Gimana kalau Cinta Sejati Baru Ditemukan Justru setelah Menikah?

Zara, Posting Video Pribadi Emang Hak Kamu, tapi Hak Itu Nggak Bebas Konsekuensi perempuan edgy kalis mardiasih mojok.co

Akhir-akhir ini banyak orang di Twitter melempar pertanyaan: Buat kalian yang sudah menikah, gimana caranya kalian tahu kalau he or she’s the one?

Maksudnya, gimana caranya kalian tahu kalau orang yang kalian nikahi itu adalah satu-satunya kayak lagu Dewa 19 gitu, lho.

Trus, baru kemarin banget juga ada orang ngetwit lagi: Kalau seandainya kalian bertemu tulang rusuk atau soulmate kamu setelah menikah, what would you do?

Maksudnya, gimana kalau ternyata orang yang kamu nikahi adalah pilihan salah, yang kamu telat nyadarnya. Terus, ketemu orang yang benernya itu telat.

Ini maksudnya kayak adegan pembuka di film Kabhi Alvida Na Kehna gitu kali. Rani Mukerji yang udah pakai baju pengantin tiba-tiba kabur dulu ke belakang gedung ijab qobul terus ketemu Shah Rukh Khan. 

Di situ, Rani nanya ke Shah Rukh Khan, “Gimana kalau kita nemu cinta sejati justru setelah pernikahan?”

Kalau di film itu sih, jawaban Shah Rukh Khan adalah, “Kamu nggak akan menemukannya kalau nggak mencarinya.”

Alias, menemukan orang lain setelah kamu menikah itu bukan sesuatu yang coincidence. Kamu pasti niat, dan setelah itu ada usaha buat mencarinya.

Saya… setuju sih. Soalnya saya nggak bisa bilang nggak sama Shah Rukh Khan.

Kalau dalam Islam sih rumusnya simpel. Seseorang yang menikah dengan kita, itulah jodoh kita. Terkadang kita menganggapnya sebuah kebetulan untuk berjodoh dengan seseorang. 

Tapi kata Prof Quraish Shihab dalam buku Pengantin Al-Quran, “Kebetulan adalah pandangan/ucapan siapa yang tidak mengetahui, sedang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu; sebelum, pada saat, dan sesudah setiap kejadian, besar atau kecil. Pengaturan Allah sudah selalu sesuai dengan ilmu-Nya Allah.”

Jadi, kenapa ada jodoh yang kemudian bercerai? Ya karena jodoh ternyata tak harus sehidup semati. Ada jodoh yang memang tak langgeng, mesti berpisah demi kebaikan, agar bisa mendapat jodoh baru yang lebih membawa kebaikan dalam fase hidup yang selanjutnya.

Tapi, begini. Saya pernah ada dalam dua posisi itu, baik merasa nggak yakin dengan seseorang dan merasa yakin dengan seseorang. Perasaan yakin yang terakhir, setidaknya membuat saya akhirnya menikah dengan suami saya yang sekarang. 

Setelah membandingkan dua perasaan tersebut, saya sampai pada kesimpulan bahwa seperti keputusan-keputusan lain yang kamu ambil dalam hidup, keputusanmu untuk memilih seseorang sesungguhnya sangat bisa dirasionalisasi.

Saat pernah merasa tidak yakin dengan seseorang, dalam diri saya timbul banyak kecemasan. Saya cemas akan hari-hari yang akan datang. Saya cemas jika dia tidak menyetujui banyak pilihan yang saya ambil. 

Saya cemas jika pilihan-pilihan saya digugat. Saya cemas jika dia dapat melakukan agresi untuk menyetop pikiran-pikiran saya dan menggagalkan pilihan-pilihan saya.

Saat itu, kecemasan saya bukan asumsi. Dalam banyak waktu, saya berusaha keras untuk mengkomunikasikan hal tersebut. Biar lebih jelas, saya coba beri contoh usaha untuk mengubah asumsi menjadi fakta itu.

Situasi 1: saya diterima sebagai editor di sebuah penerbitan buku agama yang tokoh ulamanya kontroversial. 

