Selain untuk Gus Dur, Harusnya Yang Rayakan Imlek Juga Berterima Kasih ke Kiai Fattah

MOJOK.CO – Bagi mereka yang rayakan Imlek, rasa terima kasih selalu tercurah untuk Gus Dur seorang. Padahal guru beliau, Kiai Fattah, juga layak mendapat ungkapan itu.

Karena hari libur imlek, Fanshuri sudah jauh-jauh hari janjian dengan Gus Mut untuk jalan-jalan ziarah sampai ke Jombang. Mereka berdua berencana ziarah ke makam Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng.

Tidak ada agenda khusus sebenarnya. Hanya saja, beberapa hari sebelum Tahun Baru Imlek tiba, Fanshuri mengajak Gus Mut untuk ziarah ke makam Gus Dur karena wujud syukur saja sudah dikasih tambahan hari libur untuk perayaan Tahun Baru Imlek. Sesederhana itu saja. Itung-itung sekalian jalan-jalan.

“Kan Gus Dur waktu jadi Presiden yang bikin tanggal merah untuk tahun baru Imlek,” kata Fanshuri saat mengajak Gus Mut kala itu.

Perjalanan pun dimulai. Begitu mobil yang dinaiki Fanshuri dan Gus Mut mau masuk ke daerah Jombang, Gus Mut menepuk pundak Fanshuri yang nyetir.

“Fan, sebelum sampai ke Pondok Tebuireng kita mampir dulu ke Pondok Tambakberas ya?”

“Lah, ngapain, Gus? Kita kan rencana mau ziarah ke makamnya Gus Dur? Kok jadi mlipir ke Pondok Tambakberas sih?” tanya Fanshuri protes.

“Kamu itu gimana. Sebelum kita ziarah ke muridnya, ya kita harus ‘sowan’ dulu ke gurunya dong,” kata Gus Mut.

“Gurunya? Maksudnya Gus Dur itu dulu pernah mondok di Tambakberas?” tanya Fanshuri.

“Bukan sekadar mondok malah, tapi jadi pengurus keamanan pondok,” jelas Gus Mut.

“Wah, nanti kita jadi kesorean dong sampai ke Tebuireng kalau mampir-mampir dulu. Apa nggak sebaiknya ke Tambakberas-nya setelah ziarah di Tebuireng aja?” rayu Fanshuri.

“Kamu itu kan ziarah dalam rangka jalan-jalan sekalian menapak tilas Tahun Baru Imlek jadi hari libur kan? Kurang komplet kalau langsung ke Gus Dur. Sebelum ke sana, ya harus ‘sowan’ ke sosok yang ngajarin betapa kemanusiaan itu penting nggak terbatas pada aturan suku, ras, bahkan ajaran agama,” jelas Gus Mut.

“Memang ke kiai siapa sih, Gus?” tanya Fanshuri.

“Kiai Fattah Hasyim. Paman sekaligus guru ngaji Gus Dur. Terutama bab ngaji persoalan kemanusiaan,” jelas Gus Mut.

“Sebentar, Gus Mut. Bukannya Gus Dur itu pikirannya moderat gitu karena beliau belajar sampai mana-mana ya? Dari Mesir, ke Irak, bahkan sampai melalang buana sampai Eropa? Setahu saya pemikiran modern beliau hadir karena itu. Termasuk ide mencabut sikap diskriminasi sama keturunan Cina dengan Tahun Baru Imlek-nya?” tanya Fanshuri.

“Oh, bukan. Dari belajarnya ke mana-mana, sebelumnya Gus Dur udah mendapatkan kesan yang mendalam saat jadi Bagian Keamanan Pondok Tambakberas. Dari pengalaman ikut Kiai Fattah itulah beliau memahami betapa kemanusiaan itu lebih penting ketimbang segala macam peraturan buatan manusia,” kata Gus Mut.

“Emang gimana ceritanya? Kok saya belum pernah dengar yang itu?” tanya Fanshuri.

“Jadi gini, Fan. Dulu itu Gus Dur waktu masih jadi Pengurus Keamanan pernah mengurus satu santri yang nakalnya kebangetan. Nakalnya ini sudah sampai tahap kaffah gitu lah.”

Fanshuri tertawa mendengarnya.

“Pfft, nakal yang kaffah itu apa, Gus? Emang nakal yang gimana sampai disebut kaffah gitu?” tanya Fanshuri.

“Ya salah satunya suka ngintip kamar mandi pondok putri.”

Fanshuri terkejut.

“Wah kalau itu mah parah banget,” komentar Fanshuri.

