Konser Guns N’ Roses yang Tidak Semenarik Konser New Palapa

MOJOK.CO – Penonton konser Guns N’ Roses sibuk dengan hapenya masing-masing. Sepertinya konser New Palapa jauh lebih dahsyat. Bayangkan, seorang Nella Kharisma mampu membuat penontonnya saling menggendong dan bergerak mengiringi hentakan gendang.

Bayangan kita tentang seorang bule gondrong bermain gitar di halaman gereja yang kering masih kuat di sela-sela selaput pikiran kita. Kala itu, sekitar tahun 1992. Sekumpulan anak muda gondrong dari Amerika Serikat memang sudah tenar sebelum itu. Lagu yang dikasih judul November Rain itu adalah single yang terdapat dalam album Use Your Illusion I yang disebar sekitar tahun 1991.

Orkes rock dengan identitas pistol dan mawar merah mulai menuliskan lagu ini sejak tahun 1983. Bukan hanya durasi pengerjaannya yang panjang, lagu tersebut juga jika diputar dan didengarkan secara utuh, memerlukan waktu sedikitnya sembilan menit.

Single fenomenal ini berhasil menempati urutan ketiga di tangga lagu Billboard Hot 100. Bahkan, lagu ini juga didaulat sebagai lagu terpanjang ketiga yang berhasil menduduki tangga lagu internasional.

Tak berhenti di situ. Semenjak diunggah di YouTube, sekitar tanggal 25 Desember 2009, video lagu ini sudah ditonton lebih dari satu miliar kali. Salah duanya mungkin saya dan kamu. Trus? Kenapa?

Orang paling depan dalam formasi Guns n Roses ini, Mas Axl Rose, hampir selalu dicecar dengan berita dan gosip yang biasanya dikonsumsi oleh ibu-ibu berdaster. Misalnya saja tentang hubungan khususnya dengan Mbak Lana Del Rey.

Tahun 2012 silam, suatu malam, mereka baru saja keluar dari Chateau Marmont, sebuah rumah makan di Los Angeles, Amerika Serikat. Mungkin karena mereka habis makan konro, coto, atau pallubasa, sehingga saat ditanya seorang wartawan dari salah satu media, kolesterol Mas Axl naik dan menjadi emosi. Asal jawab. Padahal pertanyaan mas wartawan tersebut hanya sederhana, “Mas Axl, nganu. Ehm… Kira-kira ada rencana buat konser reuni sambil tur semua anggota orkes musik Guns N’ Roses dalam waktu dekat ini, nggak? Yah, main di pensi, kek. Atau acara konser buat memeriahkan peringatan ulang tahun kota Polewali Mandar, mungkin?”

Saat itu, Mas Axl langsung menjawabnya dengan sengak, “Enggak! Enggak mungkin! Sepanjang umur hidup guweh, nggak bakalan ada konser reuni macam itu.” Kalau dalam bahasa Inggrisnya: “Not in this lifetime”.

Entah kemampuan sihir apa yang dimiliki wartawan tersebut, atau memang karena Axl punya mulut bertuah semacam cocot kencono, namun yang jelas, empat tahun kemudian, tepatnya 1 April 2016, Guns N’ Roses mengumumkan akan mengadakan tur selama dua minggu di 20 kota di Amerika Serikat dengan tajuk Not in this Lifetime!

Nah, di tahun 2018 ini, Guns N’ Roses kembali menginjakkan kakinya di bumi Indonesia. Sebelumnya, mereka tampil terakhir kali di Indonesia pada tahun 2012. Saat itu mereka tampil bukan dalam formasi klasik mereka. Slash, Izzy Stradlin, Duff McKagan, dan Steve Adler tidak hadir mendampingi Axl. Entah karena mereka ketinggalan pesawat, karena mengambil rapor anak-anak mereka, atau karena memang tidak ikut bergabung, yang jelas, mereka tidak tampak batang hidungnya di atas panggung.

Kebetulan, saat itu, saya juga pas nggak bisa hadir. Jadi saya tak tahu banyak apa yang terjadi dalam konser enam tahun lalu itu.

Tapi, kamis malam kemarin, tanggal 9 November 2018, alhamdulillah saya bisa hadir. Itupun karena tiket seorang teman yang berkelebihan satu, jadi saya bisa masuk. Itu menjadi kali pertama bagi saya bisa menyaksikan konser musik di dalam Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.

Malam itu, formasi kelompok musik ini bisa dikatakan lebih lengkap. Reunian. Axl Rose (vokal, piano), Duff McKagan (bass), Slash (gitar utama), Dizzy Reed (keyboard), Richard Fortus (gitar ritme), Frank Ferrer (drum), dan Melissa Reese (keyboard) hadir untuk menghibur penonton yang rata-rata berbaju hitam di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.

Dengan sebuah keberuntungan, akhirnya saya dapat duduk di barisan penonton di tribun tertutup, bukan berdiri di depan panggung. Nah, yang bikin saya agak bingung, setelah diperiksa halaman resmi penjualan tiket online, harga tiket saya—yang duduk manis ini, jauh lebih murah dibanding mereka yang harus berdiri di depan panggung.

Aneh. Ada orang yang mau membayar jauh lebih mahal dan susah payah nonton konser sambil berdiri. Padahal ya, sama saja. Axl Rose tidak mungkin turun dan menyalami satu-satu penonton di sekitar panggung. Lagian, dari tempat duduk saya yang berjarak jauh saja, ketombe di rambut Slash juga masih kelihatan—dari layar besar.

Malam itu, dari contekan yang bertebaran, Guns N’ Roses bakal membawakan sekitar 27 lagu dan ada 3 melodi lainnya yang dimainkan oleh Slash yang diambil dari beberapa lagu atau irama orang lain.

