Sudahlah, Jangan Bohong Saja Sudah Cukup untuk Belajar Islam

no offense but bukan bermaksud bohong besar netizen ribut ad hominem kalimat negasi tubir media sosial mudah tersinggung basa-basi kalimat sopan

no offense but bukan bermaksud bohong besar netizen ribut ad hominem kalimat negasi tubir media sosial mudah tersinggung basa-basi kalimat sopan

“Jangan bohong,” kata Gus Mut kepada Mas Is.

Mas Is yang mendengarnya merasa sedikit heran.

Hari ini, kedatangan Mas Is ke kediaman Gus Mut sedang ingin belajar soal agama. Mas Is ingin sekali mendalami betul soal Islam, atau lebih tepatnya membiasakan diri agar bisa beribadah dengan rutin.

Meski beragama Islam, Mas Is sendiri jarang sekali salat, ngaji juga tidak bisa, tapi belakangan ada semangat yang entah datang dari mana sehingga bikin Mas Is ingin membiasakan diri jadi umat Islam yang saleh.

Dari banyak ulama dan kiai, Mas Is memilih Gus Mut untuk belajar agama. Alasannya sederhana sebetulnya, Gus Mut adalah salah satu sosok yang menurutnya paling asyik untuk diajak bicara mengenai agama.

Bisa saja Mas Is meminta diajar langsung oleh ayah Gus Mut, Kiai Kholil, tapi karena pertimbangan usia yang kelewat jauh, Mas Is lebih nyaman belajar dari Gus Mut yang hampir sebaya. Kalau bertanya juga tidak jadi canggung soalnya.

“Hah? Gitu doang, Gus?” tanya Mas Is tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Lah iya, cukup itu saja,” jawab Gus Mut.

“Tapi saya ini ingin belajar biar bagaimana jadi rutin salat. Walaupun saya ini Islam sejak kecil, ya Gus Mut sendiri tahu kan saya ini masih suka bolong-bolong salatnya. Masa iya mau minta petunjuk biar saya jadi rajin salat, syaratnya malah disuruh cuma nggak bohong saja, kan nggak nyambung, Gus?” tanya Mas Is.

Gus Mut sedikit tersenyum, lalu membenarkan posisi duduknya. “Iya namanya belajar itu kan yang ringan-ringan dulu. Kalau kamu sudah lulus soal itu, nanti kita belajar lagi di tahap selanjutnya. Gimana?”

Mas Is garuk-garuk kepala masih kebingungan. Lalu mengangguk setuju. “Mudah sekali,” kata Mas Is dalam hati lalu pamit pulang dengan banyak pertanyaan yang sebenarnya masih menggelayut.

Keesokan harinya, Gus Mut gantian mendatangi rumah Mas Is. Usai salat asar berjamaah di masjid Gus Mut sengaja memilih jalan memutar agar bisa mampir ke rumah Mas Is. Mas Is yang sedang memandikan koleksi burung kesayangannya sedikit terkejut melihat Gus Mut datang ke rumahnya.

“Assalamua’alaikum,” kata Gus Mut langsung nyelonong saja ke halaman rumah Mas Is.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Mas Is.

“Wah tumben ini, Gus. Tumben ini kok tiba-tiba mampir. Ada apa ya?” kata Mas Is sambil menyeka telapak tangannya yang kotor lalu bersalaman dengan Gus Mut.

“Nggak ada apa-apa, cuma mampir saja,” kata Gus Mut. “Lagi ngapain Is?” tanya Gus Mut.

“Oh, ini. Anu, Gus, lagi mandiin burung-burung koleksiku. Kenapa, Gus? Gus mau mainan burung juga kah?” tanya Mas Is yang disambut tawa Gus Mut.

“Nggak, cuma penasaran aja. Kamu mandiin burung-burungmu ini tadi sejak jam berapa memang?” tanya Gus Mut.

“Yah, sekitar satu jam lebih sih. Ya maklum, burung koleksi saya kan banyak Gus. Ini saja baru setengahnya,” kata Mas Is.

“Oh,” respons Gus Mut singkat.

Mas Is semakin bingung dengan maksud kedatangan beserta pertanyaan Gus Mut.

“Memang ada apa sih, Gus?” tanya Mas Is penasaran.

“Berarti tadi kamu nggak sempet salat asar di masjid dong tadi?” tanya Gus Mut.

Mas Is kaget diserang pertanyaan dadakan seperti itu. Tingkah Mas Is jadi sedikit gelagapan. “Oh, iya tadi saya lupa, Gus. Keasyikan main burung,” jawab Mas Is sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Tapi udah salat duhur kan?” tanya Gus Mut lagi.

“Oh, sudah, Gus. Pasti,” jawab Mas Is cepat-cepat.

“Salat di mana? Di rumah? Kok tadi di masjid waktu jamaah duhur kamu nggak kelihatan?” tanya Gus Mut lagi.