Lalu, saya bertanya kepadanya, “Bolehkah saya mengambil pekerjaan itu? Lokasi kantornya di Pondok Cabe. Tidak terlalu jauh dari rumah tinggal yang kita rencanakan. Saya niatkan pekerjaan ini untuk belajar. Jika tak nyaman, saya akan keluar.”

Dia tidak menjawab.

Situasi 2: saya sedang ada dalam kondisi writers’ block padahal tenggat pekerjaan semakin dekat. Saya mengeluh kepadanya, “Aduh… nulis apa lagi ya, pusing banget, huhu.”

Dia lalu menjawab, “Udahlah nggak usah nulis mulu. Toh nanti yang cari nafkah juga aku.”

Belakangan, saya belajar kalau jawaban dia yang terakhir itu namanya gaslight

Saya sedang pusing, saya lelah dan mengeluhkan pekerjaan. Tapi, kondisi dan perasaan saya itu tidak divalidasi dan justru dijawab dengan masculinity complex dari dirinya.

Ketidakjelasan demi ketidakjelasan itulah yang membentuk kecemasan saya, yang kemudian berujung kepada perasaan tidak yakin dan berkeputusan untuk meninggalkannya.

Saat berusaha mengenal pasangan saya yang sekarang, ternyata situasi mencekam seperti di atas tidak pernah terjadi.

Saya menyampaikan keinginan-keinginan saya, dia bersedia untuk mendukung.

Saya menyampaikan bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu, dia menyatakan bahwa dia tidak keberatan.

Clear. Terjawab.

Tentu saja tak selalu mudah. Saya beri contoh yang tak mudah itu juga agar berimbang.

Situasi: pasangan saya mulai mencemaskan pekerjaan saya yang berpindah-pindah kota dalam waktu yang berminggu-minggu. Ia cemas, bagaimana jika kelak sudah menikah, kami akan kekurangan waktu untuk bersama-sama.

Dia bahkan bilang, saya bukan laki-laki yang cukup siap untuk ditinggal istri LDR bertahun-tahun untuk studi di luar negeri.

Kami mendiskusikan masalah tersebut. Sampai akhirnya, menyepakati sebuah solusi, yakni setiap kali keluar kota, batas waktu pergi adalah satu minggu. Setelah satu minggu, saya mesti pulang dulu minimal dua hari. Setelah ada di rumah sejenak, saya boleh pergi untuk pekerjaan yang selanjutnya.

Apakah kesepakatan itu terlaksana? Kenyataannya tak selalu tepat. Setelah menikah, terkadang saya tetap memfasilitasi pelatihan di luar Jawa lebih dari satu minggu. 

Dan ternyata, pasangan saya juga kini lebih gembira ketika saya sedang pergi, karena artinya ia bisa jajan bebek goreng kesukaannya. Masalahnya, kalau ada saya, dia susah jajan karena saya bilang jangan boros-boros.

Namun setidaknya, untuk saat itu, kesepakatan-kesepakatan yang selalu punya jawaban membuat saya yakin untuk punya keputusan. Komunikasi efektif pada masa perkenalan dengan calon pasangan dapat meminimalisasi kecemasan yang hadir sebelum pernikahan.

Modal penting untuk menambah keyakinan adalah menyampaikan prinsip atau nilai yang kamu hormati kepadanya untuk mencari tahu apakah ia bisa menerima nilai tersebut. 

Saya, misalnya, menyampaikan kepadanya perihal nilai kesetaraan manusia yang saya yakini. Saya menyampaikan bahwa saya tidak bisa menerima pandangan atau sikap diskriminasi atas nama agama, abilitas, kelas sosial maupun gender.

Dia menerima. Dan bersepakat untuk saling belajar bersama jika ada hal yang tak cukup kami mengerti.

Di hadapan penghulu dan wali, saya menikah dengan perasaan yakin. Tak ada keraguan atau kecemasan seperti Rani Mukerji pada film Kabhi Alvida Na Kehna. Meski begitu, tentu saja perasaan yakin itu tetap saya hantarkan dengan doa serta tekad untuk selalu merawat hubungan pernikahan ini dengan sebaik-baiknya.

Jadi, seberapa yakin kamu dengan pasanganmu yang sekarang?


Kamu bisa baca kolom Kelas-Kalis lainnya di sini. Rutin diisi oleh Kalis Mardiasih, tayang saban hari Minggu.

Exit mobile version