Rasis sejak dalam Pikiran

Rasis sejak dalam Pikiran

Rasis sejak dalam Pikiran

MOJOK.COBeredar isu Mas Maula menolak orang ngekos di tempatnya karena stereotipe kesukuan, oleh karena itu Mas Maula mau klarifikasi. Ogah dibilang rasis katanya.

“Saya bukan mau rasis, tapi mau bagaimana lagi, Gus? Mereka itu suka bikin onar. Pantas aja lah kalau saya juga ogah kalau nerima mereka ngekos tempat saya,” kata Mas Maula. Pemiliki rumah kos-kosan tetangga desa Gus Mut.

Gus Mut hampir tidak percaya apa yang didengarnya.

“Memangnya orang itu udah ngapain aja ke Mas Maula?” tanya Gus Mut sambil tersenyum.

“Maksudnya?” tanya Mas Maula.

“Ya kesalahan apa dari orang itu sampai Mas Maula nggak terima dia ngekos,” kata Gus Mut.

“Ya belum. Kan baru ketemu sekali itu, ya waktu dia nanya kos-kosan itu,” kata Mas Maula.

“Belum? Jadi Mas Maula mencurigai kalau orang itu bakal melakukan kesalahan?” tanya Gus Mut lagi.

“Gus, bukan bermaksud rasis ya. Tapi orang kayak mereka itu kan memang gitu, kalau Gus Mut tak percaya, ini saya punya video buktinya,” kata Mas Maula sambil mendekat dan memperlihatkan sebuah video dari hapenya.

Di dalam video tampak orang yang satu suku dengan mantan calon penghuni kos Mas Maula sedang melakukan aksi kekerasan. Gus Mut melihat video itu dengan cermat.

“Yang mana orangnya?” tanya Gus Mut bingung.

“Ya ini semua,” kata Mas Maula.

“Sebentar, sebentar. Jadi karena mentang-mentang ini dilakukan oleh orang yang satu suku, sampeyan jadi menilai itu adalah gambaran umum dari sifat calon penghuni kos-kosan sampeyan itu, Mas?” tanya Gus Mut bingung tapi mau ketawa.

Mas Maula mengangguk pelan.

“Masak hanya karena beberapa orang lain melakukan kesalahan lantas jadi orang yang nggak punya salah jadi ikut kena?” tanya Gus Mut.

Mas Maula terdiam sejenak.

“Terserah Gus Mut deh kalau mau bilang saya rasis atau gimana, tapi kan itu tempat memang tempat punya saya, Gus. Ya wajar dong, kalau saya menerapkan aturan kalau yang boleh tinggal di tempat saya hanya orang-orang tertentu. Misalnya, saya bikin aturan, yang suka bikin onar tak boleh ngekos tempat saya,” kata Mas Maula.

Gus Mut terdiam sejenak.

“Iya, Mas Maula. Memang sudah betul kalau itu tempat sampeyan, maka sampeyan jadi berhak melakukan apapun di tempat sampeyan. Cuma, aku ini melihat ada yang aneh sama aturan sampeyan itu,” kata Gus Mut.

“Apanya yang aneh? Ya wajar dong, kalau saya menerapkan aturan suka-suka saya di tempat saya sendiri?” kata Mas Maula.

“Aku ini nggak protes kalau aturan di kos sampeyan itu, sebatas kalau benar-benar melarang penghuninya bikin onar. Lah, masalahnya, orang yang sampeyan tolak ngekos itu bikin onar nggak?” tanya Gus Mut.

Mas Maula terdiam.

“Ya nggak sih,” kata Mas Maula.

“Lah itu yang namanya diskriminasi pakai stereotip sempit, Mas. Orang belum ngapa-ngapain kok udah kena salah? Memangnya sejak kapan konsep dosa jariyah itu nempel berbasis suku sama ras?” tanya Gus Mut.

“Namanya juga saya ini antisipasi, Gus,” kata Mas Maula masih mengelak.

