Permintaan Maaf Kapolda Sumsel Terkait Donasi 2 Triliun Seharusnya Memancing Pejabat-Pejabat Lain untuk Ikut Meminta Maaf

meminta maaf

MOJOK.COMeminta maaf menjadi barang yang amat mahal bagi para pejabat pemerintah yang gagal menangani pandemi Covid-19.

Polemik terkait sumbangan 2 triliun rupiah dari keluarga Akidi Tio pada akhirnya memang membesar menjadi kegaduhan publik yang luar biasa. “Prank” tersebut bahkan sempat disandingkan dengan aneka prank besar yang terjadi di setiap masa pemerintah presiden-presiden sebelumnya, dari Soekarno sampai SBY.

Pihak keluarga Akidi Tio pun sempat dipanggil oleh pihak kepolisian untuk menjelaskan terkait donasi 2 triliun yang rencananya akan digunakan untuk membantu penanganan Covid-19 di Palembang tersebut. Sampai saat ini, keberadaan uang 2 triliun tersebut juga masih belum jelas. Tak berlebihan jika publik kemudian menganggap donasi tersebut sebagai donasi bodong.

Kapolda Sumatera Selatan, Irjen Eko Indra Heri merasa bertanggung-jawab dan kemudian meminta maaf kepada publik. Ia yang, secara langsung ikut terlibat dalam acara seremonial pemberian donasi tersebut merasa menanggung beban moral untuk meredakan polemik tersebut.

“Secara pribadi saya mohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia. Khususnya jelas kepada bapak Kapolri, pejabat utama Mabes Polri, anggota Polri se-Indonesia dan masyarakat Sumatera Selatan,” terang Eko dalam konferensi pers yang digelar di kantor Polda Sumsel yang digelar pada Kamis, 5 Agustus 2021.

Eko merupakan pihak yang sempat dihubungi oleh Kepala Dinas Kesehatan Sumsel Lesty Nurainy dan dokter pribadi keluarga Akidi Tio, Hardi Darmawan terkait rencana donasi tersebut.

Eko pun mengaku salah dan meminta maaf karena ia tidak teliti dengan donasi tersebut.

“Ini terjadi karena ketidakhatihatian saya karena percaya dengan pemberian bantuan tanpa mengecek uang yang dijanjikan dulu sebelumnya.”

Dalam polemik donasi 2 triliun ini, tentu saja secara teknis Eko tidak salah-salah amat, sebab sebagai pemimpin institusi kepolisian, memang sudah menjadi tugasnya jika ia dipercaya untuk ikut mengawal proses pemberian donasi yang diperuntukkan untuk masyarakat di wilayah kerjanya. Kalau kemudian donasi tersebut ternyata adalah donasi bodong, maka itu tentu di luar kendali dirinya.

Kesalahan yang nggak salah-salah amat itu memang menjadi besar sebab atensi publik atas donasi tersebut sudah kadung menyebar. Lha gimana, di masa seperti ini, siapa yang tak tertarik dengan berita donasi uang sebesar 2 triliun. Sekali lagi, 2 triliun, bukan 2 miliar. Itu uang kalau dibelikan santan Kara, satu Indonesia putih semua.

Jika kemudian Eko meminta maaf atas kesalahan “moralnya” itu, maka sudah sepantasnya permintaan itu diapresiasi. Setidaknya hal tersebut bisa menjadi bentuk tanggung-jawab yang selemah-lemahnya iman.

Momentum pejabat meminta maaf, utamanya terkait dengan sengkarut pandemi Covid-19 memang sangat jarang. Meminta maaf menjadi perkara yang amat sulit dan berat untuk dilakukan. Jangankan meminta maaf, bahkan sekadar mengakui kesalahan pun belum tentu bisa.

Kapolda Sumsel, terlepas dari kesalahannya dalam polemik donasi Covid-19, rasanya tengah menunjukkan model keteladanan yang penting. Keteladanan yang seharusnya juga ditiru oleh para pejabat yang telah bersalah karena gagal dalam menangani pandemi Covid-19 yang telah menelan banyak korban jiwa.

Sosiolog bencana di Nanyang University Singapura, Sulfikar Amir kepada Tirto pernah mengatakan bahwa permintaan maaf dari pejabat, apalagi pemimpin negara, merupakan bentuk empati paling dasar dari negara kepada rakyat yang sudah kehilangan anggota keluarga karena Covid-19.

Sudah banyak pemimpin negara yang meminta maaf karena kegagalannya dalam menangani pandemi Covid-19, dari Perdana Manteri Australia Scott Morrison, Presiden Israel Reuven Rivlin, Kanselir Jerman Angela Markel, Perdana Manteri Inggris Boris Johnson, Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga, bahkan sampai Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.

Berdasarkan penelitian oleh peneliti studi perilaku dari Universitas Ben-Gurion Negev juga menyatakan bahwa permintaan maaf jauh lebih efektif untuk menyelesaikan masalah ketimbang tidak meminta maaf.

Itulah kenapa, kita layak mengapresiasi permintaan maaf dari Eko. Setidaknya hal tersebut bisa memberikan pengharapan bahwa akan ada pemimpin-pemimpin berikutnya yang berani meminta maaf atas kesalahannya namun masih tidak merasa bersalah.

Memang rasanya agak mustahil membuat para pemimpin dan pejabat untuk beramai-ramai meminta maaf, namun siapa tahu, kalau sudah ada contohnya, para pejabat dan pemimpin itu jadi tidak canggung dan merasa malu untuk meminta maaf. Pejabat kan memang sukanya begitu, beraninya ramai-ramai.

Sekarang Kapolda, siapa tahu besok menteri, atau pejabat yang dulu sempat bercanda soal Covid-19, atau pejabat yang tidak konsisten menerapkan hukuman mati terhadap koruptor bansos, atau pejabat yang malah mereview sinetron ketika banyak masyarakat kelaparan. Nah, kalau itu semua sudah, tinggal nunggu presiden, deh. Lak yo begitu.


BACA JUGA Dianggap Konyol atau Tidak, Aksi Protes Dinar Candy Memakai Bikini Adalah Peringatan Besar bagi Pemerintah dan artikel AGUS MULYADI lainnya. 

Exit mobile version