Rayakan Tahun Baru kok Dibilang Budaya Yahudi, Nasrani, dan Majusi sih?

MOJOK.COApa benar merayakan tahun baru, membunyikan terompet, lalu bermain kembang api merupakan hal yang bakal bikin auto Nasrani, Yahudi, dan Majusi dalam satu waktu?

Fanshuri gundah selama beberapa hari ini. Di kampung sebelah muncul selebaran soal haramnya merayakan tahun baru karena menyerupai kaum non-muslim. Seperti biasa, demi tidak terus-terusan berpusing sendirian, Fanshuri beranjak ke kediaman Gus Mut.

Tentu saja alasannya, ingin main catur.

“Gus, Gus Mut nggak lagi gitu resah gitu belakangan ini?” tanya Fanshuri sembari menata bidak catur.

“Resah? Resah kenapa, Fan?” tanya Gus Mut.

“Beberapa hari kemarin ada selebaran di kampung sebelah kalau merayakan tahun baru itu haram,” kata Fanshuri.

“Oh iya to? Kok aku baru tahu. Mana selebarannya? Kamu bawa?” tanya Gus Mut.

Fanshuri segera mengambil selebaran itu dari kantong celananya, lalu menyerahkan ke Gus Mut.

Dalam selebaran itu tertulis kata-kata yang cukup jelas, “Kita Muslim, tahun baru itu 1 Muharram bukan 1 Masehi. Meniup terompet budaya orang Yahudi, merayakan malam tahun baru ajaran orang Nasrani, menyalakan api budaya orang Majusi.”

Entah karena apa Gus Mut terkekeh usai membacanya. Hal yang justru bikin Fanshuri jadi semakin bingung.

“Lho kok Gus Mut malah ketawa sih?” tanya Fanshuri.

“Nggak, nggak apa-apa,” kata Gus Mut mencoba menahan diri. “Maaf kalau aku jadi tertawa. Soalnya walau bagaimana pun kita harus menghormati mereka yang pakai tafsir agama yang begitu. Kita nggak boleh mencela. Cuma ya tadi—maaf—aku refleks aja, Fan,” kata Gus Mut.

“Memangnya betulan ya, Gus? Kalau budaya yang di luar budaya Islam itu nggak boleh kita lakukan?” tanya Fanshuri.

“Sebelum sampai sana pertanyaannya, saya mau tanya dulu ke kamu. Memangnya budaya Islam itu yang bagaimana?” tanya Gus Mut.

Fanshuri sedikit kikuk mendengar pertanyaan itu. “Hm, mungkin hukum diyat 100 unta untuk pembunuh yang diampuni oleh keluarga korban atau memakai gamis untuk menutup aurat. Eh, iya nggak sih, Gus?”

“Hukum 100 unta itu sih sebenarnya sudah pernah diterapkan masyarakat jahiliyah sebelum Nabi Muhammad menyebarkan Islam di Mekah, sedangkan orang kafir Quraisy itu pakai baju juga nutup aurat, lha wong daerah mereka gersang dan berdebu. Pakaian mereka digunakan karena menyesuaikan iklim di Jazirah Arab yang bergurun,” jelas Gus Mut.

Fanshuri terkejut mendengarnya. “Masa sih 100 unta itu ada sebelum Islam hadir di kota Mekah?”

“Pada periode Jahiliyah, pernah terjadi peperangan antara dua saudara Al-Harits, yakni Syurahil dengan Salamah. Nah, si Syurahil ini bikin sayembara, barang siapa yang bisa bawa kepala Salamah, maka dia bakal dapat 100 unta. Bahkan unta juga sudah jadi alat tukar di masyarakat Jahiliyah untuk membayar mahar atau diyat sebelum era ke-Islam-an. Jadi mana coba yang orisinil budaya Islam atau orisinil budaya Arab?” tanya Gus Mut.

Fanshuri melongo.

“Hal yang sama juga harus diterapkan untuk urusan terompet. Memang sejak kapan terompet cuma berhak disebut sebagai budaya Yahudi? Lha wong kaum Viking juga pakai terompet berabad-abad sebelumnya. Sejak kapan pula tahun baru Masehi jadi budaya Nasrani? Lha wong kata Masehi saja diambil dari bahasa Arab—bahasanya agama Islam—al-masiikh, yang berarti mengusap atau membelai kok. Yang kemudian dipakai istilah oleh bahasa Ibrani sebagai messiah yang artinya diurapi. Jadi mananya itu yang budaya Nasrani?”

“Lalu artinya penjelasan itu apa, Gus?” tanya Fanshuri lagi yang diam-diam memasukkan lagi papan catur karena tahu nggak bakal jadi main.

“Jadi budaya itu bukan sesuatu yang kaku. Sangat cair. Semua kebiasaan masyarakat punya andil masing-masing. Yang nanti berpengaruh juga dalam setiap perkembangan agama dan budaya dalam pesebarannya. Terlalu mengenalisir kalau sebuah lelaku budaya dianggap sebagai milik A atau milik B,” kata Gus Mut.