“Nah, Gus Dur saat itu bukannya nggak tahu kenakalan si santri ini. Cuma kan nggak bisa dong kamu nuduh seorang santri tanpa bukti. Akhirnya sama beliau dicarilah hal-hal yang bisa dijadikan bukti. Sampai akhirnya Gus Dur merazia kamar si santri ini. Gus Dur tahu, kalau orang suka intip-intip begitu, biasanya punya kecenderungan mesum. Pasti ada satu petunjuk di kamarnya. Benar saja, Gus Dur menemukan buktinya,” kata Gus Mut.

“Hah? Emang apa, Gus, buktinya?” tanya Fanshuri.

“Kutang.”

“Kuuuutang?”

“Iya, kutang.”

“Kutang yang dipakai perempuan?” tanya Fanshuri tidak yakin.

“Ya iyalah, masa kutang yang kamu pakai. Gimana sih?”

Fanshuri garuk-garuk kepala. Bingung.

“Kok bisa sih ada kutang di lemari kamar pondok putra?” tanya Fanshuri.

“Ya mungkin saja si santri ini nyolong dari jemuran pondok putri kan kita juga nggak tahu? Poinnya, habis itu sama Gus Dur, dibawalah kutang itu ke hadapan Kiai Fattah. Gus Dur mengadu bahwa ada salah satu santri yang nakalnya sudah nggak bisa ditolerir lagi. Harus dikeluarkan dari Pondok. Karena ini sudah bisa masuk kriminal. Bisa pidana lho kenakalan model gitu,” kata Gus Mut.

“Terus jadinya dikeluarin sama Kiai Fattah?” tanya Fanshuri.

“Nah, uniknya sama Kiai Fattah si santri yang nakalnya kaffah ini nggak boleh dikeluarkan dari pondok.”

“Lah kok gitu?” tanya Fanshuri kaget.

“Menurut Kiai Fattah, orang tua si santri ini berharap dimasukkan ke pondok biar jadi anak yang bener. Anak belum bener kok udah dikeluarin. Kalau gitu, apa gunanya mendirikan pondok kalau nggak bisa bikin seorang anak nakal jadi berubah?” kata Gus Mut.

“Oh iya, bener juga ya. Terus kalau nggak boleh dikeluarin gimana dong?”

“Nah, Gus Dur ini pusing denger Kiai Fattah nggak mau ngeluarin ini santri. Akhirnya sama Kiai Fattah si santri disuruh pindah ke ‘ndalem’. Tinggal serumah bareng Kiai Fattah. Diberi kamar khusus di samping kamar pribadi Kiai Fattah.”

“Mampus, jadi nggak bisa ngapa-ngapain itu santri,” kata Fanshuri sambil tertawa.

“Karena tinggal bareng Kiai Fattah, si santri ini akhirnya ikut laku hidup Kiai Fattah. Ya iya dong, tiap Kiai Fattah tahajud si santri harus bangun untuk menyediakan tempat salatnya. Saat Kiai Fattah ngajar ngaji, si santri bakal bawain kitab yang dipakai ngaji. Bahkan ikut menandai halaman mana tadi ngajinya. Sampai lama-lama si santri ini berubah jadi santi yang benar-benar saleh,” cerita Gus Mut.

Fanshuri terdiam. Masih menyimak.

“Dari sana kemudian Gus Dur belajar banyak, bahwa kalau mau ikut peraturan atau norma yang seharusnya, si santri ini ya dikeluarkan saja dari pondok. Soalnya udah melakukan pelanggaran berat banget. Namun, kemanusiaan Kiai Fattah jauh lebih besar sehingga mau bersusah payah ‘merawat’ si santri dengan pelan-pelan, sampai akhirnya si santri jadi kiai besar.”

“Coba kalau saat itu Kiai Fattah main keluarin aja si santri, bisa malah jadi begundal di jalanan itu santri karena nggak bakal ada pesantren yang mau terima bocah dengan kenakalan seperti itu. Gus Dur lalu belajar bahwa untuk membuat peraturan, yang penting kamu jadi manusia saja lah dulu. Jadi orang yang punya rasa kemanusiaan aja dulu. Nggak perlu melihat etnis bahkan agama. Oleh karenanya, ketika Gus Dur jadi Presiden, beliau adalah pemimpin yang paling anti dengan situasi yang melanggar batas-batas kemanusiaan. Salah satunya…”

“Salah satunya, ya beliau akhirnya bikin pengakuan kemanusiaan dengan Tahun Baru Imlek untuk saudara-saudara kita yang etnis Cina,” sambung Fanshuri tiba-tiba.

Fanshuri tertegun usai mengucapkan itu. Pandangannya kosong. Lalu memilih menghentikan mobilnya di pinggir jalan sejenak. Berpikir.

“Kenapa, Fan? Kok tiba-tiba berhenti?” tanya Gus Mut kaget.

“Nggak, Gus. Saya ini nggak tahu, jalur menuju makamnya Kiai Fattah itu ke arah mana ya?”

Gus Mut pun tersenyum mendengarnya.

Exit mobile version