Uang Itu untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Cari Uang

Uang itu seperti aliran air. Kalau sirkulasinya dihambat, bukannya menghidupkan, tapi justru membahayakan yang punya.

Sleman penyumbang ekonomi terbesar di DIY MOJOK.CO

Ilustrasi - Sleman penyumbang ekonomi terbesar di DIY. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COAda banyak orang seperti Mas Is. Uang ada, kebutuhan darurat di depan mata, tapi rasanya berat untuk mengeluarkannya.

Gus Mut dan Fanshuri tergopoh-gopoh menuju rumah sakit. Malam itu, keduanya mendapat kabar bahwa Mas Is kecelakaan sepeda motor. Mas Is mengalami patah tulang di bagian lengan dan harus segera ada penindakan operasi.

Problemnya, Mas Is tidak mau operasi. Pada mulanya Gus Mut sudah menelepon dokter yang bertugas, hanya saja menurut keterangan dokter, si pasien tidak mau operasi. Itulah kenapa Gus Mut dan Fanshuri segera meluncur ke rumah sakit tanpa pikir panjang.

Begitu masuk IGD Rumah Sakit, Gus Mut segera masuk dan mendatangi Mas Is. Syukurlah, meski didiagnosis patah tulang, keadaan Mas Is relatif masih baik. Tidak ada luka-luka lain di sekujur tubuhnya.

“Ayo, segera kasih keputusan, Mas Is. Biar besok pagi bisa segera dilakukan tindakan operasi,” kata Fanshuri tanpa basa-basi.

Mas Is cuma nyengir.

“Aku takut operasi, Fan,” kata Mas Is. “Lagipula tidak terlalu sakit kok. Kita bawa ke sangkal putung aja ya?” kata Mas Is membujuk.

Gus Mut yang mengetahui itu tidak setuju.

“Nggak bisa begitu, Mas Is. Ini darurat. Biar aku saja yang tanggung jawab,” kata Gus Mut.

“Jangan, Gus. Jangan,” kata Mas Is.

“Kok jangan sih, Mas Is? Ini tangan sampean patah tulang lho. Memangnya mau diapain? Dilem Alteco?” kata Fanshuri.

Fanshuri dan Gus Mut tahu, Mas Is tidak setakut itu dengan operasi. Sudah jadi kebiasaan Mas Is, kalau dia itu agak eman-eman dengan uang yang dimiliki.

“Mahal, Gus, biayanya. Belasan juta, tadi aku udah nanya,” kata Mas Is.

“Nggak apa-apa. Aku yang tanggung jawab. Pakai uangku dulu,” kata Gus Mut.

“Jangan,” Mas Is masih bersikeras.

“Sampean itu gimana sih, Mas Is?” Fanshuri yang dari rumah sudah panik jadi kepancing emosi.

“Saya nggak mau utang,” kata Mas Is, “Apalagi diutangi Gus Mut.”

“Nggak perlu dibalikin,” kata Gus Mut.

“Nah, itu. Apalagi itu. Utang sama Gus Mut itu nggak pernah ditagih, sering-seringnya malah diikhlasin. Kalau seratus dua ratus ribu sih tidak apa-apa, lah ini sampai belasan juta. Nggak mau saya, Gus,” kata Mas Is.

Fanshuri cuma geleng-geleng kepala. Gus Mut cuma tersenyum. Ini kebiasaan Mas Is dari lama. Kalau soal dirinya sendiri, Mas Is selalu eman untuk keluar uang. Beda kalau untuk keluarganya, anaknya, atau istrinya.

“Lagian, aku juga punya uang segitu kok, Gus, sebenarnya,” kata Mas Is.

“Lah makanya? Kenapa masih ngeyel?” kata Fanshuri.

Ditanya begitu, Mas Is malah tersenyum cengengesan.

“Pokoknya saya nggak mau operasi, Gus. Kita ke alternatif dulu aja,” kata Mas Is.

“Fan, kamu tolong urus ke bagian administrasi,” kata Gus Mut berbisik ke Fanshuri.

Fanshuri pun keluar ruangan IGD.

“Mas, sampean itu kenapa begitu?” tanya Gus Mut. Kini duduk di samping ranjang Mas Is.

Mas Is masih cengengesan.

“Saya tahu, Gus. Ini kebiasaan buruk soal saya eman sama uang. Tapi saya yakin saya baik-baik saja,” kata Mas Is.

“Baik-baik saja gimana. Ini tadi aku udah telepon dokter, katanya udah rontgen dan kelihatan tulang Mas Is patah. Ini bisa bahaya. Apalagi urusannya cuma uang, dan sampean sendiri bilang kalau uang itu ada,” kata Gus Mut.

“Uang itu rencana mau saya pakai buat biaya anak sekolah dan renovasi rumah, Gus,” kata Mas Is.

“Renovasi rumah sama tangan Mas Is memang penting mana?” tanya Gus Mut.

“Ya sama pentingnya sih, Gus. Tapi itu uang sudah saya tabung lumayan lama, Gus. Gus Mut nggak tahu kerja keras saya ngumpulin duit segitu,” kata Mas Is.

Gus Mut tersenyum.

“Mas, sampean itu kan kerja pakai tangan sampean. Sekarang mindset-nya dibalik deh. Kita bukan operasi untuk benerin itu tulang, tapi untuk menyelamatkan alat produksi Mas Is untuk cari nafkah. Kan bukan tidak mungkin kalau tangan Mas Is nggak bisa kembali normal, Mas Is malah jadi lebih sulit cari rezeki ke depannya,” kata Gus Mut.

Dibilangin begitu, Mas Is berpikir sejenak.

“Mas, uang itu seperti aliran air. Kalau Mas Is menyimpannya terus, tanpa ada aliran yang baik, padahal ada kebutuhannya, itu akan jadi air mati. Dan air yang tidak bergerak itu sumber penyakit. Kayak uang, kalau kita terlalu pelit mengeluarkannya untuk kebutuhan, untuk sedekah, ya uang itu bisa jadi penyakit. Memang terkesan jadi banyak, tapi alih-alih jadi rezeki, uang itu malah jadi sumber bencana,” kata Gus Mut panjang lebar.

“Ta-tapi, Gus,” kata Mas Is

“Mas, kita mencari uang itu digunakan untuk hidup, bukan malah sebaliknya… seluruh hidup kita malah dipakai cuma untuk cari uang. Harta yang kadang tidak benar-benar bisa kita manfaatkan di jalan yang baik itu kebanyakan malah menjerumuskan. Lagipula rezeki itu bentuknya nggak selalu uang, Mas Is, ada banyak yang lain,” kata Gus Mut.

Mas Is terdiam lagi.

“Jadi gimana, Mas Is? Mau ya operasi?” kata Gus Mut.

Mas Is menerawang langit-langit. Mengangguk sebentar. Gus Mut tersenyum

“Oke, biar aku yang bicara sama dokternya,” kata Gus Mut berdiri dari tempat duduknya.

“Tu-tunggu, Gus,” kata Mas Is.

Gus Mut berbalik.

“Tapi, Gus. Saya takut,” kata Mas Is.

“Takut operasi? Kan nanti dibius total, nggak kerasa, Mas Is,” kata Gus Mut.

“Bukan, bukan takut operasi,” kata Mas Is.

“Terus?”

“Anu, saya takut disuntik.”

*) Diolah dari kisah nyata.

BACA JUGA Kisah Calon Santri yang Diminta Mendoakan Keluarga Kiai dan KISAH GUS MUT lainnya.

 

Exit mobile version