“Lha kalau soal menyalakan kembang api yang katanya Majusi, Gus?” tanya Fanshuri.

Gus Mut bersandar sejenak.

“Sekarang aku tanya, dulu waktu zaman Nabi Muhammad mendirikan masjid di Madinah, apa iya bentuk masjidnya seperti masjid kita yang ada kubah dan menaranya?” tanya Gus Mut.

“Hmm, sepertinya sih nggak sih, Gus. Setahu saya sih Masjid Nabawi dulu sederhana sekali,” kata Fanshuri.

“Bahkan saking sederhananya, Masjid Nabawi itu cuma sedikit saja yang ada atapnya,” kata Gus Mut.

“Lah kalau hujan basah dong?” tanya Fanshuri.

“Nah itu, jangan samakan perspektifmu di Indonesia dengan di Arab, Fan. Di Madinah itu turun hujan bisa dihitung jari dalam setahun. Masjidil Haram saja yang area deket Kakbah nggak pakai atap,” jelas Gus Mut lagi.

“Jadi penggunaan kubah dan menara itu terhitung baru dilakukan usai wafatnya Nabi Muhammad ya, Gus?” tanya Fanshuri.

“Iya. Ketika Islam berkembang sampai Persia, daerah di mana agama Zoroaster berkembang, yang kalau dalam Islam kita mengenal sebagai Majusi. Lalu orang-orang Islam melihat ada menara cukup tinggi di bangunan-bangunan masyarakat Persia. Diadopsilah itu untuk tempat mengumandangkan azan,” jelas Gus Mut.

“Jadi penggunaan menara dalam masjid-masjid itu tinggalannya orang-orang penyembah api?”

“Bahkan itu belum dengan bagaimana orang Islam zaman segitu mengenal kubah,” jelas Gus Mut.

“Bukan dari kaum Majusi juga, Gus?” tanya Fanshuri.

“Oh, bukan. Agak panjang kalau soal kubah, karena kebudayaan Mesopotamia juga memakai kubah dalam bangunannya, juga Kerajaan Romawi yang nanti jadi pusat agama Katolik. Lalu ketemu deh itu orang-orang Islam dengan kebudayaan Turki yang saat itu terpengaruh budaya Romawi. Lalu orang-orang Islam melihat kubah itu dan diadopsi untuk penanda bangunan masjidnya. Kubah itu kalau tidak salah dipakai pertama kali di Dome of Rock di Yerusalem yang juga dikenal sebagai Masjid Umar,” terang Gus Mut.

“Jadi bahkan menara dan kubah di banyak masjid di Indonesia juga ada persilangan budaya antara Nasrani dengan Majusi juga ya, Gus?” tanya Fasnhuri.

“Makanya itu, tadi kan aku bilang, kita jangan kaku kalau melihat budaya. Budaya itu nggak bisa dikenai haram-halal, yang bisa dikenai hukum itu perilaku manusianya. Dan namanya perilaku itu juga harus dihitung juga dengan niatnya. Nggak bisa kan, orang Islam punya pohon cemara di halaman rumahnya lalu dibilang sudah jual akidahnya?” tanya Gus Mut.

“Ya nggak bisa sih, Gus, kalau gitu. Lucu aja jadinya,” kata Fanshuri.

“Sama seperti orang yang merayakan tahun baru, lalu dihukumi menyerupai kaum Majusi, Yahudi, dan Nasrani tadi,” kata Gus Mut.

“Terus kalau begitu, apa yang bakal dilakukan Gus Mut sama kampung sebelah yang sebarin selebaran ini?”

“Ya nggak apa-apa, imbauan mereka juga ada sisi positifnya kok. Supaya kita nggak berhambur-hamburan dan mubazir,” kata Gus Mut.

“Lho kok gitu? Kan mereka sepenuhnya salah,” kata Fanshuri.

“Siapa bilang yang bikin selembaran ini sepenuhnya salah? Aku kan bilang kita sebaiknya tidak melihat budaya secara kaku. Kalau mereka memang melihat budaya selalu melekat pada ajaran agama lain, ya itu mungkin bentuk kehati-hatian saja dari mereka. Dan yang kayak begitu, pandangan yang berbeda dengan kita—sekuat apa pun perbedaan itu dengan kita—ya bagiku perlu kita hormati juga. Karena itulah makna dari toleransi sebenarnya. Mau nggak ngerayain monggo, nggak juga monggo. Yang penting jangan jotos-jotosan saja,” kata Gus Mut sambil tersenyum.

Fanshuri terdiam seribu bahasa. Sampai tiba-tiba…

“Lah, kok kita nggak jadi main catur sih?” tanya Gus Mut tiba-tiba ingat.

Exit mobile version