Ribetnya Jadi Perempuan Bercadar

MOJOK.COFanshuri merasa jadi perempuan bercadar itu ribet banget. Makan di warung saja jadi harus nunduk-nunduk agar kainnya bisa tetap menutupi wajah.

Dari warung makan, Fanshuri masih kepikiran dengan pemandangan yang baru saja dia temui ketika makan bareng Gus Mut. Dalam perjalanan ziarah, keduanya memang sempat mampir makan siang. Kebetulan ketika makan, Fanshuri melihat seorang perempuan bercadar makan di warung yang sama.

Tak ada pikiran macam-macam sebenarnya, hanya saja Fanshuri masih inget betapa ribetnya perempuan bercadar itu makan di tempat umum. Supaya mukanya tetap tertutup, perempuan bercadar ini selalu menyelipkan sendok makannya lewat bagian bawah kain cadarnya.

Bahkan untuk sekadar makan kerupuk atau tempe goreng saja, perempuan itu harus agak menunduk agar mukanya tetap tertutup. Bagi Fanshuri ini pemandangan yang agak aneh. Kalau memang seribet itu makan di ruang publik, kenapa tidak dibungkus saja makannya? Bukannya itu jadi merepotkan diri sendiri?

Itulah yang menganggu pikiran Fanshuri ketika lanjut nyupirin mobil Gus Mut. Tak tahan bergulat dengan pikirannya sendiri, akhirnya Fanshuri buka suara juga.

“Gus?” tanya Fanshuri kepada Gus Mut yang duduk di jok samping sopir.

Gus Mut sedang asyik mainan hape.

“Iya,” jawab Gus Mut.

“Lihat perempuan bercadar di warung yang tadi nggak, Gus?”

“Iya, lihat. Emang kenapa?” tanya Gus Mut.

“Nggak kenapa-kenapa, Gus. Cuma tadi lihat kasihan aja,” kata Fanshuri.

Gus Mut agak terkejut mendengar istilah “kasihan” yang dipakai Fanshuri.

“Maksudnya kasihan, Fan?” tanya Gus Mut.

“Ya tadi makannya perempuan bercadar itu kan jadi kelihatan ribet banget gitu,” kata Fanshuri.

“Ribet gimana?”

“Ya ribet. Harus masukin sendok ke bawah dulu, biar lewat kain cadarnya itu. Makan gorengan sama kerupuk pun gitu,” kata Fanshuri.

“Ya nggak apa-apa dong, Fan. Lha wong dia yang makan kok kamu yang ngerasa ribet sih?” tanya Gus Mut.

“Bukan gitu, Gus. Saya itu mikirnya, kenapa nggak dibungkus aja makanannya? Kan lebih enak dimakan di rumah. Nggak ribet harus pakai cadar segala. Kalau di tempat umum begitu kan jadi kasihan dia-nya juga,” kata Fanshuri membela diri.

Gus Mut membenarkan letak duduknya sejenak.

“Gini, Fan. Cara kamu mengasihani perempuan bercadar itu nggak tepat,” kata Gus Mut.

“Nggak tepat gimana, Gus?” tanya Fanshuri.

“Ya nggak tepat. Karena kamu merasa apa yang jadi keyakinannya itu meribetkannya. Padahal dia mah sebenarnya biasa saja. Nggak ngerasa ribet apa-apa,” kata Gus Mut.

“Ya mungkin perempuan bercadar itu nggak ngerasa ribet, tapi saya yakin orang satu warung itu juga pasti merasakan hal yang sama kayak saya,” kata Fanshuri yakin.

“Ah, nggak juga, Fan. Nyatanya aku biasa aja,” kata Gus Mut.

“Itu kan Gus Mut,” kata Fanshuri.

“Bukan, bukan. Bukan cuma aku harusnya, Fan. Gini lho, aku terangin kenapa ada yang keliru dari cara kamu mengasihani perempuan bercadar itu,” kata Gus Mut.

“Memangnya gimana, Gus?” tanya Fanshuri.

“Coba aku gambarin situasinya jadi begini, kita perjalanan naik mobil begini nih, terus tiba-tiba kita harus berhenti di masjid dulu untuk salat—misalnya. Lalu ada orang yang kebetulan bukan non-muslim bareng satu mobil sama kita, kira-kira mereka kepikiran nggak kalau apa yang kita lakukan itu sangat ribet?”

“Ribet gimana, Gus? Kan salat itu wajar-wajar aja. Namanya lagi perjalanan, kalau waktunya salat ya berhenti dulu dong. Salat dulu gitu,” kata Fanshuri.

“Iya, itu kan pandangan kita. Pandangan orang yang sehari-harinya salat terus. Coba sekarang kalau orang nonmuslim yang bareng kita melihatnya berbeda. Misalnya, si orang ini jadi kepikiran, ‘Walah, jadi muslim harus gitu ya? Mau masih dalam perjalanan aja masih harus salat. Harus berhenti di masjid lagi. Bikin perjalanan jadi lama. Kasihan banget ya jadi muslim? Ribet banget hidupnya.’ Kira-kira bisa nggak mereka berpikiran kayak gitu?” tanya Gus Mut.

Fanshuri merenung sejenak membayangkan situasi yang digambarkan Gus Mut.

“Ya nggak mungkin dong. Kan salat itu udah jadi rutinitas kita. Kegiatan kita sehari-hari. Jadi ya nggak merasa ribet. Apalagi itu ibadah wajib. Nggak boleh ditinggal. Bisa dosa dong kalau ninggalin salat hanya karena ogah berhenti sejenak buat mampir ke masjid. Lagian berhenti di masjid juga paling cuma beberapa menit doang. Nggak mungkin juga sampai 1-2 jam juga. Ya orang yang ngomentari jadi muslim yang harus salat merasa ribet kan karena memang dasarnya dia nggak salat, jadi melihatnya salat cuma kayak buang-buang waktu, Gus,” kata Fanshuri.

“Nah, itu. Benar kamu, Fan,” kata Gus Mut puas lalu kembali bersandar di sandaran jok mobil yang sudah diturunkan.

Fanshuri bingung.

“Ma, maksudnya, Gus? Gimana sih maksudnya?” tanya Fanshuri tidak paham.

“Itulah jawaban dari perempuan bercadar yang makan di warung tadi buat orang-orang kayak kamu,” kata Gus Mut.

Fanshuri masih celingak-celinguk bingung sendiri.

“Fan, perempuan bercadar itu makan begitu sudah jadi kebiasannya. Bagi dia, itu kewajibannya untuk menutup auratnya. Dan karena kewajiban itu sudah jadi rutinitasnya sehari-hari, jadi dia merasa terbiasa. Nggak masalah. Hanya saja orang-orang yang nggak menjalankan kewajiban kayak dia—ya kamu itu salah satunya—merasa apa yang dilakukannya itu hal yang sia-sia, buang-buang waktu, dan merepotkan,” kata Gus Mut.

Fanshuri cuma manggut-manggut. Masih mencoba mencerna penjelasan Gus Mut.

“Makanya, Fan. Jangan suka ukur dalamnya sungai pakai tinggi badanmu sendiri,” kata Gus Mut sambil bersiap tidur. Tenggelam dalam sandara jok yang sudah diturunkan.

*) Diolah dari kisah nyata.

BACA JUGA Bacaan untuk Fachrul Razi Sebelum Beneran Larang Cadar atau tulisan rubrik KHOTBAH lainnya.

Exit mobile version