Nafsu Dunia Juga Ada Gunanya, makanya Tuhan Menciptakannya

Iman itu seperti jatuh cinta. Datang tiba-tiba dan sia-sia penjelasannya.

Nafsu Dunia Juga Ada Gunanya, makanya Tuhan Menciptakannya

Ilustrasi Nafsu Dunia (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKalau memang nafsu dunia justru menjerumuskan manusia ke neraka, kenapa Tuhan tidak membinasakannya saja?

“Kadang-kadang saya itu mikir, Gus. Maksiat itu kan dorongannya nafsu ya, kalau kayak gitu, kenapa sih Gusti Allah tidak menghilangkan nafsu saja sih dari dunia ini?”

Fanshuri bertanya. Gus Mut yang mendengar itu tersenyum.

“Jadi kamu pikir nafsu itu nggak ada gunanya?” tanya Gus Mut balik.

“Kalau dipikir-pikir lagi kan begitu, Gus. Nafsu dunia itu kan bikin orang jadi tamak, bikin orang jadi punya perasaan dengki, iri, bahkan dendam. Bisa memicu pertikaian sampai peperangan lagi,” kata Fanshuri.

Gus Mut menyandarkan duduknya di bantalan kursi teras rumahnya.

“Hm, menarik. Masuk akal juga,” komentar Gus Mut.

“Lah ya itu, Gus. Cuma kan kadang saya itu mikir, masak iya Gusti Allah menciptakan sesuatu yang sia-sia begitu?” tanya Fanshuri penasaran.

Gus Mut tersenyum lagi.

“Coba dipikir lagi kalau nafsu dunia itu tidak ada, kira-kira kamu ada tidak di dunia ini?” tanya Gus Mut.

“Hah? Maksudnya, Gus?”

“Gini lho, maksudnya, kamu ada di dunia ini karena apa?” tanya Gus Mut.

“Ya, karena dilahirkan orang tua saya dong, Gus,” jawab Fanshuri.

“Kira-kira, kedua orang tuamu itu cinta satu sama lain tidak? Punya nafsu satu sama lain tidak?” tanya Gus Mut.

Fanshuri baru sadar maksud pertanyaan Gus Mut.

“Oalah, nafsu yang itu maksudnya. Yang kemudian bikin manusia bisa berkembang biak maksud Gus Mut?” tanya Fanshuri.

“Lah iya, itu salah satunya. Tanpa ada dorongan nafsu, bagaimana bisa manusia berkembang, Fan,” kata Gus Mut.

Fanshuri terdiam.

“Makanya itu, perintah kita sebagai manusia itu bukan menghilangkan nafsu, tapi ‘hanya’ mengendalikannya. Lebih baik lagi, nafsu itu diarahkan ke hal-hal baik,” kata Gus Mut.

“Memang bisa, Gus, nafsu diarahkan ke hal-hal baik? Bukannya arahnya nafsu itu selalu ke hal buruk terus ya?”

“Lah, kamu punya cita-cita ingin memberi penghidupan yang layak bagi ribuan anak yatim di suatu daerah misalnya. Cita-cita kayak gitu kan juga ada dorongan nafsunya. Lebih tepat dorongan emosional. Atau merasakan simpati dan empati terhadap orang yang kurang beruntung, sehingga kamu punya dorongan untuk sedekah. Yang begitu-begitu itu dorongannya nafsu lho, dorongan emosional ketimbang rasional,” kata Gus Mut.

“Ya soalnya nggak rasional juga sih, Gus, kalau orang sedekah itu. Sudah repot ngumpulin duit, eh malah dikasih ke orang lain,” kata Fanshuri,

“Soalnya, urusan iman dan agama, itu lebih banyak perkara emosionalnya ketimbang rasionalnya,” kata Gus Mut.

“Hah? Maksudnya gimana itu, Gus? Iman itu jadi perkara yang gampang nyentil orang emosi gitu?” tanya Fanshuri.

“Bukan, bukan gitu maksudku. Emosi di sini itu ya macam-macam. Rasa sedih, simpati atau empati tadi, rasa bahagia, rasa gembira… bukan yang terpatok sama emosi dalam artian marah-marah,” kata Gus Mut.

Fanshuri masih mencerna sejenak perkataan Gus Mut.

“Iman itu kayak orang jatuh cinta, Fan. Datang tiba-tiba dan kadang sia-sia saja penjelasannya,” kata Gus Mut.

Fanshuri tersenyum, tertarik dengan penjelasan Gus Mut. “Terus?” tanya Fanshuri.

“Ya kayak orang jatuh cinta. Emosinya dulu yang kena, bukan rasionya dulu. Nafsunya dulu yang kena, bukan akalnya dulu. Sesuatu yang sifatnya empirik. Pengalaman langsung. Sesuatu yang tak perlu diajari orang lain dan tak perlu baca buku panduan. Itu naluri saja,” kata Gus Mut.

“Artinya, orang beriman, atau orang dapat hidayah itu justru bisa dibilang diawali dari nafsu juga ya, Gus?” tanya Fanshuri.

“Lah iya bisa jadi. Nafsu dalam artian faktor emosional lho ini,” kata Gus Mut.

“Iya, betul.”

“Orang tersentuh hatinya itu kan bukan rumus matematika atau rumus fisika yang ada pakemnya. Bagi tiap individu bisa beda-beda. Ada yang karena dengar azan jadi tersentuh, ada yang dengar orang baca Al-Quran tersentuh, tapi ada juga yang karena ada orang Islam main bola bagus dan bikin tim kesayangannya juara, terus secara emosi tersentuh, nafsunya tersentuh. Imannya terpercik,” kata Gus Mut.

“Hah? Siapa maksudnya pemain bola itu?” tanya Fanshuri.

“Ya kayak Mohamad Salah pemain Liverpool itu lho,” kata Gus Mut.

Fanshuri tertawa.

“Islam diterima bukan karena alasan rasional kan? Tapi justru lahir karena faktor emosional. Sebab iman itu urusannya hati, dan cara menyentuh hati itu bukan dengan memenangkan debat-debat atau peperangan, tapi justru dengan persentuhan intim yang sangat personal. Dan salah satu cara untuk menyentuh itu, ya pakai nafsu. Jadi ya tak selamanya nafsu itu punya konotasi buruk,” kata Gus Mut.

“Tinggal bagaimana kita mengontrolnya ya, Gus?” tanya Fanshuri.

“Jangankan nafsu. Akal manusia saja, kalau tidak dikontrol juga bisa bikin stres kok,” kata Gus Mut yang bikin Fanshuri tertawa.

“Jadi intinya, ini semua soal kontrol aja berarti ya, Gus?”

“Iya, ketika akal itu digunakan untuk mengontrol apa yang ada di luar manusia, hati itu dipakai untuk mengontrol apa yang ada di dalam manusia. Sebab, bukan apa yang terjadi di luar sana yang penting, tapi bagaimana kamu bereaksi terhadap kejadian di luar sana. Dan di situlah sebenar-benarnya fungsi dari seseorang beragama,” kata Gus Mut.

“Dengan kata lain…” kata Fanshuri, “iman dan agama itu bukan soal mengendalikan orang lain tapi soal pengendalian diri sendiri.”

Gus Mut tersenyum, lalu memberi high five ke Fanshuri, “Itu baru santriku.”

BACA JUGA Pilihan Surat saat Salat Jamaah Jangan yang Panjang, Umat Juga Punya Urusan Lain atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.

Penulis: Ahmad Khadafi

Editor: Ahmad Khadafi

Exit mobile version