Mas Is semakin salah tingkah. “Iya, Gus, tadi salat di rumah kok,” jawab Mas Is.

“Jamaah apa sendiri?” tanya Gus Mut lagi.

“Jamaah dong,” jawab Mas Is.

“Yakin?” tanya Gus Mut menyelidik.

“Iya, Gus. Beneran. Sumpah deh, tadi aku salat duhur kok,” kata Mas Is sedikit ngotot.

“Nggak perlu bawa-bawa sumpah. Memang jamaah sama siapa kamu Is? Kan kamu sendirian di rumah?” tanya Gus Mut.

“Ee, ee, sama Fanshuri, Gus. Tadi kebetulan waktu duhur aku main ke rumah Fanshuri di samping itu. Jadi aku nggak sempet ke masjid,” kata Mas Is.

“Yakin?” tanya Gus Mut lagi yang terlihat jadi pertanyaan yang sangat menyiksa bagi Mas Is.

“Coba deh aku tanya sama Fanshuri, bener nggak kamu tadi jamaah sama dia,” kata Gus Mut.

“Oh, iya silakan saja tanya Fanshuri, Gus. Tapi kayaknya sekarang orangnya lagi nggak ada di rumah. Tadi bilang mau pergi ke luar kota sehabis jamaah duhur di rumahnya tadi,” kata Mas Is lagi.

Selesai Mas Is bicara, tanpa diduga dari jalan menuju masjid, Fanshuri lewat santai tanpa berdosa sama sekali. Mas Is sudah pucat pasi melihat tetangganya itu lewat depan rumahnya. “Aduh, Fanshuri goblok, malah lewat sini lagi,” batin Mas Is khawatir.

“Loh, itu Fanshuri,” Gus Mut kaget.

Mas Is semakin pucat pasi.

“Fan, mau ke mana?” teriak Gus Mut.

“Mau ke minimarket, Gus. Mau beli rokok sama kopi,” kata Fanshuri lewat begitu saja.

Keringat dingin mulai mengalir di dahi Mas Is. Gawat. Ini situasinya sangat gawat. Tapi anehnya, Gus Mut malah tidak menghampiri Fanshuri untuk bertanya soal kebenaran pengakuan Mas Is tadi. Gus Mut malah cuma berpesan ke Fanshuri, “Oh, aku titip rokok sekalian ya, Fan?”

Mas Is sedikit lega, meski kekhawatirannya tadi jelas sudah dibaca oleh Gus Mut.

“Tuh kan berat,” mendadak Gus Mut bicara ke Mas Is ketika Fanshuri sudah menjauh.

Mas Is semakin bingung.

“Tugas pertamamu untuk tidak berbohong itu tidak semudah yang kamu pikir kan?” tanya Gus Mut lagi.

Mas Is lalu garuk-garuk kepala lagi. “Iya, Gus, tadi aku udah bohong. Aku nggak jamaah sama Fanshuri kok tadi,” kata Mas Is penuh penyesalan.

“Tapi salat duhurnya tidak ketinggalan kan?” tanya Gus Mut.

Mas Is cuma menggeleng pelan. Rasanya semakin malu saja.

“Nah, itulah yang harusnya kamu dalami dulu Is sebelum belajar soal agama yang lebih jauh. Syarat yang aku kasih kemarin itu nggak semudah yang kamu kira lho, Is,” kata Gus Mut.

“Iya, Gus,” kata Mas Is semakin menyesal.

“Kebohongan itu hampir selalu menyulut kebohongan selanjutnya. Untuk menutupi bohong pertama kalau kamu nggak salat, kamu akhirnya jadi bohong lagi kalau jamaah. Kalau dilanjutin terus, pasti kamu akan bohong terus. Kamu beruntung, Allah kasih si Fanshuri tadi jalan di depan rumahmu tadi, jadi kamu nggak perlu bikin bohong lanjutan,” kata Gus Mut.

“Sudah, kamu belajar soal tidak perlu bohong dulu. Insya Allah kalau kamu jujur terus, kamu akan jadi rajin sembahyang dengan sendirinya. Kecuali kalau kamu malah jadi terbiasa berbohong, terbiasa berbuat dosa, nah sebelum itu terjadi, aku akan bikin itu jadi hal yang nggak enak buatmu,” tambah Gus Mut lagi.

Mas Is tidak berani berkata apa-apa. Kali ini bukan kepala yang digaruk Mas Is, tapi selangkangannya yang mulai gatal karena terlalu lama jongkok sebelum Gus Mut datang tadi.

“Ya sudahi dulu main burungnya. Sana, kamu salat dulu aja. Biar aku yang beresin kandang-kandang burungmu ini,” kata Gus Mut.

Mas Is mendadak tersadar, lalu selangkangannya jadi tidak gatal lagi.

Exit mobile version