“Oh, berarti Mas Maula rela nih kalau kita dianggap orang nggak berpendidikan—misalnya, hanya karena kita ini Jawa? Dan karena orang Jawa itu citranya kayak udik, ndeso, nggak berpendidikan jadi orang boleh berbuat semena-mena sama kita?” kata Gus Mut menahan diri untuk nggak cekikikan.

Mas Maula terdiam.

“Ya nggak mau juga sih, Gus,” kata Mas Maula.

“Nah, kalau nggak mau kena stereotipe kayak gitu, coba kenapa sampeyan malah menerapkannya ke orang lain?” tanya Gus Mut.

“Ya refleks aja, Gus,” kata Mas Maula.

“Refleks jadi rasis dong?” tanya Gus Mut langsung menghujam.

Mas Maula terdiam sebentar.

“Mungkin, ada alam bawah sadar saya yang ogah dekat-dekat sama orang kayak gitu, Gus. Saya juga nggak ngerti. Nggak nyaman saja rasanya. Itu bukan rasis, Gus, itu kayak nggak mau aja tinggal satu rumah sama mereka,” kata Mas Maula.

“Ya itu karena sampeyan nggak mengenali siapa dia, Mas Maula. Manusia itu emang suka takut sama hal-hal yang nggak mereka mengerti. Kalau kita takut sama sesuatu, itu justru bukan tanda sesuatu yang menakutkan itu beneran mengancam jiwa kita, melainkan justru itu jadi tanda sejauh apa kita nggak mengenalnya,” kata Gus Mut.

“Maksudnya, Gus? Lah kalau saya memang nggak suka orang-orang kayak mereka gimana dong?” tanya Mas Maula.

“Ya itu kayak kamu takut sama kucing. Karena dasarnya kamu nggak mengenal sifat-sifat kucing. Dan sejak awal emang nggak mau kenal dengan sifat-sifat kucing. Lantas, karena kamunya emang malas buat tahu soal kucing, kamu pakai dalih kalau… ‘ah, aku emang nggak suka kucing, kamu mau apa?’, begitu,” kata Gus Mut sambil tetap tersenyum.

Gus Mut melanjutkan…

“Jadi ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal mau mengenal orang lain yang berbeda dengan kita atau nggak. Padahal itu perintah Gusti Allah, dan sampeyan secara nggak langsung udah menafikan firman Gusti Allah itu namanya,” tambah Gus Mut.

“Ah yang bener, Gus? Jangan berlebihan deh,” kata Mas Maula.

“Lah, iya ini serius. Gusti Allah itu menciptakan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu untuk saling kenal-mengenal kok kamu nggak mau saling kenal. Malah udah takut duluan untuk kenalan. Itu namanya apa kalau bukan menafikan firman-Nya, Mas? Apalagi sampai bersikap nggak adil gitu sama orang,” tanya Gus Mut.

“Bukan gitu, Gus. Saya bukannya bersikap nggak adil, ya sebagai manusia wajar dong kita punya sifat nggak suka sama suatu hal tertentu,” kata Mas Maula masih membela diri.

“Iya, Gusti Allah itu masih membiarkan kita punya sifat nggak suka sama sesuatu, Mas,” kata Gus Mut.

“Hah, serius Gus?” tanya Mas Maula merasa dapat celah legitimasi.

“Tapi Gusti Allah melarang kita untuk berbuat nggak adil, bahkan untuk orang-orang yang kita nggak sukai. Apalagi kebencian yang tak berdasar seperti sampeyan itu. Kuadrat itu levelnya, Mas. Udah nggak mau mengenal, bersikap nggak adil lagi. Wah, wah, dobel-combo namanya,” kata Gus Mut, kali ini sambil cekikan.

BACA JUGA Mentang-mentang Benar, Bukan Berarti Boleh Semena-mena Terhadap yang Salah atau kisah-kisah GUS MUT lainnya.

Exit mobile version