MOJOK.CO – Seruan akan ciri-ciri masjid sunnah menyebar. Pertanyaannya: kalau tidak masuk kategori itu terus gimana? Jadi masjid makruh?
Gara-gara melihat sebuah campaign (kalau bisa disebut demikian) tentang “Ciri-Ciri Masjid Sunnah” yang cukup banyak menyebar di media sosial, saya jadi teringat kisah seorang Arab Badui yang kedapatan kencing di masjid Nabi.
Ya, sekali lagi, kencing di Masjid Nabi.
Tentu saja para sahabat sempat dibikin berang. Sayyidina Umar bahkan sudah hampir menghunus pedangnya. Untung, Nabi Muhammad mencegahnya. Orang badui itu dibiarkan Nabi sampai benar-benar purna membuang hajatnya.
Para sahabat pun terpaksa bergeming di tempatnya masing-masing. Wajar kalau mereka menggerutu. Ini masjid. Kehormatan mereka sebagai orang Islam tentu terjun ke jurang Palung Mariana yang terdalam.
Tapi ya gimana, Nabi sendiri yang bilang bahwa, “Biarkanlah ia, dan siramkanlah di atas air kencingnya satu timba air atau seember air, karena sungguh kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus memberikan kesulitan.” (H.R. Bukhari)
Sikap Nabi SAW yang membiarkan orang kencing di masjid itu jelas bukan tanpa alasan. Buktinya, orang yang bersangkutan tetap diajak bicara oleh Nabi, lalu diberi pengertian, dan tersadar bahwa ia memang telah salah tempat kencing.
Masalahnya, hari ini, jangankan “mengencingi” masjid, tasbih atau bersalaman di masjid pun sekarang bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang lebih buruk dari itu. Setidaknya itu kesan yang saya dapat ketika menyaksikan kampanye ciri-ciri masjid sunnah seperti di bawah ini.
Melihat itu, saya rasa ciri-ciri masjid sunnah telah mengalami degradasi identitas dan bahkan secara ironi direduksi menjadi masjid yang “tidak-tidak”. Tidak boleh ini. Tidak boleh itu.
Betapa horornya rumah ibadah yang sedikit-sedikit kok nggak boleh. Wong abis salat ngecek hengpon saja boleh kok. Mau ngeceknya sambil salto juga boleh. Masak malah salaman, zikir pakai tasbih, puji-pujian, wa akhwatuha jadi nggak boleh dilakukan usai salat?
Melihat kampanye yang “tidak-tidak” begitu, saya rasa ini menandakan masjid sudah ter-institusi-kan menjadi suatu tempat yang eksklusif. Hanya boleh untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Wabilkhusus kelompok tertentu.
Ya tidak masalah sih kalau itu masjid sunnah seperti itu hanya untuk mengakomodasi suatu daerah tertentu yang kebetulan jamaahnya begitu semua. Baru jadi masalah itu justru karena pemakaian diksi “sunnah”-nya. Klaim penggunaan diksi inilah yang sejatinya cukup mengganggu.
Penggunaan istilah “masjid sunnah” itu agak wagu sih. Ibaratnya kayak menang-menangan main klaim. Lah iya dong. Hakok kesunahan Nabi jadi klaim kelompok ini, sehingga mereka layak menjadi penentu?
Dalam kasus masjid sunnah ini, penggunaan klaim ini seolah-olah menunjukkan bahwa masjid yang lain jadi tidak sunnah.
Kenapa tidak pakai istilah “masjid salaf” saja? Yang sesuai dengan identitas penggagasnya? Kenapa harus sembunyi-sembunyi berlindung di balik suatu klaim sunnah begitu? Lagian kalau memang isi kampanyenya tidak ada yang salah, kenapa malu dengan identitas diri?
Terlepas dari main klaim masjid sunnah yang tidak-boleh-ini-tidak-boleh-anu, masjid secara filosofis maknanya sebenarnya bisa lebih luas.
“Ju’ilat lana al-ardh kulluha masjidan,” kata Nabi. Bumi itu masjid. Masjid itu tempat sujud. Jadi, segala tempat yang bisa dipakai untuk bersujud, itulah masjid.
Situasi ini agak berbeda dengan umat terdahulu, jauh sebelum era Nabi Muhammad. Di masa Nabi Musa syariat beribadah itu meniscayakan sebuah bangunan. Ya, literally bangunan. Ada bentuknya, ada wujudnya, dan mungkin ada cakar ayamnya—meski waktu itu belum ada Wifi-nya.
Maka, kalau dibandingkan tempat ibadah umat Nabi Musa, syarat infrastruktur peribadatan umat Nabi Muhammad jauh lebih longgar. Ya iya dong, ini menjadikan segala penjuru bumi ini sebagai masjid jeh. Bisa dipakai buat salat di mana saja (asal secara fikih suci tempat, suci pakaian).
