-mana. Dari sini pula saya kemudian paham manfaat lain behel bagi kehidupan manusia.

Keempat, perlunya mencintai binatang tanpa terkecuali yang unyu-unyu kayak cebong atau kampret.

Kita dan binatang adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Mereka punya hak yang sama meski nggak sesempurna manusia. Karena itu kita yang punya akal pikiran mboknya nggak mempolitisasi mereka.

Udah agama kita politisasi, suku kita politisasi, sejarah kita politisasi, survei kita politisasi, masa iya sampai hewan cebong dan kampret ikut-kutan kita politisasi juga. Toh mereka juga berhak hidup tenang dengan ekosistemnya masing-masing. Jangan kita egois memasukkan mereka ke ekosistem Pilpres kayak sekarang. Nggak baik buat keseimbangan alam. Yakin dah.

Udah deh, jadi muslim yang baik nggak perlu main senggol cebong atau kampret. Apalagi menebar kebencian dan kreativitas bohong di depan umat. Apalagi dilakukan pakai dalil-dalil agama.

Ayolah, cukup teguhkan tauhid dan menjalankan perintah-Nya. Nggak perlu dikit-dikit ngomong kopir-kapir atau orang lain disebut munafik. Apalagi menyerang sampai maki-maki mereka yang beda pilihan politiknya.

Ingat, perbedaan itu indah. Semakin indah kalo kalimat itu keluar dari mulutnya Gus Nur. Ya nggak, Gus?

Exit mobile version