Dalam daftar lagu yang bakal dimainkan tersebut, tentu saja tembang lawas semacam Don’t Cry, Welcome to the Jungle, Live and Let Die, You Could be Mine, atau Sweet Child O’ Mine dimainkan. Untuk penggemar Guns N’ Roses yang usianya di atas 30 tahun, siapa yang tidak mengenal lagu-lagu ini.

Lagu lainnya yang terdapat dalam daftar tersebut justru lagu yang tidak begitu akrab di telinga dan dikeluarkan setelah kelompok musik ini kocar-kacir. Mungkin kekeliruannya ada pada pihak manajemen. Seharusnya, sebelum datang ke Indonesia, mereka perlu melakukan penelitian terlebih dahulu: lagu-lagu seperti apa yang paling digandrungi masyarakat Indonesia dari album-album mereka.

Jika mereka melakukan hal tersebut, tentu kejadian seperti malam kemarin di GBK tidak akan muncul. Mereka ini harusnya memahami bahwa penikmat mereka saat ini rata-rata berusia 30 tahun dengan tingkat kemapanan yang kembang kempis. Mereka yang kesampaian nonton langsung Guns N’ Roses di Indonesia pun hanya sebagian kecil dari golongan tersebut yang bisa merogoh kantongnya lebih dalam supaya bisa menghadiri konser musik kelompok musik yang cadas ini. Sementara itu, sebagian besar lainnya, hanya sanggup menikmati dan mengenal lagu-lagu mereka yang diputar di media.

Seperti orang yang duduk di samping saya: seorang lelaki yang terlihat lebih kaya dan lebih tua dari saya. Sebelum konser dimulai, ia bercerita tentang perjalanannya di Australia. Bisnis kapal ikannya yang hanya untuk biaya solar sekali berlayar saja menghabiskan lebih dari 500 juta rupiah. Ia seperti selalu mengeluh setiap kesempatan. Katanya, ia merinding mendengarkan suara gitar Slash dalam beberapa hari belakangan.

Selain itu, ia juga sibuk mengabarkan ke teman-temannya melalui media sosial bahwa ia sedang menonton langsung Axl dan kawan-kawan di GBK. Setiap kali lagu Guns N’ Roses mulai dimainkan, telepon genggam berkameranya langsung diarahkan ke panggung untuk merekam dan lampu flash-nya juga turut dinyalakan—padahal, jarak kami dengan panggung sungguh jauh. Sambil meneriakkan judul lagu tersebut, dia mulai menyanyikannya dengan lantang, dengan suaranya yang sangat pas-pasan dan tatapan yang selalu tertuju ke layar telepon genggamnya.

Hampir sebagian besar penonton di malam itu, demikian. Sehingga, ketika lampu utama diredupkan, bias sinar dari layar telepon genggam menjadi terlihat jelas. Semuanya seakan sibuk mengarahkan kamera telepon genggam ke panggung utama, untuk memenuhi kapasitas penyimpanan data perangkat telepon genggam mereka dengan rekaman sebuah pertunjukan musik.

Ini adalah hal yang membuat saya sangat terganggu. Entah apa yang sebetulnya terjadi. Maksud saya begini, ini kan pertunjukan musik, Guns N’ Roses lagi. Pelantun irama-irama cadas yang menghentak. Namun penontonnya justru hanya berdiri kaku dengan tatapan yang fokus ke layar telepon genggam masing-masing, sambil mencoba menyanyikan lirik yang mereka ketahui. Di antara kerumunan orang-orang yang berdiri tersebut, dapat dihitung dengan jari yang berjingkrak-jingkrak dan sesekali mengepalkan tangan ke angkasa.

Saya bergumam dalam hati. Melihat hal ini, rasa-rasanya New Palapa jauh lebih dahsyat dibanding Guns N’ Roses. Bayangkan saja, seorang Nella Kharisma mampu membuat orang-orang di sekitar Pantura saling menggendong dan bergerak mengiringi hentakan gendang.

Nama besar orkes bertampang Amerika itu tidak dapat dibandingkan dengan sebuah orkes pinggir jalan bertampang Boyolali untuk menggalang irama dan memengaruhi massanya. Belum lagi ketika mendengarkan Axl Rose di usianya yang mulai mengendur dan keriput, sehingga terkadang susah mengikuti lengkingan alunan musik, dan terdengar seperti dibantu dengan sokongan alat pembantu pelengking suara.

Tidak berselang lama, November Rain pun diperdendangkan. Kemudian, setelah lagu tersebut selesai dinyanyikan, orang-orang berbondong keluar stadion kebanggaan Indonesia ini.

Termasuk saya.

Saya memesan ojek online setelah itu. Di atas sadel belakang sepeda motornya yang mulai terkelupas di beberapa bagian, bapak Gojek tersebut bertanya, “Itu GNR ya, Pak? Lagunya bahasa Inggris semua dong?”

Saya jawab, “Kayaknya sih, Pak. Kalau Nasida Ria, pasti lagunya berbahasa seperti kita,” yang membuat kami berdua tertawa kecil menembus riuh kendaraan.

“Masih bisa balik ke sana sebentar, Pak, kalau mau. Soalnya konsernya belum selesai,” kata saya.

“Saya langsung pulang ke Tangerang aja, Pak. Kayaknya sepi penontonnya.”

“Iya kayaknya, Pak.”

“Tadi teman saya di grup WhatsApp memang ngasih kabar kalau ada konser music di GBK. Katanya, sih, band rock. Tapi karena mainnya malam Jumat, saya pikir malah grup kasidahan.”

Exit mobile version