Hanya saja, sesuatu yang substantif-esensialis itu tetaplah butuh wadah agar membumi dan bisa dikenali sebagai identitas suatu kelompok keagamaan. Makanya, masjid kemudian dibutuhkan bangunannya. Didirikan oleh umat Muslim.
Jadi, fungsi masjid itu sebenarnya lebih kental urusan sosialnya ketimbang urusan habluminallah-nya. Agar salat jamaah bisa bareng-bareng di sana. Berinteraksi sesama muslim di sana. Dan merajut tenun perbedaan di sana.
Itula kenapa, ketika suatu masjid sebagai bangunan fisik telah berdiri, maka bangunan ini auto menjadi bagian dari artefak kebudayaan yang bersentuhan dengan masyarakat di sekitarnya secara langsung. Tanpa persentuhan itu, ya masjid yang barusan dibangun itu bakal jadi bangunan yang “mati”.
Dan ketika sebuah masjid tak punya pertalian batin dengan masyarakat di sekitarnya, ya ia tak lebih dari seperti “berhala”. Bukan ibadahnya yang dipentingkan, tapi justru tempat ibadahnya yang “disembah”. Masjid sebagai tempat sesembahan saja, bukan tempat untuk menghidupkan manusia atau menghidupkan masyarakat.
Karena pertalian dengan masyarakat ini begitu kental, itu yang jadi sebab kenapa masjid-masjid di tempat saya tinggal di Sleman jelas akan berbeda dengan bangunan masjid di Madinah. Baik secara arsitekturnya, maupun kebiasan masyarakat dalam berinteraksi dengan masjid.
Bahkan sekalipun di Sleman ada masjid yang agak mirip dengan Masjid Nabawi. Salah satunya adalah Masjid Suciati, di bilangan Gito-Gati, Sleman. Meski secara fisik hampir sama, kultur keduanya tetaplah berbeda. Minimal letak perbedaan itu ada di wilayah keamanan. Masjid Nabi dijaga askar, Masjid Suciati mempekerjakan satpam.
Karena aspek sosial masjid jauh lebih fundamental ketimbang aspek ibadah individualnya, makanya kebudayaan masjid harusnya bisa inklusif dan toleran dengan masyarakatnya.
Sama seperti pada masa Nabi, masjid merupakan pusat peradaban umat muslim. Di dalamnya ada agenda sosial, ekonomi, intelektual, dan tentu saja ibadah. Itulah kenapa pendirian sebuah masjid harus seirama dengan karakter masyarakat setempat.
Pendirian masjid tidak boleh mengikuti ego atau keangkuhan, apalagi berdasarkan kesewenang-wenangan, dalih menang-menangan, atau main klaim-klaiman. Ini yang masjid sunnah, ini yang bukan. Bukan gitu.
Islam di Indonesia barangkali tidak semeriah hari ini jika para misionaris muslim awal berpikiran bahwa bentuk masjid harus mutlak mengikuti gaya arsitektur Timur Tengah, tempat muasal agama Islam. Berikut juga dengan segala kebiasaannya.
Maka, hari ini kita bisa melihat betapa Masjid Menara Kudus tetap mengumandangkan azan, kendati bentuk fisiknya menyerupai bangunan yang identik dengan umat Hindu. Pun, Masjid Agung Kauman di Yogyakarta yang tetap lestari dengan tradisi Jawa-Islam.
Jangankan di sini, di Korea sana, bahkan ada masjid yang berdiri di atas klub malam. Anggaplah bangunannya memang berlantai-lantai. Ketika umat Muslim mau berangkat sembahyang, sangat mungkin yang mereka lihat pertama kali bukan tempat wudu atau padasan, tetapi biduan.
Kalau mau menang-menangan apakah itu masuk kategori masjid sunnah atau tidak? Hayaaa sepertinya tidak.
Meski begitu, kalau Anda panjenengan semua ingin beneran mencari ciri-ciri masjid sunnah yang pahalanya bisa berlipat-lipat jika sembahyang di sana, ya cuma ada di tiga tempat: Masjid al-Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsha di Palestina.
Kalau soal itu, dalilnya jelas dan absolute.
“Terus gimana kalo nggak ada duit buat ke sana?”
Waitu… sama. Heuheu.
Yang jelas, kalo panjenengan mau cari referensi masjid yang asyik dan lumrah bagi Islam di Indonesia, pastikan bahwa rumah ibadah itu bukan masjid yang “tidak-tidak”. Kata “tidak” itu berarti menegasi atau mengeksklusi.
Btw, itu masjid apa form vaksinasi? Kok banyak tidaknya?
BACA JUGA Dia Sakit dan Kamu Sibuk Membangun Masjid atau tulisan ESAI lainnya.
Penulis: Anwar Kurniawan
Editor: Ahmad Khadafi