Kok Ada Ayat Jangan Mati kecuali dalam Keadaan Muslim? Lah Kan Mati Bukan Kita yang Ngatur?

“Ya, kayak itu orang baru aja tobat, terus mati. Sama orang saleh, terus baru sekali maksiat, terus mati. Wah, itu kan jatuhnya keberuntungan dan kesialan dong, Gus?” tanya Fanshuri.

Kok Ada Ayat Jangan Mati kecuali dalam Keadaan Muslim? Lah Kan Mati Bukan Kita yang Ngatur?

Kok Ada Ayat Jangan Mati kecuali dalam Keadaan Muslim? Lah Kan Mati Bukan Kita yang Ngatur?

MOJOK.COFanshuri merasa aneh dan penasaran dengan potongan ayat, “Jangan mati kecuali dalam keadaan muslim.”

“Gus, apa sampean tidak merasa aneh ya dengan tafsir ayat ini,” kata Fanshuri usai belajar kitab ke Gus Mut.

“Tafsir apa? Surat apa?” tanya Gus Mut ketika baru saja menutup kitabnya.

“Ini,” kata Fanshuri sambil menghampiri Gus Mut. Dibukalah oleh Fanshuri surat Ali Imran ayat 102, “Ditulis begini, Gus, ‘wahai orang-orang beriman. Bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah mati kecuali dalam keadaan muslim’.”

Gus Mut terdiam sejenak. “Iya, terus?” tanya Gus Mut lagi.

“Ma-maksud saya, ini kan aneh, Gus,” kata Fanshuri.

“Aneh gimana?” Gus Mut bertanya.

“Ya aneh. Mati kita kan bukan kita yang ngatur. Maksudnya kalau ajal sudah menjemput kan tidak ada sesuatu yang bisa menghalangi. Ini kan sesuatu yang di luar kendali, kenapa kita justru diberi perintah hal yang ada di luar kendali kita kayak gini?” tanya Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

“Bukan di situ maksud ayat itu,” kata Gus Mut.

Mata Fanshuri berbinar, merasa sedikit penasaran. Dia sudah merasa memang ada hal yang perlu dipahami soal ayat tentang mati ini.

“Terus, maknanya gimana ini, Gus?” tanya Fanshuri.

“Maksudnya ‘jangan mati kecuali dalam keadaan muslim’ itu sebenarnya menegaskan ke umat muslim untuk jangan sesaat pun pernah keluar dari ajaran Islam dalam hidup ini,” kata Gus Mut.

“Hah? Kenapa begitu?” tanya Fanshuri.

“Ya karena mati itu kepastian. Sesuatu yang pasti datang. Mau kamu orang Islam atau umat agama lain, pasti meyakini bahwa mati itu bakalan datang. Makanya Al-Quran memerintahkan agar kita selalu berada dalam koridor seorang muslim, sehingga kapanpun mati datang, kita sudah dalam keadaan ‘siap’,” kata Gus Mut.

“Wah, sulit sekali itu ya, Gus?” kata Fanshuri.

“Sulit gimana?” Gus Mut malah terkejut dengan respons Fanshuri.

“Ya sulit dong, Gus. Namanya manusia kan pasti ada khilaf-khilafnya, tidak mungkin lah kita sempurna ibadah kayak salat atau puasa terus setiap saat,” kata Fanshuri.

Gus Mut terkekeh.

“Ibadah itu spektrumnya luas, Fan. Kamu bertanya begini saja, lalu pulang mati—misalnya, itu juga sudah mati dalam koridor itu. Mati dalam keadaan menuntut ilmu. Bercengkerama dengan anak dan keluarga dalam ikatan pernikahan Islam, juga masuk kategori itu. Bahkan sekadar berniat mau sedekah, meski sedekah itu belum dilakukan, masih juga masuk dalam koridor itu,” kata Gus Mut.

Fanshuri manggut-manggut, meski ada yang belum begitu senada dengan Gus Mut.

“Oke lah, itu semua masih sesuatu yang baik-baik, tapi kan namanya manusia kadang juga maksiat. Nggak mungkin sempurna lah. Bagaimana kalau kita lagi maksiat terus tahu-tahu kita mati?” tanya Fanshuri.

“Nah, itu,” kata Gus Mut.

“Itu? Itu gimana maksudnya, Gus?” tanya Fanshuri makin bingung.

“Ya itu dia maksud ayat tersebut. Bahwa ayat itu ditegaskan agar sebagai muslim jangan sekalipun berpikir untuk maksiat meski sesaat,” kata Gus Mut.

“Kan ada pintu tobat,” kata Fanshuri.

“Makanya, pikiran itulah yang berbahaya. Kita kerap meremehkan bahwa tobat bisa kita lakukan karena merasa bahwa Allah Maha Pengampun, jadi besok-besok kita pasti ada kesempatan. Padahal pada saat yang bersamaan kita juga sadar, bahwa mati itu datang selalu tiba-tiba. Di poin itulah ayat ini bekerja, Fan. Cepat-cepatlah tobat, ajal itu lebih dekat dari urat nadi kita,” kata Gus Mut.

Fanshuri langsung merenung.

“Rasanya kok jadi seram gitu, Gus?”

“Kok malah seram?” tanya Gus Mut.

“Ya seram lah. Betapa kita benar-benar tidak tahu apa yang akan menjadi akhir hidup kita, itu sesuatu yang seram lho, Gus,” kata Fanshuri.

“Makanya, ada pepatah bilang, bahwa situasi atau kondisi seseorang yang mati itu kerap kali tak jauh dari kebiasaan-kebiasaannya selama hidup,” kata Gus Mut.

“Maksudnya?” tanya Fanshuri.

“Kamu pernah dengar ada orang yang mati dalam keadaan salat?” tanya Gus Mut.

“Iya, pernah. Beruntung sekali dia ya,” kata Fanshuri.

“Coba aku tanya, orang kayak gitu, yang mati dalam keadaan salat itu, apakah itu salat pertama dia dalam hidupnya?” tanya Gus Mut.

“Kayaknya sih nggak, Gus,” kata Fanshuri.

“Atau orang overdosis narkoba lalu mati. Apakah itu juga kenakalan pertamanya sebagai manusia?” tanya Fanshuri.

“Kayaknya sih nggak juga sih, Gus,” kata Fanshuri.

“Artinya, orang mati itu kerap kali berada dalam keadaan di mana kebiasaannya sepanjang hidup. Orang yang salat terus, tak pernah meninggalkan salat sunah, lalu mati dalam keadaan salat. Ya itu suatu kewajaran. Seperti halnya seseorang yang mati dalam tindak kejahatan,” kata Gus Mut.

“Berarti khusnul khotimah atau suul khotimah itu bisa kita usahakan ya, Gus? Itu ya maksudnya?” tanya Fanshuri.

“Iya betul,” kata Gus Mut.

“Kalau dengan kasus-kasus khusus gimana, Gus?” tanya Fanshuri.

“Situasi khusus gimana?”

“Ya, kayak itu orang baru aja tobat, terus mati. Sama orang saleh, terus baru sekali maksiat, terus mati. Wah, itu kan jatuhnya keberuntungan dan kesialan dong, Gus?” tanya Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

“Iya, dalam situasi khusus seperti itu memang ada keberuntungan dan kecelakaan, tapi hikmahnya kan ada. Bahwa dari kejadian khusus seperti itu, sebenarnya manusia punya titik pilihan yang masih bisa dikendalikan dalam hidup ini. Kedua orang itu sama-sama jadi gambaran ayat tadi. Yang satu jadi pihak yang memanfaatkannya, yang satu jadi pihak yang mengingkarinya. Sama-sama sesaat padahal, tapi beda hasilnya,” kata Gus Mut.

Fanshuri merenung mendengar penjelasan Gus Mut.

“Kalau denger penjelasan Gus Mut ini saya jadi bertanya-tanya, Gus. Betapa tipis sekali ya ternyata, neraka atau surganya seseorang itu,” kata Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

“Gus Mut kok malah tersenyum sih,” kata Fanshuri.

“Bukan begitu. Kamu itu lho, berat banget mikirin dari hidup dan mati sampai surga dan neraka orang lain. Sampai ada kepikiran ingin menyelamatkan semua orang, Fan, Fan,” kata Gus Mut.

“Lah emang kenapa, Gus? Nggak boleh?” tanya Fanshuri.

“Bukan nggak boleh. Cuma… kalimatmu itu terkesan kayak kita ini sudah dijamin pasti masuk surga saja sampai jadi selo mikirin amalannya orang lain,” kata Gus Mut.

Giliran Fanshuri yang kini tersenyum.

*) Diolah dari penjelasan Prof. Quraish Shihab.

BACA JUGA Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja? atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.

Exit mobile version